tirto.id - Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) menilai Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak perlu diserahkan oleh peserta saat mendaftar.
Ketua Pansel Capim KPK, Yenti Garnasih menyatakan penyerahan LHKPN sempat dibahas timnya pada saat seleksi administrasi.
Kemudian, pansel memutuskan para peserta seleksi capim KPK hanya wajib menandatangani surat pernyataan bersedia menyerahkan LHKPN pada saat sudah terpilih.
"Bahwa apabila nanti terpilih maka bersedia memberikan LHKPN nya. Jadi nanti, begitu sudah terpilih lima orang, baru harus ada LHKPN. Bukan sekarang," kata Yenti di Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Anggota Pansel Capim KPK, Hamdi Muluk menambahkan masukan masyarakat terkait dengan rekam jejak para peserta seleksi juga akan dipertimbangkan. Namun, pansel baru memakai hal itu sebagai pertimbangan dalam tahapan akhir tes, yakni wawancara.
"Setelah kita potong, nanti kami lakukan uji publik. Bersama dengan uji publik itu, kami berharap laporan masyarakat tentang apa saja tentang orang itu, masuk. Itu [akan] menjadi bagian [dari] pertimbangan kami nanti untuk melakukan wawancara," kata Hamdi di lokasi yang sama.
Tes wawancara, kata Hamdi, dilakukan usai pansel menyaring peserta di tahap seleksi administrasi, kompetensi dan psikologi. Oleh karena itu, pada tes wawancara, rekam jejak baru diperhitungkan.
"Kami punya data track record [rekam jejak], data laporan semua masyarakat itu nanti kami olah. Jadi tidak sekarang kami olahnya. Karena memang tahapnya begitu," ujar Hamdi.
"Ini kan tahap awalnya menggugurkan. Baru setelah itu, semua rekam jejak itu akan kita edarkan, kita jembreng-kan di atas meja," tambah dia.
Keputusan pansel selama ini kerap menuai kritik karena dinilai mengabaikan dua hal di atas, yakni LHKPN dan rekam jejak.
Sebagai contoh, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan pansel mengabaikan kepatuhan peserta dari kalangan pejabat negara dalam menyerahkan LHKPN. ICW menilai LHKPN merupakan salah satu indikator integritas pejabat negara.
Sebagian peserta yang lolos seleksi administrasi dan kompetensi juga dipertanyakan kualitasnya. Misalnya, mantan Deputi Penindakan KPK Firli Bahuri yang pernah diduga melanggar kode etik di Komisi Antirasuah. Selain itu, Antam Novambar juga pernah diduga melakukan intimidasi terkait kasus yang melibatkan Kepala BIN saat ini, Budi Gunawan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom