tirto.id - Sepucuk tulisan di rubrik “Tanda-tanda Zaman” dalam majalah Basis tentang Waduk Kedung Ombo berbuntut panjang. Penulisnya, Dick Hartoko, diperiksa pihak kejaksaan.
"Mas Budi, tolong siapkan handuk, sabun, odol, dan sikat gigi. Kayaknya saya mau ditahan," ujar Dick seperti ditirukan salah seorang staf redaksi di majalah Basis, Budi Sarjono.
Tak jelas tulisan mana yang memicu kegusaran aparat. Namun, jika membuka-buka kumpulan esai Dick, Dari Maliho O Borok sampai Seni Sono (1992), agaknya esai berjudul “Mboten!” yang menjadi pangkal soal.
Di sana Dick menulis, “Adakah Gubernur Jawa Tengah itu, sebelum mengeluarkan SK-nya, sudah mengadakan musyawarah dengan wakil-wakil penduduk setempat, sesuai dengan sila keempat, sehingga sungguh tercapai hikmah kebijaksanaan?”
Pada akhir 1980-an, Kedung Ombo pernah bikin heboh. Ribuan keluarga diminta pindah dari tanah mereka yang bakal dibikin waduk. Lokasinya di tiga kabupaten: Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Prosesnya dirasakan tidak adil, terutama terkait ganti rugi yang jauh dari memadai. Mereka protes. Para aktivis mahasiswa dari berbagai kota ikut mengadvokasi.
Beruntung, tulisan tentang Kedung Ombo itu tak sampai membuat Dick mendekam di bui. Konon, lantaran bantuan seorang petinggi militer di Yogyakarta.
Dick adalah Pemimpin Redaksi Basis. Ia memimpin sejak 1957, enam tahun sejak majalah kebudayaan yang berkantor di Kota Gudeg itu terbit. Majalah bulanan ini didirikan sejumlah paderi Ordo Jesuit, di antaranya J. Bakker, J. Dijkstra, dan P.J. Zoetmulder. Dick menggantikan Nicolas Drijarkara--sosok yang kelak diabadikan menjadi nama kampus filsafat ternama di Jakarta.
Saat gaduh politik Demokrasi Terpimpin, Basis berseberangan dengan rezim Sukarno. Sejumlah media terseret dan mesti mati. Namun, Basis terus melaju. Paling jauh, serangan berbentuk teriakan anak-anak muda komunis di depan gedung Seminari Tinggi Yogyakarta, “Ganyang Basis, terompet imperialis!!”
Persis pada Oktober 1965, tanpa direncanakan, Basis menurunkan sejumlah tulisan bertema dialog kalangan gereja dengan Marxisme.
“….sebenarnya saya ingin mendengar tanggapan mereka tentang edisi khusus ini. Tulisan-tulisan almarhum Karl Rahner secara mendalam menyoroti dan menelanjangi dasar-dasar Marxisme, khusus mengenai atheisme,” tulis Dick dalam “Perjumpaan dengan Teman-teman Lama.” (1984).
Para intelektual komunis mustahil menanggapi. Gelombang dahsyat sejarah membuat mereka jatuh ke lubang dalam dan gelap, dibunuh atau menjalani pembuangan ke Pulau Buru.
Orde Baru tiba. Sejak Juni 1971, Dickrutinmengisi “Tanda-tanda Zaman.” Esai di sana ringkas belaka, 5-8 paragraf. Selalu tanpa judul, dituturkan dengan terang dan gamblang. Senantiasa menjadi tulisan paling depan, sehingga banyak orang menyangkanya sebagai editorial.
Isi “Tanda-Tanda Zaman” biasanya tak berhubungan dengan tulisan-tulisan dalam edisi bersangkutan. Dick menyatakan, tulisan-tulisannya menyoroti suatu gejala dalam masyarakat, coba menjadi indikator mengenai sehat atau sakitnya masyarakat.
Bidang perhatiannya luas. Ia mengomentari kebiasaan menggelar seminar para birokrat meski hanya untuk menghabiskan duit rakyat, menanggapi penelitian mahasiswa UGM tentang perilaku “kumpul kebo” rekan-rekannya, juga mengkritik aparat yang melarang buku dokumentasi persidangan kasus Sum Kuning--gadis penjual telur yang diperkosa anak-anak pejabat.
“Kembalikah kita ke zaman penjajahan Belanda, ketika semboyan 'demi keamanan dan ketertiban (orde en rust)' juga merupakan kebijaksanaan tertinggi?...Sadarkah kita bahwa dengan tidak diberinya informasi yang lengkap dan obyektif, kita dikurangi dalam salah satu hak asasi kita sebagai manusia?” tulisnya pada Mei 1971.
Sang Dermawan
Mengasuh majalah kebudayaan, membuat Dick akrab dengan kalangan seniman, terutama yang bermukim di Yogyakarta. Bahkan, ia kerap berperan sebagai maecenas. Para seniman mengajukan proposal kegiatan seni, entah musik, puisi, atau drama ke dirinya.
Biasanya, Dick lalu menyediakan tempat di Karta Pustaka, sebuah yayasan kerja sama kebudayaan Indonesia-Belanda yang dipimpinnya. Kalau lagi ada uang, ia menyumbang. Ketika tak punya uang untuk makan, sejumlah seniman juga berpaling ke Dick.
“Saya ini ibarat supir. Melihat supir lain kehabisan bensin, ya saya bantu. Saya bantu kalau lagi punya uang, Kalau tidak, ya maaf saja,” katanya seperti dikutip MATRA edisi Desember 1992.
Basis bertahan salah satunya karena Dick yang selalu merogoh kocek sendiri. Ia punya penghasilan dari mengajar: di Fakultas Sastra UGM, ISI Yogyakarta, Seminari Tinggi Yogyakarta, IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma, dan IKIP (sekarang Universitas Negeri) Yogyakarta.
Penghasilan lain berasal dari menerjemahkan buku. Dick banyak melahirkan karya terjemahan. Salah satunya adalah buku berbahasa Belanda karya CA Van Peursen yang dialihbahasakan menjadi Strategi Kebudayaan (1976). Pengamat politik, Rizal Mallarangeng, ingat dosennya di UGM, Ashadi Siregar, mewajibkan para mahasiswa membaca buku tersebut untuk mata kuliah Etika Komunikasi.
“Buku itu membuka mata saya. Saya mulai lebih mengerti dimensi-dimensi struktural dalam kebudayaan manusia, faktor-faktor nonpersonal seperti susunan kekuasaan, sistem ekonomi, perkembangan teknologi, dan sebagainya yang memengaruhi tingkat kehidupan, daya kreatif, dan pencapaian masyarakat,” tulis Rizal dalam “Ashadi Siregar, Kebanggaan Kami” (2010).
Satu lagi karya terjemahan Dick adalah disertasi P.J. Zoetmulder di Universitas Leiden berjudul “Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek Literatuur.” Karya itu diterjemahkan menjadi Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1990).
Meski di ranah filsafat, buku ini terbilang laris. Pada hari-hari ini versi original-nya masih bisa dipinang di marketplace dengan harga lumayan. Jarang buku filsafat dibajak, tapi Manunggaling Kawula Gusti adalah perkecualian.
Sejumlah buku juga lahir dari tangannya. Hampir semua kumpulan tulisan. Selain Dari Maliho O Borok sampai Seni Sono yang sudah disebut di atas, ada Saksi Budaya (1975), Tanah Airku dari Bulan ke Bulan (1983), Manusia dan Seni (1984), serta Kamus Populer Filsafat (1986).
Al Habib
Dick lahir sebagai Theodoor Willem Geldorp di Jatiroto, Jawa Timur, 9 Mei 1922. Ayahnya asal Belanda, ibunya asli Jawa. Pada usia tiga bulan, ia sudah diadopsi keluarga Hofland, orang Belanda yang bekerja di perkebunan.
Keluarga Hofland menanamkan kegemaran membaca pada Dick. Sejak usia 10, ia sudah doyan melahap cerita-cerita petualangan Karl May. Saat ulang tahun, ia minta buku sebagai hadiah.
Masa remajanya dihabiskan di Jakarta. Selepas dari SMA Kanisius, ia masuk biara di Novisiat Giri Sonta, Ungaran. Selanjutnya belajar filsafat di Kolese Ignatius, Yogyakarta.
Lalu, Negeri Kincir Angin menanti. Ia meneruskan studi sejarah dan teologi. Pada Agustus 1955, ia ditahbiskan sebagai anggota Ordo Jesuit. Sejak remaja, ia memang memutuskan untuk menjadi pastor.
“Selain dorongan Mama Hofland, waktu duduk di SMA Kanisius Jakarta, saya sangat mengagumi gaya hidup para pendidik yang penuh gairah dan semangat itu,” demikian pengakuannya kepada MATRA.
Sepanjang usia dewasanya, ia tinggal di Yogyakarta. Berkutat di antara kantor redaksi Basis, ruang kuliah, danmimbar gereja.
Pada saat-saat tertentu, ia berangkat ke Giri Katon, sebuah pondok kecil di Dukuh Tanen, beberapa kilometer di bawah Kaliurang. Di kaki Gunung Merapi ini, Dick menyepi untuk menulis atau menerjemahkan karya-karya penulis lain.
Dick Hartoko wafat pada 1 September 2001. Majalah Basis sendiri tetap hadir sampai hari ini. Penulis feature andal dan kolumnis sepak bola piawai, Sindhunata, mengambil tongkat kepemimpinan sejak 1995.
Basis, yang disebut HB Jassin sebagai “benteng pikiran sehat” ini, merupakan majalah kebudayaan tertua yang masih terbit di Tanah Air. Tetap bertahan, salah satunya, niscaya lantaran imajinasi dan cinta Dick.
Dalam esai untuk buku 70 tahun Dick, Emha Ainun Nadjib menyebutnya sebagai Al Habib, Yang Mencintai.
Cak Nun menulis, “Romo Dick selalu memelihara perhatian, empati, dan cinta kasih kepada persoalan-persoalan yang sebesar atau sekecil apa pun. Yang internasional, nasional, maupun yang sangat lokal.”
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono