tirto.id - Politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais kembali menjadi sorotan. Kali ini ia disorot bukan karena ide "people power" yang membuat Eggi Sudjana jadi tersangka, melainkan kabar yang beredar bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta telah mencabut gelar profesor atau guru besar yang disandangnya.
Rektor UGM Panut Mulyono mengklarifikasi kabar yang ramai diperbincangkan publik itu. Panut mengatakan gelar profesor Amien Rais telah hilang sejak 20 tahun lalu, ketika Amien memutuskan pensiun dini. Amien Rais sebelumnya menyandang gelar profesor di bidang ilmu politik.
"[Amien Rais pensiun] sejak 1 Mei 1999 atas permintaan sendiri. Kan, beliau aktif di partai sehingga terus atas permintaan sendiri pensiun dini istilahnya, karena belum berusia 70 tahun," kata Panut saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (27/5/2019).
Pernyataan Panut dipertegas Ketua Dewan Guru Besar UGM Yogyakarta, Profesor Koentjoro. Ia mengatakan jabatan akademik yang disandang seseorang akan hilang ketika ia sudah pensiun atau mengundurkan diri.
Sebab, kata Koentjoro, jabatan akademik tidak dapat dibawa terus ketika ia sudah tidak lagi aktif menjabat. "Seorang dosen kalau sudah pensiun, maka jabatannya juga hilang," kata Koentjoro.
Meski demikian, gelar profesor Amien masih diakui Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) setelah dia pensiun dari UGM. "Iya masih. Buktinya dulu saat akreditasi [UMY, Amien Rais] diakui sebagai guru besar/profesor, dan clear diketahui telah pensiun dari UGM," kata Wakil Rektor Bidang Akademik UMY Sukamta saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/5/2019).
Sukamta mengatakan, Amien termasuk salah satu orang yang berjasa dalam pendirian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UMY. Sebelum resmi berdiri pada 1 Maret 1981, ia menyebut Amien Rais turut merintis pendirian fakultas itu.
Setelah Amien terjun penuh ke dunia politik, Sukatma bilang, Amien tidak lagi menjadi dosen tetap di UMY. Akan tetapi, Amien masih sesekali dalam setahun memberikan kuliah umum di UMY.
APTISI: Ukurannya Tridharma Perguruan Tinggi
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko ikut bersuara terkait polemik gelar guru besar Amien Rais.
Menurut Budi, profesor adalah sebutan jabatan fungsional sekaligus jabatan akademik tertinggi dari seorang dosen. Siapapun yang menyandangnya berkewajiban memiliki tugas, tanggung jawab, hak, dan wewenang dalam satuan pendidikan.
“Saya kutip Permen Pendidikan dan Kebudayaan RI No.92/2014 bab 1 ayat (3). Guru besar atau profesor adalah jabatan akademik tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan,” kata Budi saat dihubungi reporter Tirto, Senin kemarin.
Merujuk pada Permen tersebut, kata Budi, siapa saja yang masih mengajar, meneliti, dan melaksanakan pengabdian pada masyarakat atau tridharma perguruan tinggi, dia berhak menyandang jabatan akademik tersebut.
“Pensiun itu tidak ada kaitannya dengan jabatan akademik. Pensiun itu hanya berkaitan dengan gaji dan tunjangan akademik dari pemerintah,” kata Budi menjelaskan.
Begitu pula dengan Amien Rais, kata Budi, politikus senior PAN itu masih bisa disebut sebagai guru besar atau profesor apabila ia masih mengamalkan tridharma perguruan tinggi tersebut di universitas selain UGM.
"Jika Pak Amien aktif di partai, sertifikat dosennya tetap, tetapi tidak berhak mendapat tunjangan guru besar. Tetapi status guru besarnya melekat terus. Kalau sudah meninggal dan atau tidak melaksanakan tridharma tidak berhak menyandang guru besar,” kata Budi.
Terkait ini, Menristekdikti Mohamad Nasir menilai tindakan UGM terkait gelar profesor sudah benar, karena prosesnya berasal dari pensiun dini Amien Rais sebagai dosen.
"Pak Amien Rais itu sudah keluar dari dosen UGM, sejak ia masuk parpol. Karena UU parpol mengatakan, kalau masuk dalam politik atau kepengurusan politik, harus berhenti ASN," ujar dia, di kantor Kemenristekdikti, Jakarta Selatan, Senin (27/5/2019).
Oleh sebab itu, kata dia, jabatan fungsional sebagai guru besar pun secara otomatis akan berhenti. "Karena dia sudah berhenti dari dosen. Kalau dia tetap mengajar, itu hak pribadi," ujar dia.
Nasir mencontohkan dirinya yang kini tak menyandang gelar profesor karena tak bertugas sebagai guru besar lantaran menjadi Menristekdikti.
"Kalau saya selesai menjadi menteri, balik lagi ke kampus, kembali menjadi profesor. Status saya sekarang menteri, berarti lepas sementara dari PNS," kata Nasir.
Makanisme Pemberian Gelar Profesor
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti mengatakan baik satuan perguruan tinggi negeri ataupun swasta dapat mengajukan siapa saja yang dirasa layak untuk menduduki jabatan akademik dosen tertinggi atau guru besar di universitas.
"Kalau PTS [Perguruan Tinggi Swasta] diajukan oleh universitasnya, lalu ke L2Dikti yang dulu namanya Kopertis. Baru nanti dikirim ke Kemenristekdikti," kata Mukti kepada reporter Tiro saat ditemui di kantornya, Jakarta Selatan, Senin malam.
Menurut Mukti, segala berkas yang sudah dikirim pihak PTS akan dinilai tim Penilaian Angka Kredit (PAK). Jika memenuhi syarat, berkas akan ditandatangani dirjen dan baru ke menteri.
Sementara untuk PTN, kata Mukti, nama calon guru besar harus didiskusikan matang mulai dari tahap senat fakultas hingga senat universitas. Setelah itu baru dikirim ke Kemenristekdikti untuk dinilai tim PAK. Kalau layak, kata dia, maka akan ditandatangani dirjen dan menteri.
Untuk kelayakannya calon guru besar, kata Mukti, perlu dilihat secara komprehensif dengan berbagai macam indikator. "Terutama keilmuannya yang dibuktikan dengan publikasi jurnal internasional yang bereputasi dan temuan-temuan baru," kata dia.
Lebih lanjut, kata Mukti, seorang profesor atau guru besar bisa terus aktif sampai batas usia 70 tahun. Ketika yang bersangkutan sudah pensiun, maka secara otomatis ia tidak lagi menduduki jabatan akademik tertinggi tersebut.
"[Kalau sudah pensiun] bisa disebut mantan guru besar, tapi tidak umum di sini. Masyarakat kita sudah terbiasa memanggil orang dengan sebutan prof, meski yang bersangkutan sudah tidak aktif," kata dia.
Untuk pencabutan jabatan akademik sebelum masa pensiun resmi, kata dia, bisa terjadi apabila ada rekomendasi yang disertai bukti valid oleh pihak universitas. Bukti itu, kata dia, nanti diberikan kepada Kemenristekdikti untuk dievaluasi.
"Tapi selama saya berkarier di Kemenristekdikti, belum pernah ada [kejadian seperti itu]," kata dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz