tirto.id - “Aku melihat sebuah wajah yang tak lazim melayang dihadapanku begitu sering. Ia memiliki gigi yang besar, mata, telinga, dan pipinya melebar ke samping seperti bola. Ia datang terus menerus, kuputuskan untuk bercerita pada keluargaku. Mereka lalu memanggil pendeta untuk melakukan pengusiran setan. Namun wajah-wajah yang melayang itu tak jua hilang. Kupikir, aku sudah gila.”
Perempuan berusia 67 tahun itu kemudian memutuskan datang ke rumah sakit dan menceritakan keluhannya kepada dokter. Ia khawatir ada yang bermasalah dengan kondisi kesehatan jiwanya, mungkin semacam kehilangan akal sehat.
Namun, hasil tes laboratorium mengesampingkan dua penyebab umum dari halusinasi, yaitu infeksi dan interaksi obat. Kesehatan mentalnya pun baik-baik saja, ia tidak gila. Dr. Bharat Kumar, dokter dari University of Kentucky yang menanganinya, menyimpulkan si nenek mengalami kondisi yang disebut Sindrom Charles Bonnet (CBS).
“Penampakan berupa wajah aneh dan keyakinan bahwa pasien mengaku berhalusinasi (bukan percaya dengan apa yang dilihatnya) menjadi dua petunjuk penting untuk mendiagnosis,” kata Kumar seperti dinukil dari Fox News.
Sindrom Charles Bonnet merupakan kondisi yang menyebabkan halusinasi visual yang nyata dan kompleks. Biasanya terjadi karena faktor umur, dimana semakin tua maka ketajaman daya lihat juga semakin menurun.
Halusinasi visual yang diakibatkan oleh CBS dapat berupa rangkaian wujud dimensi dan penuh warna. Seperti orang, hewan, kendaraan, rumah, maupun gambar sehari-hari yang kurang kompleks. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan oleh Charles Bonnet, seorang filsuf naturalis Swiss.
Awalnya, ia mengamati gejala sindrom pada seorang pria berusia 87 tahun yang hampir buta karena katarak. Dimana si kakek mengaku masih bisa melihat pria, wanita, burung, kereta, bangunan, dan permadani di depan matanya.
Pada 1760, Bonnet mendokumentasikan serangkaian halusinasi visual yang kompleks ini terjadi pada orang-orang dengan kondisi psikologis sehat. CBS kemudian diperkenalkan dalam literatur psikiatri berbahasa Inggris pada 1982.
Terdapat perbedaan mencolok antara ilusi CBS dengan delusi menurut Lighthouse International (sekarang Lighthouse Guild). Dimana orang yang merasakan halusinasi CBS tahu bahwa penampakan tersebut adalah fatamorgana. Bayangannya adalah ilusi, bukan khayalan.
Sementara itu seseorang yang memiliki delusi yakin apa dilihatnya itu nyata. Dengan kata lain, orang dengan CBS biasanya memiliki kesehatan mental yang baik dan mengerti penampakan yang dilihatnya tidak nyata. Selain itu, ilusi yang terkait dengan CBS hanya bersifat visual, tidak ada rangsangan suara, penciuman, rasa, atau sentuhan yang menyertainya.
CBS terkadang juga dijuluki sebagai sindrom phantom vision atau sindrom melihat hantu. Analogi dari sindrom ini dapat disejajarkan dengan sindrom-phantom limb, di mana seseorang masih menerima sensasi bahkan sinyal rasa sakit dari anggota badan yang telah diamputasi.
“Otak terus menafsirkan citra visual tanpa adanya masukan visual yang sesuai, sama seperti terus memproses sinyal rasa sakit dari anggota tubuh yang sudah tidak ada lagi.”
Jonathan Trobe, M.D., seorang dokter mata dari University of Michigan, menjelaskan CBS terjadi ketika kondisi penglihatan seseorang menurun atau terdapat kerusakan pada jalur optik maka sel retina pada mata tidak lagi menerima dan menyampaikan gambar visual ke otak.
Sehingga sel visual di otak akan berhenti mendapatkan informasi dan akhirnyamembuat visualisasi sendiri. Otak akan mengisi celah kekurangan informasi ini oleh gambar fantasi baru, pola maupun gambar lama yang telah disimpannya dan menciptakan citra penampakan yang menghantui penderitanya.
Tak Bisa Sembuh
CBS lazim mulai menunjukkan gejalanya dalam beberapa minggu saat penglihatan mulai memburuk. Kiranya ada sekitar 10 sampai 40 persen pasien usia lanjut dengan gangguan penglihatan terjangkit sindrom ini. Sayang, pasien seringkali tidak teredukasi atas penyakitnya karena takut bercerita karena khawatir dianggap gila.
CBS menjangkiti sekitar sepertiga pasien dengan penglihatan rendah. Misal degenerasi makula terkait usia, katarak, retinopati diabetes, dan gangguan mata lainnya. Halusinasi cenderung lebih sering terjadi saat orang terjaga, sendiri, dalam cahaya redup, atau saat seseorang tidak aktif secara fisik.
Hingga kini, belum ada pengobatan medis yang bisa diberikan pada pasien dengan CBS. Namun, pasien yang mengalami ketakutan berlebih dapat diberikan obat anti-psikotik. Walaupun, obat tersebut memiliki efek samping yang serius dan belum tentu cocok untuk semua orang. Bahkan mungkin bisa membuat halusinasi CBS menjadi lebih sering.
Namun, efek halusinasi CBS dapat ditekan dengan beberapa terapi adaptasi. Langkah terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan edukasi dan informasi yang cukup tentang CBS kepada publik. Sehingga seseorang yang mungkin terjangkit sindrom ini dapat segera memeriksakan diri dan tak perlu khawatir dianggap gila. Baru kemudian memberikan teknik relaksasi untuk mengatasi halusinasi dan mengajak lingkungan sekitar pasien CBS untuk memberi dukungan moril agar isolasi sosial berkurang.
Royal National Institute of Blind People (RNIB) di Inggris memberikan beberapa saran untuk membantu meredakan halusinasi CBS. Pasien bisa mencoba menggeser badannya dari tempat awal, atau mencoba untuk menatap objek halusinasi beberapa saat untuk membuatnya memudar.
Terkadang berkedip cepat atau menggerakkan mata maju-mundur atau dari kiri ke kanan selama 15 sampai 30 detik tanpa menggerakkan kepala juga dapat meringankan gejala CBS. Catatannya, mata harus selalu terbuka selama gerakan berlangsung.
Tingkat pencahayaan juga dapat mempengaruhi halusinasi, jika halusinasi terjadi ketika redup, maka ada baiknya untuk menambah pencahayaan. Begitu juga sebaliknya, karena perubahan pencahayaan dapat membantu menghentikan halusinasi. Gejala ini akan mulai mereda setelah satu tahun hingga 18 bulan, karena otak sudah dapat menyesuaikan diri dengan hilangnya ketajaman daya lihat seseorang.
Jika Anda termasuk salah satu orang yang sering melihat penampakan aneh, jangan langsung paranoid. Ada baiknya untuk memeriksakan mata terlebih dulu.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra