tirto.id - Dalam peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-72, Tempo.co merilis profil 10 anak muda inspratif. Salah seorang sosok yang ditampilkan situs berita tersebut adalah Ricky Elson. “Prestasinya, menciptakan teknologi kincir angin yang lebih efisien dari buatan perusahaan asing,” tulis Tempo.co.
Beberapa tahun lalu, di Sumba, Ricky berhasil membangun 100 kincir angin berdaya 500 watt yang sanggup terangi 3 desa. "Kita harus memikirkan energi terbarukan, dan memiliki kemandirian energi," kata pria berdarah Minang tersebut.
Energi terbarukan memang menjadi topik penting masyarakat dunia. Mayoritas pemimpin dunia bersepakat untuk menahan laju kenaikan suhu bumi agar tak lebih dari 2 derajat. Terkait itu, pihak industri menyadari urgensi persoalan ini sehingga mulai gencar mengkampanyekan energi terbarukan sebagai salah satu solusi masa depan.
Di tataran global, 189 perusahaan seperti IKEA, P&G, H&M, serta puluhan jenama besar lain yang tergabung dalam platform RE100—inisiatif perusahaan global yang berkomitmen 100% terhadap energi terbarukan— berharap dapat memenuhi target energi terbarukan di seluruh pasar tempat mereka beroperasi.
Selain itu, ada juga inisiatif kemitraan publik-swasta Clean Energy Investment Accelerator (CEIA) yang berupaya menggunakan cara-cara inovatif untuk mengatasi hambatan soal skala penyebaran energi terbarukan di sejumlah negara, antara lain Indonesia, Kolombia, Vietnam, Filipina, dan Meksiko. Dengan kata lain, CEIA adalah platform yang bertujuan untuk mengagregasi permintaan serta meningkatkan penerapan energi terbarukan di sektor industri dan komersial.
Peluang dan Tantangan
Dalam pengertian sederhana, energi terbarukan berarti bentuk energi yang dihasilkan dari proses alam yang berkelanjutan seperti angin, matahari, air, panas bumi, dan air pasang (masih dalam studi tahap awal). Dilansir dari WRI Indonesia, lembaga kajian independen yang fokus pada pembangunan sosio-ekonomi nasional secara inklusif dan berkelanjutan, pada 2015 potensi Energi Terbarukan di negeri ini dari sektor panas bumi adalah 29.544 megawatt (MW)—lebih dari 2x kapasitas pembangkit listrik Singapura. Walau demikian, pemanfaatannya baru mencapai 1.438,5 MW atau sebesar 4,9 persen.
Sementara dari sisi energi matahari, yang pemanfaatannya baru sebesar 78,5 MW (0,04 persen), Pembangkit Listrik Tenaga Surya di negeri ini punya potensi 207.898 MW—cukup melistriki seluruh wilayah Papua Barat.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2019-2028, Kementerian ESDM menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan target penambahan pembangkit listrik dari EBT hingga tahun 2028 sebesar 16.714 MW.
“Saya minta agar pelaksanaan pembangunan semua pembangkit EBT harus dipastikan berjalan dari sekarang, sehingga target bauran EBT 23% pada 2025 benar-benar tercapai,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Meski demikian, target tersebut bukan berarti tanpa kendala. Almo Pradana, Perwakilan WRI Indonesia untuk CEIA Indonesia menyebut dalam rangka memenuhi komitmen dan target energi terbarukan di Indonesia, baik pemerintah maupun para konsumen listrik dari sektor komersial dan industri sebetulnya masih menghadapi kesulitan mencapai target tersebut.
“Situasi ini terjadi karena beberapa hambatan, di antaranya kebijakan dan regulasi, tantangan teknis, skema bisnis, dan pendanaan,” kata Almo.
Almo menjelaskan permintaan energi terbarukan dari sektor komersial dan industri di Indonesia semakin meningkat. Selain perusahaan-perusahaan global RE100 yang beroperasi di Indonesia—yang bentuknya bukan hanya anak perusahaan, namun juga representatif, supply chain, pabrik, dsb—tak sedikit perusahaan lokal yang antusias dan punya komitmen sama besar untuk menggunakan energi terbarukan dalam menjalankan bisnis mereka.
Terkait itu, Almo menambahkan, sebagai pemasok listrik, PLN memang memiliki skema pemenuhan kebutuhan energi terbarukan untuk sektor industri dan komersial. Namun demikian, terutama bagi perusahaan-perusahaan global di bawah inisiatif RE100, regulasi PLN dinilai belum sejalan dengan kebijakan internal perusahaan-perusahaan tersebut.
“Beberapa perusahaan memiliki keinginan untuk mendapatkan pasokan listrik dari pembangkit energi terbarukan yang baru, agar dapat mendorong pertumbuhan energi terbarukan,” tegasnya.
Gina Lisdiani, Perwakilan Allotrope Partners untuk CEIA Indonesia, juga menjelaskan bahwa kesulitan memenuhi komitmen energi terbarukan berpotensi mengancam iklim investasi di Indonesia.
“Sebab ada sejumlah perusahaan yang menargetkan 100% penggunaan energi terbarukan pada 2020, dan hingga saat ini setengah dari target itu masih belum tercapai, maka bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan tersebut akan mengalihkan fokus investasinya ke negara lain yang iklim pemenuhan energi terbarukannya lebih mudah dan mendukung,” beber Gina.
Kondisi demikian, sambung Gina, dengan jelas menunjukkan: permintaan besar terhadap energi terbarukan di Indonesia saat ini masih berbanding terbalik dengan pertumbuhan energi terbarukan itu sendiri.
Jembatan Komunikasi
Lepas dari kendala yang dihadapi, upaya meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia tak pernah sepi. CEIA Indonesia pun terus mendorong pengembangan energi terbarukan di negeri ini.
“CEIA Indonesia berusaha membangun konsensus antara pemerintah dan sektor swasta untuk menyelesaikan hambatan peraturan dan memfasilitasi hubungan antara kedua pihak untuk menjalankan solusi tersebut,” terang Gina.
Kebutuhan terhadap energi terbarukan adalah hal niscaya. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Kehadiran perusahaan-perusahaan yang punya komitmen serupa di Indonesia—yang kebutuhannya terhadap energi terbarukan belum sepenuhnya terpenuhi—sudah semestinya dinilai sebagai faktor pendorong.
Tak ada masalah besar yang tak bisa dihadapi selama pihak-pihak yang berkepentingan, terutama sektor pemerintah dan industri (baik pihak pengembang energi terbarukan maupun perusahaan-perusahaan pengguna), duduk bersama mencari solusi atas kendala-kendala yang ada. Salah satu program CEIA Indonesia memang menjembatani komunikasi itu.
Karena itulah CEIA Indonesia mengundang sebanyak mungkin pelaku sektor komersial dan industri agar bergabung ke dalam inisiasi mereka: sebuah inisiasi yang dibentuk untuk mendorong kelancaran pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia.
Untuk diketahui, saat ini, ada 14 perusahaan besar yang telah bergabung dengan CEIA Indonesia. Sembilan di antaranya bahkan memiliki komitmen 100% energi terbarukan di rentang tahun 2020 sampai 2050. Beberapa di antara mereka ada yang memiliki interim target memenuhi setidaknya 50% energi terbarukan di tahun 2020 untuk fasilitas-fasilitas mereka di Indonesia. Seluruh partner CEIA, memiliki visi yang sama beralih ke arah sumber energi yang lebih bersih untuk mendukung kegiatan operasionalnya.
Dengan beralih ke energi terbarukan, Indonesia dapat memenuhi targetnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sembari menjaga kenaikan suhu bumi antara 1,5’C-2’C. Sejumlah ilmuwan dunia telah mengingatkan, bahwa manusia hanya memiliki waktu 12 tahun untuk berbenah demi menghindari bencana besar akibat krisis iklim.
Kita boleh—dan memang sudah seharusnya—bangga punya sosok inspiratif seperti Ricky Elson. Meski untuk kebutuhan yang lebih besar, kita juga memerlukan upaya konkret seperti terwujudnya kolaborasi nyata antara pemerintah dan industri. Bergabung dengan CEIA Indonesia membukakan jalan ke arah sana.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis