Menuju konten utama

Di Balik Panggilan Sayang untuk yang Terkasih

Seiring meluasnya pengaruh Hallyu (demam Korea), beberapa orang memilih menyapa pasangannya dengan oppa (kakak laki-laki) ataupun ae-in (sayang).

Di Balik Panggilan Sayang untuk yang Terkasih
Ilustrasi Valentine. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam rangka merayakan hari kasih sayang, banyak pasangan berlomba-lomba melakukan sesuatu untuk menunjukkan rasa cintanya.

Padahal dalam kehidupan sehari-hari, gestur yang mengungkap keberadaan rasa cinta sebenarnya sudah sering dipertukarkan kepada satu sama lain meski terkadang tanpa disadari.

Salah satu gestur yang menjadi penanda relasi romantis di antara dua orang adalah kebiasaan menyapa pasangan dengan panggilan kesayangan seperti baby, sayang, honey, ayang, dan babe sebagai pengganti nama asli.

Seiring meluasnya pengaruh Hallyu (demam Korea), ada pula orang yang memilih menyapa pasangannya dengan istilah khas Korea seperti oppa (kakak laki-laki) ataupun ae-in (sayang).

Di bidang ilmu linguistik, pemberian nama dikenal sebagai praktik budaya universal yang bertujuan untuk membuat pembedaan pada orang, objek, atau entitas tertentu.

Selain memiliki peran psikologis dalam membentuk identitas seseorang, nama juga bisa bercerita tentang asal-usul dan makna, serta pengalaman sosial dan budaya orang yang memberikannya.

Suzanne Degges-White, Ph.D., konselor dan profesor dari Northern Illinois University, seperti dilansir dalam artikel di Psychology Today menyatakan bahwa dalam sebuah relasi romantis, pemberian nama kesayangan merupakan metode universal untuk menunjukkan bahwa seseorang menempati posisi istimewa di hati kita. Panggilan kesayangan menyiratkan adanya perasaan sayang pada diri seseorang.

Memiliki orang istimewa yang memberikan nama panggilan khusus kepada diri kita juga bisa memicu hadirnya emosi positif terhadap diri sendiri maupun terhadap orang tersebut. Terlebih apabila nama panggilan tersebut menunjukkan arti yang baik dan sesuai dengan citra diri yang ingin kita miliki seperti “sayangku”, “cintaku”, dan sejenisnya.

Memberikan dan menerima nama panggilan kesayangan kepada pasangan juga merupakan hal yang menyenangkan karena bisa memicu produksi hormon dopamin di dalam tubuh. Pelepasan hormon dopamin ini bisa menghadirkan perasaan bahagia dan semacam reward (penghargaan) atas apa yang kita lakukan.

Bila ditelusuri lebih jauh, pemakaian nama kesayangan memiliki makna yang lebih mendasar bagi diri orang yang memanggil maupun dipanggil.

Infografik Panggilan Sayang

Infografik Panggilan Sayang. tirto.id/Mojo

Seperti dilansir harian The Independent, Dr. Dean Falk, profesor di bidang neuroantropologi dari Florida State University menyatakan bahwa, pemberian nama kesayangan merupakan kebiasaan lintas budaya yang biasa dilakukan oleh para ibu di seluruh dunia kepada anaknya.

“Sapaan berupa nama panggilan kesayangan berguna mendukung kemampuan penguasaan bahasa pada anak yang masih sangat kecil. Kebiasaan memanggil dengan nama kesayangan juga bermanfaat untuk mengungkapkan adanya perasaan cinta sekaligus memfasilitasi pembinaan kelekatan (bonding) antara ibu dan bayinya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang masih sangat kecil senang disapa dengan nama panggilan kesayangan dari ibu mereka,” jelas Falk.

Karenanya, Falk meyakini bahwa penggunaan nama kesayangan untuk pasangan dalam relasi romantis salah satunya merupakan cara seseorang untuk merasakan kembali kehangatan pengalaman cinta pertama mereka, yaitu cinta kepada orang tua — terutama sosok ibu.

Bisa dikatakan, pemberian nama panggilan kesayangan untuk pasangan merupakan cara yang kita lakukan secara alami berdasarkan insting untuk membentuk sebuah ikatan yang lekat dengan pasangan.

Panggilan kesayangan bisa menjadi salah satu cara untuk merefleksikan kembali cinta yang tanpa syarat, seperti kelekatan antara seorang ibu dengan anaknya.

Bukan itu saja, sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa penggunaan panggilan kesayangan juga berguna untuk membantu menjadikan seseorang merasa lebih nyaman dan terbuka terhadap pasangannya.

Dr. Frank Nuessel, profesor di bidang linguistik dari University of Louisville menyatakan bahwa pemberian nama panggilan kesayangan berperan memberikan semacam kelonggaran dan keleluasaan kepada kedua belah pihak untuk bersikap dan bertindak melebihi batasan-batasan yang berlaku dalam norma hubungan sosial antar orang dewasa pada umumnya.

Misalnya, keleluasaan untuk menceritakan pengalaman masa kecil yang selama ini tidak pernah diungkapkan kepada orang lain, kebebasan untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada pasangan, dan keleluasaan untuk menunjukkan kelemahan diri tanpa merasa dihakimi. Juga kelonggaran untuk melakukan sentuhan fisik seperti berpegangan tangan, berciuman dan lain-lain.

Ilustrasi Love Bombing

Ilustrasi Love Bombing. foto/IStockphoto

Satu paket dengan memberikan nama kesayangan, Degges-White dan Falk menyatakan bahwa biasanya pasangan dalam relasi romantis juga melakukan gestur lain yang khas yaitu saling menggoda dan menunjukkan sikap kekanak-kanakan dalam momen-momen tertentu.

Sikap kekanak-kanakan bisa berupa penggunaan intonasi suara yang berbeda (lebih lembut, nada lebih tinggi, lebih mendayu-dayu) ketika berkomunikasi dengan pasangan, seolah ketika sedang berbicara dengan anak-anak (baby talk).

Itu sebabnya, bukan pemandangan langka (meski bukan pula pemandangan yang menyenangkan bagi banyak orang) apabila kita menyaksikan sepasang kekasih ataupun suami istri saling bersikap manja terhadap satu sama lain, lengkap dengan suara tinggi bernada merajuk seperti seorang bocah.

Penjelasan di balik perilaku tersebut, menurut Falk kurang lebih sama dengan pemberian nama kesayangan, yaitu untuk mencicipi kembali pengalaman dicintai seperti yang pernah dirasakan di masa kecil.

Bagi sejumlah orang dewasa, perubahan perilaku menjadi kekanak-kanakan dan tidak sesuai usia sebenarnya (dalam bahasa psikologi kerap disebut sebagai perilaku regresi) juga menunjukkan bahwa dirinya merasa nyaman menunjukkan sisi diri yang lebih ‘vulnerable’ dan tidak sempurna di hadapan orang yang dicintainya.

Indikator Kedekatan Sebuah Hubungan

Sebuah riset yang dilakukan di Nigeria dan dipublikasikan di Journal of Language Teaching and Research pada September 2020 lalu menunjukkan bahwa praktik pemberian nama kesayangan — dalam bahasa yang dipahami dan disukai oleh kedua belah pihak; merupakan sebuah media yang baik untuk mengomunikasikan perasaan seseorang kepada pasangannya. Kita tahu bahwa kelancaran komunikasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sebuah relasi romantis.

Hal ini sejalan dengan hasil survei terhadap 1026 orang dewasa di Eropa dan Amerika yang dilakukan oleh Superdrug Online Doctor pada tahun 2017.

Menurut hasil survey, 90% responden Amerika yang menggunakan panggilan kesayangan mengaku memiliki relasi romantis yang memuaskan, berbanding dengan hanya 56% responden tanpa panggilan kesayangan yang mengaku puas dengan relasi romantisnya.

Ilustrasi Musik Valentine

Ilustrasi Musik Valentine. foto/istockphoto

Studi lain yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Personal Relationship tahun 1993 meneliti korelasi antara penggunaan panggilan kesayangan dan kepuasan dalam relasi romantis.

Hasilnya, pasangan yang menggunakan lebih banyak panggilan kesayangan memiliki hubungan romantis yang lebih memuaskan dibandingkan mereka yang lebih sedikit atau sama sekali tidak menggunakan panggilan kesayangan.

Hanya saja, frekuensi penggunaan panggilan kesayangan mengalami penurunan seiring lamanya durasi hubungan. Pasangan yang menikah kurang dari lima tahun tanpa memiliki anak paling sering menggunakan panggilan kesayangan.

Setelah lima tahun dan setelah memiliki anak, penggunaan panggilan kesayangan akan semakin jarang kedengaran.

Carol J. Bruess, Ph.D, profesor di bidang Komunikasi dan Jurnalistik dari University of St. Thomas yang melakukan studi tersebut menyatakan kepada Scientific American bahwa temuan tersebut adalah suatu hal yang manusiawi dan alamiah.

Menurut Bruess, sama seperti hal-hal lainnya dalam kehidupan, panggilan kesayangan dalam sebuah relasi romantis juga bisa berevolusi seiring waktu. Perubahan dalam cara memanggil pasangan juga bukan satu-satunya indikator yang menandakan bahwa hubungan romantis telah berubah menjadi hambar.

Ada pasangan yang masih tetap saling menyapa dengan panggilan kesayangan yang sama selama bertahun-tahun, ada pasangan yang sudah tidak pernah lagi menggunakan nama kesayangan, namun ada pula yang mengubah-ubah panggilan kesayangan untuk pasangannya seiring perjalanan pernikahan mereka. Itu semua sekadar preferensi yang bisa berbeda-beda antara setiap orang.

Lebih penting dari memusingkan perkara penggunaan nama kesayangan — menurut terapis hubungan yang berbasis di New York City Jamie Turndorf, Ph.D seperti dilansir CNBC News; adalah memperhatikan rasio perbandingan antara frekuensi komunikasi positif dan komunikasi negatif.

Penelitian menyatakan, pasangan yang perbandingan antara komunikasi positif dan negatif setidaknya 5:1 (lebih banyak positifnya) akan memiliki kualitas relasi romantis yang memuaskan.

Jadi, jika dalam sehari ada lima kali percakapan positif (berbagi cerita, memuji, bersenda gurau, dll) dan satu kali komunikasi negatif (mengkritik, bertengkar, menghina, dll) antara diri kita dan pasangan, itu merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah relasi romantis.

Penggunaan panggilan kesayangan, menurut Turndorf, adalah salah satu cara paling mudah untuk meningkatkan frekuensi komunikasi positif, yang berarti juga meningkatkan peluang untuk mencapai kebahagiaan dalam relasi dengan pasangan.

Mulai tertarik untuk mencari panggilan sayang bagi yang terkasih?

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN CINTA atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi