tirto.id - Salah satu calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang sudah lolos seleksi administrasi dan kini menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR adalah Syafri Adnan Baharuddin. Dia pernah dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap Rizky Amelia, mantan sekretarisnya, saat menjabat Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memang tidak menerima gugatan Amel dengan alasan kasus ini adalah masalah ketenagakerjaan, bukan perkara perdata (Amel menggugat ganti rugi Rp1 triliun). Polisi juga menghentikan penyelidikan kasus ini karena bukti tindak pencabulan dianggap kurang.
Meski praktis tidak sedang berperkara hukum apa pun, keberadaan Syafri sebagai calon auditor negara tetap dipermasalahkan dengan latar belakang kasus tadi.
Haris Azhar, kuasa hukum Amel, khawatir jika Syafri akan menggunakan kekuasaannya jika terpilih sebagai anggota BPK untuk mempidanakan Amel dan "orang-orang yang dianggap terasosiasi dengannya."
Amel pertama kali bicara pada akhir tahun 2018. Ia bilang selain dirayu, Syafri beberapa kali memintanya berhubungan seksual. Jika menolak, Amel akan dibuat tidak nyaman: "Dibentak-bentak untuk hal yang diada-adakan."
Dua hari setelah melaporkan kasus ini ke Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan pada November 2018, Amel justru menerima surat pemutusan hubungan kerja.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memutuskan Syafri memang terbukti "melakukan perbuatan maksiat; melanggar nilai agama, norma, kesusilaan, dan/atau adat kebiasaan" dalam surat bernomor 49/DJSN/II/2019 yang diteken oleh Ketua DJSN Andi Zainal Abidin Dulung pada 11 Februari 2019.
Meski begitu, DJSN menghentikan proses penyelidikan karena Syafri diberhentikan dengan hormat lewat Keputusan Presiden 12/2019.
Haris Azhar menilai alasan DJSN menghentikan kasus tersebut tidaklah masuk akal. Menurutnya, yang semestinya dilihat adalah pelecehan seksual di lingkungan kerja BPJS Ketenagakerjaan. Dengan perspektif itu, semestinya kasus ini tetap diselidiki sekalipun Syafri sudah tidak menjabat.
Kritik serupa disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.
"Kepada Komisi XI (yang menyeleksi calon anggota BPK), kami dorong untuk melihat pribadi SAB yang memang punya track record tidak baik. Mulai dari dilaporkan oleh serikat pekerja BPJS Ketenagakerjaan dan dilaporkan oleh Mbak Amel," kata Timboel, Selasa (3/9/2019) kemarin.
Selain itu, Timbole menilai Syafri akan punya konflik kepentingan jika menjabat anggota BPK terutama misalnya ketika mengaudit bekas instansinya itu.
Atas alasan-alasan tersebut, Timboel meminta DPR tidak meloloskan Syafri Adnan Baharuddin.
Kasus SAB Jadi Bahan Pertimbangan Anggota Komisi XI
Anggota Komisi XI Hendrawan Supratikno paham Syafri disorot oleh publik. Ia memastikan kasus Syafri akan dipertimbangkan.
"Tentu, tanpa diminta oleh siapa pun, anggota dewan pasti akan mempertimbangkan itu [rekam jejak kasus dugaan pencabulan Syafri]. Itu informasi yang harus diolah," kata Hendrawan di Gedung DPR, Selasa (3/9/2019).
Terlepas dari itu, Hendrawan berkata Syafri sebetulnya punya kemampuan cukup baik dalam presentasi; juga punya pengalaman akademik yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja.
Syafri adalah satu dari delapan orang yang Selasa lalu, 3 September, mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menerangkan ada 32 nama calon anggota yang akan diuji.
Hanya lima orang yang bakal dipilih.
"Nanti kami cari calon yang terbaik untuk bisa jadi anggota BPK dan memperkuat BPK secara kelembagaan," katanya.
Syafri Adnan Baharuddin merespons pertanyaan reporter Tirto soal tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan nada menyentak. "Kan sudah keluar putusan hukum, you mau menentang hukum?" ujarnya di Gedung DPR, Selasa (3/9/2019).
"Emang you bisa memenuhi keinginan semua orang? You punya berapa sepupu? Kalau you punya 10 sepupu, apa you harus disukai sepuluh-sepuluhnya? Saya tidak punya kepentingan untuk memuaskan semuanya."
Syafri berkata tidak takut jika Amel dan kuasa hukum berniat menuntutnya lagi. "Buat saya, nothing."
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika