tirto.id - Di kepulauan Pasifik, ada satu negara kecil bernama Tokelau. Penduduknya hanya 1.500. Luas wilayah daratannya cuma 10,8 kilometer persegi. Sampai tahun 2012, penduduk negara ini mengandalkan generator untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Listrik hanya menyala sekitar 12 -18 jam per hari.
Dalam setahun, Tokelau butuh 2.000 drum minyak untuk menyalakan generator. Biaya listrik untuk 1.500 orang itu mencapai $1 juta atau setara Rp13 miliar per tahun. Ini angka yang cukup besar untuk negara dengan jumlah penduduk sekecil Tokelau.
Tahun 2012, mereka mendapat pinjaman senilai $7 juta dari Selandia Baru untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya. Uang yang biasanya dihabiskan untuk membeli bahan bakar generator, digunakan untuk membayar utang tersebut. Dalam waktu sembilan tahun, utang itu akan lunas. Selanjutnya, tak perlu lagi mengeluarkan $1 juta per tahun.
Kini, Tokelau menjadi negara pertama di bumi yang seluruh kebutuhan listriknya berasal dari energi matahari. Generator yang ada tetap dirawat sebagai cadangan. Tak hanya menghemat biaya listrik jangka panjang, negara bekas jajahan Inggris ini juga berkontribusi mengurangi emisi karbon.
Apa yang terjadi di Tokelau membuktikan bahwa energi matahari jauh lebih murah dari energi fosil. Namun, bisa jadi itu karena Tokelau belum memiliki pembangkit tenaga fosil, seperti yang dimiliki Indonesia. Di negeri tercinta ini, sekitar 79 persen listrik berasal dari batu bara, si sumber energi kotor nan murah meriah.
Menghitung Biaya Panel Surya
Apakah listrik dengan panel surya lebih murah dari tarif listrik di Indonesia? Rumah dengan kapasitas listrik 1.300 watt, harus membayar sekitar Rp500.000 setiap bulan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai penyedia listrik. Dalam setahun, biaya listrik satu rumah ini mencapai Rp6 juta. Bagaimana jika kebutuhan 1.300 watt ini digantikan dengan panel surya?
Kita mulai dulu perhitungan dengan total beban listrik. Rumah dengan kapasitas 1.300 watt belum tentu menggunakan seluruh kapasitas itu. Berapa watt rata-rata yang digunakan rumah setiap jamnya? Sebut saja 200 watt.
Lalu, berapa lama beban 200 watt ini digunakan dalam sehari? Kalau jawabannya adalah 12 jam, maka beban listrik yang digunakan rumah tersebut dalam sehari adalah 2.400 watt. Yang harus dihitung selanjutnya adalah jumlah baterai yang dibutuhkan untuk menyimpan daya 2.400 watt.
Jumlah beban 2.400 watt perlu ditambahkan 20 persen untuk penggunaan perangkat seperti inverter yang mengubah arus DC menjadi AC dan controller sebagai pengatur arus. Jadi, total beban menjadi 2.880 watt.
Total beban itu harus dibagikan dengan 12 Volt - tegangan umum yang dimiliki baterai - untuk mengetahui jumlah arusnya. Maka, total arus yang dibutuhkan adalah 240 ampere.
Jadi, jika menggunakan baterai 60 Ah 12 Volt, maka dibutuhkan empat buah baterai. Makna dari 60 Ah 12 volt adalah baterai tersebut memiliki tegangan 12 volt dengan arus 60 ampere jika digunakan dalam satu jam.
Setelah mendapatkan jumlah baterai, yang harus dihitung kemudian adalah jumlah panel surya yang dibutuhkan. Jika panel berukuran 100 watt peak (wp) yang digunakan, maka dalam sehari panel ini bisa menghasilkan 500 watt listrik. Ini dengan asumsi dalam sehari panel surya hanya mampu menyerap sinar matahari selama lima jam. Dengan begitu, untuk 2.880 watt, dibutuhkan enam panel surya.
Kisaran harga panel surya adalah $10 per wp. Artinya, enam panel wp berkapasitas 600 wp menguras kocek senilai $6.000 atau sekitar Rp79,8 juta dengan kurs dolar saat ini. Sepintas, ini tampak mahal. Ibaratnya, kita harus membayar listrik sepuluh tahun ke depan yang belum kita gunakan.
Akan tetapi, bukankah kita akan terus membutuhkan listrik? Dengan panel surya, kita hanya membayar sepuluh tahun penggunaan listrik dan menikmatinya dalam waktu yang jauh lebih lama. Untuk jangka panjang, panel surya jelas jauh lebih menguntungkan. Pengguna panel surya bisa menghemat dan mengurangi emisi karbon dalam waktu bersamaan.
Perawatannya pun tak memakan banyak biaya. Panel surya hanya harus dibersihkan dari debu dengan menggunakan air dan sabun. Ini bisa dilakukan enam bulan sekali untuk menjamin panel tersebut menyerap energi matahari dengan maksimal. Tak ada biaya apa-apa.
Dosen Teknik Fisika ITB Brian Yuliarto mengatakan sebuah sistem panel surya dengan perawatan yang baik bisa bertahan lebih dari 20 hingga 30 tahun. Tak heran, jika di Nevada, Amerika Serikat, banyak warga yang menggadaikan rumahnya untuk biaya pembuatan panel surya.
Tak perlu jauh-jauh ke Nevada, di Cianjur, ada seorang warga pria 33 tahun yang mulai menggunakan panel surya secara mandiri. Denden Sofiudin mulai merakit sendiri rangkaian listrik di rumahnya dengan menggunakan solar panel berkapasitas 50 wp. Sebanyak delapan lampu di rumahnya mengandalkan panel surya itu.
Denden memang hanya memanfaatkan panel surya untuk lampu. Karena keterbatasan biaya, Denden juga masih menggunakan listrik dari PLN untuk kebutuhan perangkat elektronik lainnya.
Untuk membangun panel surya-nya sendiri, Denden menghabiskan Rp4 juta. Angka ini terkesan mahal jika dibandingkan dengan biaya pemasangan awal listrik dari PLN. Akan tetapi, saat desanya mengalami pemadaman bergilir, rumah Denden masih terang benderang.
Untuk panel suryanya, Denden memang butuh perawatan rutin. Tetapi harganya tak semahal jika harus terus membayar listrik ke PLN. Perawatan rutin juga tidak terlalu rumit dan mahal. Jika menggunakan aki basah hanya perlu dilakukan penggantian air aki per 3 tahun sekali.
Jika dikalkulasikan, ongkos membuat rangkaian listrik panel surya setara dengan ongkos listrik dari PLN selama tiga tahun hanya untuk menghidupkan lampu. Tahun-tahun selanjutnya Denden tidak perlu lagi membayar listrik. Satu hal yang paling penting, Denden ikut ambil peran dalam mencegah bumi dari kehancuran akibat energi kotor.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti