Menuju konten utama

Di Balik Protes PGI Soal RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

YLBHI pun menilai RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan berbahaya. Negara bisa terlalu jauh mengurusi hal privat.

Di Balik Protes PGI Soal RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan
Gedung DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mendapat sorotan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Mereka mengkritik RUU inisiatif DPR itu, khususnya pasal 69-70 yang terlalu mengatur secara detail aktivitas keagamaan sekolah minggu dan katekisasi.

Salah satu yang dipermasalahkan PGI, misalnya, syarat pendirian pendidikan keagamaan dengan memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta harus mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama setempat. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana RUU yang hendak menyetarakan sekolah minggu dan katekisasi dengan model pendidikan pesantren.

“Sejatinya, pendidikan sekolah minggu dan katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan,” demikian rilis PGI terkait RUU inisiatif DPR itu.

PGI menilai penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal, khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia. Kecenderungan ini dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.

Jeirry Sumampow, aktivis Kristen dan lintas agama menilai penerapan sekolah minggu dan katekisasi dalam RUU tersebut sangat keliru. Jeirry mengatakan bahwa apa yang tertulis dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak sesuai dengan kegiatan atau praktik di lapangan.

“Ada beberapa hal tidak sinkron, contohnya sekolah minggu untuk anak-anak tak pernah ada pengajar yang tetap, biasanya kakak pelayan jadi pengajar, jadi bisa berbeda tiap minggu, katekisasi juga begitu. Namun pasal 69-70 mengatur itu,” kata Jeirry kepada reporter Tirto, Minggu (28/10/2018).

Tak hanya itu, mantan Kepala Humas PGI ini menuturkan, pemberlakuan minimal 15 peserta didik di sekolah minggu dan katekisasi tidak tepat dan justru akan menjadi pembatasan beribadah. “Sekolah minggu sudah berlangsung sejak gereja ada, jadi tak perlu lapor ke Kanwil Kemenag. Ini sangat internal,” kata dia.

Jeirry menilai bahwa agenda sekolah minggu dan katekisasi untuk anak-anak cukup berbeda dengan agenda peribadatan umat agama lainnya. Menurutnya, biasanya anak-anak datang ke sekolah minggu dan katekisasi karena mengikuti orang tuanya yang beribadah, sehingga perlu pendekatan yang berbeda dan tak bisa diatur seketat itu.

“Kalau diatur secara publik, sangat rumit dan repot. Pasti tidak akan cocok dan tidak akan tepat disamakan dengan agama lain. Lebih baik tak usah diatur. Harusnya enggak usah masuk UU. Itu sudah bagian hakiki dan kultural. Tak perlu diregulasikan. Lagi pula agenda itu tidak menimbulkan gangguan ke umat agama lain,” kata dia.

Namun demikian, Jeirry tetap mengapresiasi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan karena sejatinya bermaksud baik. Hanya saja, kata dia, pembahasan RUU ini terlalu cepat dan kurang menyerap aspirasi sejumlah kalangan, sehingga masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi.

“Umat Kristen tidak menolak RUU ini, tapi pengaturan sekolah minggu dan katekisasi-nya yang kami permasalahkan,” kata Jeirry menambahkan.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati setuju dengan pendapat Jeirry. Ia menilai bahwa RUU tersebut sangat berbahaya karena mudah mengundang negara terlalu jauh mengurusi urusan personal, terlebih mengenai ibadah keagamaan.

“Padahal namanya pemerintah itu bisa berganti-ganti corak pemerintahannya. Kalau sekarang bisa menghargai keberagaman dan pemerintahan berikutnya bisa sangat intoleran bagaimana? Jika pemerintah membuang HAM sebagai prioritas, tentu ini sangat berbahaya,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto.

Asfinawati menuturkan, jika pemerintah memiliki argumen agar pengajaran keagamaan tidak sembarangan dan tidak ditunggangi pihak tertentu, hal tersebut tak bisa ditanggulangi hanya lewat UU.

“Memang pembatasan hanya bisa dengan UU. Tapi dilihat dulu apa yang diatur, harusnya yang diatur itu yang umum-umum saja. Tidak mengajarkan hate speech atau rasialisme, misalnya, jadi harus yang umum. Kalau ini terlalu detail,” kata dia.

Asfinawari juga menilai jika pendidikan keagamaan harus memiliki peserta didik minimal 15 orang, maka hal tersebut sangat menyulitkan agama dan kelompok minoritas yang jumlahnya sedikit di daerah-daerah terpencil.

“Jika menggunakan minimal nominal, ini sangat terlihat mengacu agama mainstream. Bagaimana jika agama minoritas? Bagaimana jika dalam satu daerah hanya ada dua orang?” kata dia.

Seharusnya, kata Asfinawati, DPR sebagai inisiator dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini berpikir lebih jauh ke depan.

DPR Janji akan Libatkan PGI

Menanggapi sejumlah kritik itu, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB Marwan Dasopang meminta pihak PGI maupun masyarakat lainnya tak perlu khawatir mengenai RUU tersebut. Hal ini, kata dia, mengingat RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan itu masih dalam tahap insiatif dan memungkinkan ada jajak pendapat kembali.

“Sekarang ini tahapnya masih RUU inisiatif. DPR akan menyurati Presiden. Presiden akan keluarkan amanat Presiden, siapa saja yang akan ngebahas ini. Leading-nya tentu adalah Kemenag. Jangan terlalu risau. Nanti masih bisa dibahas,” kata dia kepada reporter Tirto.

Menurut Marwan, dalam pembahasan RUU ini akan ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama bisa diserahkan kembali kepada Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Kedua, bisa juga diserahkan kepada Komisi VIII DPR yang membidangi soal agama dan sosial.

“Namun, walau dikembalikan ke Baleg atau ke Komisi VIII, tetap harus ada dengar pendapat khususnya instansi terkait, seperti PGI mungkin,” kata dia.

“Semua akan dibahas kembali. Apakah pasal-pasal itu sudah memberi ruang, sudah menjaga kebebasan beragama para pemeluknya. Jadi tenang saja,” kata Marwan.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, TB Ace Hasan Syadzily. Ia menyebut pihaknya akan membahas masukan dari PGI soal peraturan sekolah minggu dan katekisasi dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang tengah digodok.

“Nanti pada saatnya kami akan panggil pihak-pihak terkait untuk diminta masukan dalam upaya menyempurnakan UU Pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan,” kata dia kepada Tirto, Jumat kemarin.

Ace memastikan bahwa undang-undang ini dibuat semata untuk membuat pendidikan formal dan nonformal keagamaan bisa setara dengan pendidikan umum. Baik secara fasilitas, maupun legalitas.

Baca juga artikel terkait RUU PESANTREN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz