tirto.id - Kemunculan karakter Kang Tae Moo dalam serial Business Proposal yang tayang awal tahun ini membuat hati para penggemar drama Korea berbunga-bunga. Selain penampilan flamboyan—wajah ganteng berbingkai potongan rambut rapi dalam balutan busana necis; perlakuan gentle Kang Tae Moo terhadap Shin Ha-Ri—mulai dari memayunginya di kala hujan, memasangkan tali sepatu, sampai pasang badan untuk melindungi Ha-Ri dari perundungan, juga sukses membuat penonton hanyut dalam lamunan romantis.
Penggambaran karakter utama pria yang mendekati konsep pria ‘sempurna’ dan mewakili sosok seorang jentelmen memang menjadi salah satu magnet utama yang menarik perhatian penikmat tayangan drama Korea.
Hasil survey terhadap 142 responden yang dilakukan di University of San Fransisco, California pada 2017 menyatakan, gestur simpatik dan sikap ‘gentle’ yang ditunjukkan oleh tokoh pria pada pasangannya merupakan salah satu faktor yang membuat penonton perempuan kesengsem pada serial drama percintaan Korea.
Sebelum marak muncul dalam drama Korea, sosok pria jentelmen sebenarnya sudah bisa ditemukan dalam karya film dan sastra dari belahan bumi Barat dari masa ke masa. Sebut saja di antaranya tokoh Ashley Wilkes dalam film klasik Gone with the Wind (1939) dan Harry Hart dalam film aksi anyar The Kingsman (2021).
Ada pula Mr. Darcy dalam novel klasik Pride and Prejudice (1813) dan Count Alexander Rostov dalam novel modern A Gentleman in Moscow (2016). Para tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok pria terhormat dengan penampilan baik, tutur kata sopan dan tingkah laku simpatik, dalam intensitas dan perwujudan yang berbeda-beda.
Citra yang ditampilkan oleh seorang pria yang disebut jentelmen berubah dari waktu ke waktu. Istilah jentelmen juga terus mengalami pergeseran makna. Awalnya di Inggris pada abad ke-16 dan 17, istilah jentelmen diperuntukkan bagi orang-orang dari kelas sosial atas, yang posisinya tepat berada di bawah kasta bangsawan.
Lalu di awal abad ke-19—dimana revolusi industri memunculkan golongan orang kaya baru, sebutan jentelmen meluas pada mereka yang cukup kaya, sehingga mampu mengenyam pendidikan tinggi dan tampil dengan gaya perlente.
Saat ini, definisi jentelmen tak lagi diasosiasikan dengan penampilan necis, meski masih ada kelompok orang yang mengasosiasikan gaya berpakaian tertentu dengan citra seorang jentelmen.
Makalah yang terbit di International Journal of Cross-Cultural Studies and Environmental Communication (2013) menuliskan, pengertian jentelmendi zaman modern lebih berfokus pada sikap patut dan etiket kesopanan yang ditunjukkan oleh seorang pria, sesuai kesepakatan dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Sikap ‘Gentle’ Tanpa Memandang Gender
Terlepas dari istilah jentelmen yang awalnya diperuntukkan bagi pria, menunjukkan sikap gentle dalam arti melindungi dan mendahulukan kepentingan mereka yang berada dalam kelompok rentan, sebenarnya bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan jentelmen sebagai orang yang berpendidikan baik (sopan, berbudi bahasa baik), dan arti kedua adalah bersifat ksatria dan berani. Arti pertama dari KBBI yang mengatakan orang, mengandung unsur bahwa seorang jentelmen termasuk laki-laki dan juga perempuan.
Perwujuduan jentelmen di masa modern juga tidak terbatas pada status sosial, pendidikan, apalagi penampilan seperti di abad sebelumnya. Seorang yang sederhana bisa saja seorang jentelmen bila ia menunjukkan sikap yang sopan dan berbudi bahasa baik pada orang lain.
Sylvia Estrada-Claudio seperti diungkapkannya dalam situs Rappler, mengaku dirinya adalah seorang perempuan ‘jentelmen’.
Direktur di Center for Women's Studies, University of the Philippines ini terbiasa membukakan pintu bagi orang lain. Ketika menyeberang jalan atau berjalan kaki di trotoar, ia juga selalu memilih berjalan di sisi yang berhadapan dengan kendaraan, untuk melindungi orang yang berjalan bersamanya. Sylvia juga akan otomatis berdiri ketika melihat ada orang lain yang lebih membutuhkan tempat duduknya di kendaraan umum.
“Apa yang saya lakukan ini sekadar upaya untuk bersikap sopan dan berbuat baik kepada orang lain. Jangan salah, ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kebingungan identitas gender pada diri saya ataupun upaya untuk mempermalukan pria yang tidak menunjukkan sikap jentelmen. Ini sekadar kebiasaan yang saya lakukan sejak masih umur belasan tahun hingga kini anak-anak saya beranjak dewasa,” jelas Sylvia, yang mendapat pendidikan tentang etiket kesopanan dari bibinya.
Kebiasaan tersebut, menurut Sylvia, adalah hal yang amat masuk akal dilakukan, terutama ketika ia sedang berjalan bersama anak-anaknya ketika mereka masih kecil atau di saat ia sedang menemani orang tuanya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan. Sebagai pihak yang lebih kuat dan mampu, Sylvia memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak-anak dan orang tuanya dengan menunjukkan sikap gentle dalam berbagai kesempatan.
Kepada anak-anaknya, Sylvia juga berusaha menanamkan kesadaran untuk melakukan kebaikan serta menunjukkan kesopanan dan etiket pergaulan yang baik kepada orang lain tanpa memandang gender dan strata sosial.
Sylvia tak ingin anak laki-lakinya bersikap sopan hanya kepada perempuan, karena menganggap perempuan adalah gender yang lebih lemah. Sebaliknya, ia juga tak ingin anak laki-lakinya anti menerima kebaikan dari perempuan karena menganggap dirinya lebih superior dari perempuan.
Wujud Pembelajaran dan Pembiasaan Sejak Kecil
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, menyatakan bahwa definisi seorang laki-laki yang disebut jentelmen memang tak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial budaya serta adanya aneka harapan dan tuntutan yang berkembang di masyarakat terkait peran laki-laki dan perempuan.
“Dari sudut pandang ilmu sosial, kita mengenal adanya konsep femininitas dan maskulinitas. Pembicaraan soal pria gentleman pasti terkait dengan ekspresi maskulinitasnya, yaitu melindungi dan mendahulukan golongan yang lebih lemah—yang dalam konstruksi masyarakat umumnya berarti adalah kaum perempuan. Bentuknya bisa berupa kesediaan memberikan tempat duduk, membawakan barang yang berat, membantu membukakan pintu, dan sebagainya,” ujar Ida.
Berhubung datang dari budaya Barat, sebutan jentelmen sendiri masih belum memiliki padanan istilah yang pas dalam kultur Timur, khususnya di Indonesia. Terlebih, banyak negara Timur yang masih menganut sistem patriarki yang kental.
Di Korea misalnya, meski sosok jentelmen bertebaran di serial drama, namun dalam kehidupan nyata masih banyak kesenjangan perlakuan terkait gender. Survei Perception of Gender Inequality South Korea 2020 menyatakan, 74,6% responden perempuan menilai masyarakat bersikap tidak adil pada perempuan. Jepang yang menjunjung tinggi etiket kesopanan di ranah publik juga masih melanggengkan nilai-nilai patriarkal dalam ranah domestik.
Di Indonesia, keberadaan dan perwujudan sikap jentelmen bisa berbeda-beda tergantung konteks budaya yang berlaku di setiap daerah. Persepsi dan penerimaan pada konsep jentelmenmisalnya, bisa jadi berbeda antara masyarakat yang tinggal di Sumatera Barat dan mereka yang bermukim di Bali.
Perbedaan juga bisa muncul antara mereka yang bermukim di desa dan di kota. Pasalnya, selain dipengaruhi oleh budaya setempat, pola pendidikan dan paparan informasi juga turut memengaruhi persepsi masyarakat tentang hal ini.
Karena dipengaruhi oleh banyak hal inilah, perwujudan sikap jentelmen yang ditunjukkan seseorang di usia dewasa amat ditentukan oleh pembelajaran dan pembiasaan yang diterimanya sejak kecil dari orang tua, keluarga, dan lingkungan pergaulan.
Jika sejak kecil sudah diperkenalkan akan nilai-nilai kebaikan kepada orang lain serta untuk mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, maka sikap ‘gentle’ seperti yang disebutkan di atas akan menjadi bagian dari perilaku sehari-hari.
Sikap Gentle di Berbagai Bidang
Sejalan dengan Sylvia, Ida juga beranggapan bahwa pembagian peran antara laki-laki dan perempuan terkait menunjukkan sikap gentle—dalam artian sopan santun dan etiket pergaulan yang baik, dalam kehidupan sehari-hari tidak perlu dibedakan secara kaku.
Mengasah kemampuan untuk menunjukkan perilaku baik—atau disebut Ida dengan istilah perilaku prososial, kepada orang lain itu penting untuk diajarkan kepada anak laki-laki maupun perempuan sejak dini.
“Membiasakan diri untuk menerapkan perilaku prososial juga merupakan salah satu cara untuk mengatasi tingginya kasus gangguan mental di sekitar kita saat ini. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya penghargaan dan perlakuan yang baik dari orang-orang di sekitar kita merupakan salah satu faktor pemicu munculnya gangguan mental pada diri seseorang. Jadi selain sehat secara lahir, batin, dan spiritual, kita juga perlu menyehatkan diri secara sosial,” jelas Ida.
Selain karena penyebab tadi, perilaku prososial juga penting diterapkan di Indonesia karena negara kita mengalami kondisi defisit sopan santun. Angka kasus perundungan di Indonesia terbilang tinggi di antara negara Asia lainnya.
Di ruang publik seperti di jalan raya misalnya, masyarakat kita sulit menunjukkan perilaku sopan dan beretika seperti mendahulukan pejalan kaki dan mengemudi sesuai aturan lalu lintas. Perilaku di media sosial yang ramai diwarnai hujatan dan kata-kata kasar juga menunjukkan level pemahaman etika masyarakat kita. Padahal, salah satu hal yang mencirikan kualitas peradaban suatu negara adalah bagaimana cara warga negaranya bersikap di ruang publik.
Berangkat dari sana, tak berlebihan apabila dikatakan bahwa salah satu masalah krusial di Indonesia saat ini adalah upaya apa yang perlu dilakukan untuk membentuk karakter manusia yang baik dan beradab.
Bagaimana caranya agar keluarga mampu memupuk munculnya sikap-sikap baik dan beretika pada diri anggota keluarganya—terutama anak-anak, yang kemudian tercermin dalam tindakan sehari-hari dan cara dia membangun pola relasi dengan orang-orang di sekitarnya.
“Itu sebabnya, sikap gentle bukan hanya diperlukan saat menjalin relasi dalam lingkup sempit terkait hubungan romantis dengan lawan jenis. Lebih penting dari itu, sikap gentle juga diperlukan dalam bidang kehidupan yang lain, termasuk gentle dalam berpolitik, gentle dalam mengambil langkah ekonomi, dan sebagainya. Terlebih mendekati tahun politik 2024, sikap gentle terutama penting untuk menjaga keutuhan di masyarakat, agar kita tidak lagi mengalami perpecahan seperti pada tahun politik sebelumnya,” tutup Ida.
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi