Menuju konten utama

Di Balik Polemik Transparansi Keppres Pembentukan Pansel KPK

Penolakan Sekretariat Negara terhadap permohonan LBH Jakarta soal salinan Keppres Capim KPK dinilai sebagai bentuk ketidaktransparanan pemerintah Jokowi.

Di Balik Polemik Transparansi Keppres Pembentukan Pansel KPK
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2019-2023 Yenti Ganarsih bersama Wakil Ketua Indriyanto Seno Adji dan anggota Hamdi Moeloek, Hendardi, Mualimin Abdi, Harkristuti Harkrisnowo dan Diani Sadia Wati memberikan keterangan pers terkait hasil uji kompetensi calon pimpinan KPK di Jakarta, Senin (22/7/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.

tirto.id - Keputusan Presiden (Keppres) terkait pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai kritik. Alasannya, Presiden Joko Widodo dinilai tidak transparan dalam pembentukan tim tersebut.

Salah satu indikatornya adalah permohonan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang meminta salinan Keppres itu, tapi ditolak Kementerian Sekretariat Negara. Pengacara publik LBH Jakarta Nelson Simamora menilai tindakan ini sebagai bentuk ketidaktransparanan pemerintah Jokowi terkait pembentukan Pansel KPK.

“Penolakan ini sebetulnya membuktikan juga bahwa rezim Jokowi memang tertutup [bahkan] hanya untuk peraturan perundang-undangan itu tertutup,” kata Nelson, di kantornya, Minggu (28/7/2019).

Penolakan tersebut merujuk ke permintaan salinan Keppres Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK Masa Jabatan 2019-2023. Padahal, kata Nelson, LBH Jakarta sudah mengajukan permohonan untuk mendapatkan salinan beleid tersebut sejak 10 Juli 2019.

Dalam permohonannya itu, Nelson menegaskan Keppres tersebut tidak termasuk informasi yang dikecualikan.

Sejak awal mengajukan, kata dia, LBH Jakarta sudah berharap langsung mendapatkan salinan beleid yang dimaksud. Namun, Kementerian Sekretaris Negara meminta menunggu. Nelson pun mengklaim setiap hari menelepon mereka menanyakan permohonannya itu. Namun, tak ada jawaban yang memuaskan.

Akhirnya, kata Nelson, pada 25 Juli kemarin datang surat dari Kementerian Sekretaris Negara yang intinya menolak permohonan LBH Jakarta. Berdasarkan surat itu, alasan penolakan lantaran Keppres salinan hanya diberikan kepada pihak-pihak terkait yang disebut di dalam Keppres.

Nelson pun menilai alasan itu tidak berdasar.

“Dasarnya apa? Dia tidak menyebut dasarnya, pasal berapa UU Informasi Publik atau apa? [aturan lain yang melarang itu]," kata Nelson menjelaskan.

Menurut Nelson, LBH Jakarta akan menyampaikan surat keberatan atas penolakan itu kepada Kementerian Sektararis Negara. Jika kembali ditolak, maka terbuka kemungkinan LBH Jakarta akan menggugat untuk mendapatkan dokumen yang dimaksud.

Hal senada diungkapkan Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsyari. Ia menilai, salinan Keppres itu penting.

Sebab, kata Feri, jika ada yang tidak setuju dengan formulasi pansel bentukan presiden, maka masyarakat bisa menguji keabsahannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Tapi dengan sengaja ditutupnya akses publik kepada Keppres ini, maka ada hambatan-hambatan tersendiri untuk mempermasalahkan Keppres itu,” kata Feri menambahkan.

Pansel Capim KPK Jadi Sorotan

Salah satu poin yang disorot Feri adalah kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Sebelumnya, ICW merilis banyak calon pimpinan KPK yang tidak patuh melaporkannya. Kendati begitu, mereka tetap diloloskan oleh pansel KPK hingga tahap tes psikotes.

Padahal, menurut Feri, salah satu syarat pimpinan KPK yang diatur di UU KPK adalah melaporkan kekayaan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan KPK Nomor 07 tahun 2016 telah mewajibkan penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan secara berkala setiap setahun sekali.

"Mestinya mereka [pansel] mengetahui ada beberapa calon yang tidak memenuhi syarat sebagai calon pimpinan KPK. Salah satunya ada beberapa orang yang tidak melaporkan LHKPN," ujar dia.

Feri juga menyoroti adanya beberapa calon pimpinan KPK yang mempunyai masalah etik, tapi tetap diloloskan oleh pansel. Dalam konteks ini, ia merujuk pada bekas Deputi Penindakan KPK Irjen Firli.

Kala menjabat di komisi antirasuah, Firli pernah dilaporkan ke komite etik KPK karena bertemu dengan TGB Zainul Madji yang saat itu sebagai Gubernur NTB. Padahal, KPK tengah mengusut dugaan korupsi divestasi Newmont dan saat itu TGB menjadi salah satu pihak yang diperiksa.

Feri juga menyoroti pemerintah yang terkesan tertutup dalam pembentukan pansel pimpinan KPK. Ini merujuk pada permohonan LBH Jakarta yang ditolak Kementerian Sekretariat negara terkait Keppres Nomor 54/P tahun 2019.

Feri mengatakan, ketiga poin itu menjadi tanda adanya cacat prosedur dan cacat substansi dalam proses seleksi capim KPK. Berdasarkan pasal 71 UU Administrasi Pemerintahan, jika ada keputusan yang dibuat dengan kecacatan prosedur dan substansi, maka keputusan itu harus dibatalkan.

Pro dan Kontra

Ahli Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Luhut Pangaribuan menyampaikan memang masih ada perdebatan terkait perlu atau tidaknya pelibatan publik sebagai bentuk transparansi dalam pengambilan keputusan.

“Ada debat hukum juga apakah untuk satu keputusan harus partisipan aktif dan transparan,” kata Luhut saat ditemui di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (30/7/2019).

Namun, ia enggan menjawab apakah langkah tersebut tepat atau tidak. Luhut hanya mengharapkan figur-figur dalam Pansel Capim KPK itu bisa lebih agresif dan sensitif, serta mampu memilih pimpinan KPK yang tepat.

“Kalau memang tidak demikian [capim KPK tidak tepat], wah ini bisa suicide nanti ini. Jadi KPK-nya ini bisa bunuh diri di bawah kepemimpinan orang-orang yang tidak layak kalau misalnya yang dipilih sekarang bukan yang terbaik,” kata dia.

Sebaliknya, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai Keppres tersebut penting untuk dipublikasikan karena bukan merupakan informasi yang dikecualikan.

“Keppres itu kami pandang bukan sebagai informasi yang dikecualikan, harusnya setiap individu masyarakat yang ingin meminta Keppres tersebut dapat diakomodir dengan baik. Jika ada upaya untuk menutup-nutupi tentu harus dipertanyakan komitmen transparansinya,” kata dia.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno membantah bila institusinya menutupi Keppres tersebut. Ia berdalih, dari awal pemerintah sudah merilis siapa saja anggota Pansel Capim KPK yang dibentuk Presiden Jokowi.

Menurut dia, isi Keppres hanya memutuskan nama-nama orang yang ditunjuk sebagaimana yang telah diumumkan ke publik.

Per Senin, 30 Juli 2019, laman resmi Sekretariat Kabinet juga merilis penjelasan soal Keppres itu. Artikel itu memaparkan poin-poin yang ada dalam Keppres Nomor 54/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Pansel Capim KPK Masa Jabatan 2019-2023.

Berdasarkan penelusuran Tirto, salinan Keppres ini diunggah di JDIH Setneg. Keppres yang diteken Presiden Joko Widodo pada 17 Mei 2019 tersebut berisikan tujuh diktum, terdiri dari 3 halaman.

Baca juga artikel terkait CAPIM KPK atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz