tirto.id - Sardjono Kartosoewirjo, anak ketiga Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, mengucapkan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Selasa (13/8/2019) kemarin. Ikrar dilakukan anak pendiri Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) beberapa hari menjelang HUT RI ke-74 di depan Menko Polhukam Wiranto.
Seusai ikrar, Sardjono mengaku dirinya memilih kembali ke pangkuan NKRI lantaran perselisihan politik di masa silam sudah membikin perpecahan. Dan perpecahan tersebut, kata dia, punya akibat buruk dan menjadi waris yang akhirnya ditanggung anak-anak para pemberontak. Ini seperti yang ia rasakan.
"Saya menerima akibat buruk dari perpecahan," kata Sardjono, kemarin.
"Sekarang orang-orang yang mulai mengadakan perlawanan baik itu apa pun bentuknya itu berakibat kepada anak dan keluarganya. Bapaknya meninggal sudah selesai, anaknya anak yatim siapa yang ngurus?" lanjut Sardjono.
Pikiran seperti itulah yang bikin dia akhirnya berikrar kepada NKRI. Ia pun menampik jika ada pihak yang menduga ikrarnya dilatari masalah transaksional.
"Enggak ada. Kami, mah, membela negara enggak dibayar. Tapi saya perlu dengan negara ini," kata Sardjono.
Menko Polhukam Wiranto, yang memimpin dan menerima deklarasi ikrar tersebut, mengapresiasi sumpah setia anak-anak eks pemberontak ini. Baginya, ikrar tersebut adalah hal yang berarti karena para mereka tadinya sempat menjadi bagian dari kelompok yang hendak mendirikan Negara Islam Indonesia.
"Saya sampaikan bahwa kita, katakanlah, mendapat suatu bonus dari ikrar teman-teman kita yang dulu bercita-cita bukan NKRI tapi bercita-cita negara Islam Indonesia. [Ikrar] Itu luar biasa. Dan mengakui keberadaan NKRI sebagai wadah negara kesatuan RI," kata Wiranto.
Wiranto pun mengajak pihak lain untuk melakukan langkah serupa. Bekas Panglima TNI ini berkata ikrar dari eks DI/TII ini baru awal saja. "Jilid pertama itu," ucap Wiranto.
Mengirim Pesan
Wiranto boleh saja merasa senang dan menyebut ikrar itu sebagai bonus. Namun bagi peneliti studi militer sekaligus Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis, deklarasi ikrar setia para eks pemberontak DI/TII itu terasa janggal.
Kata Beni, ikrar setia kepada NKRI sudah biasa dilakukan para pemberontak--termasuk yang dilakukan Dodo Muhammad Darda, anak pertama Kartosoewirdjo--. Namun yang jadi soal, kata dia, mengapa Wiranto yang harus menerima dan memimpin langsung ikrar eks DI/TII ini.
"Seingat saya, belum ada sumpah setia yang dilakukan kelompok separatis [lain seperti] OPM di depan Menko Polhukam. Tapi saya tidak tahu kalau Menko Polhukam sebelumnya pernah melakukan hal yang sama atau tidak," kata Beni kepada reporter Tirto, Rabu (14/8/2019).
Apa yang disampaikan Beni bisa jadi benar belaka. Pada era reformasi hingga kiwari, eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sudah banyak yang berikrar setia, tapi ikrar itu tak dilakukan di depan Menko Polhukam, seperti yang dilakukan eks DI/TII, kemarin.
Pada 2001 hingga 2003, ratusan eks GAM menyerahkan diri dan berikrar setia kepada NKRI. Namun tak ada satu pun yang berikrar di depan Menko Polhukam. Demikian juga pada 2013, saat 858 anggota OPM menyerah dan menyatakan berikrar membela Indonesia dan awal Januari 2019, saat salah seorang jenderal OPM, Mathias Wenda menyerahkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI. Hal serupa juga tak terjadi saat ajudan petinggi OPM Goliat Tabuni, Telangga Gire, dan kawan-kawannya ikut "tobat" pada 9 Juni 2019.
Menurut Beni, DI/TII memang masih punya kekuatan meski sudah puluhan tahun dibubarkan. Kelompok ini masih punya pengaruh dan aktif di beberapa daerah seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bahkan, mereka punya irisan dengan jejaring teroris karena DI/TII merupakan cikal-bakal Jemaah Islamiyah yang akhirnya membentuk Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Oleh karena itu, Beni mengaku bingung kenapa kelompok ini sampai "dispesialkan" Wiranto dengan didengarkan langsung saat mereka mengucapkan ikrar setianya.
"Ini sebenarnya menjadi pertanyaan saya juga, kenapa ada perlakuan berbeda?" kata Beni.
Beni pun skeptis ikrar ini punya dampak positif, lantaran ikrar bukan jaminan eks separatis akan setia kepada NKRI. Ia balik menduga ikrar tersebut mengandung pesan dari rezim Joko Widodo.
"Pemerintahan Jokowi ingin kelompok yang anti-NKRI harus tobat atau berpikir dua kali melakukan ancaman terhadap RI," kata Beni.
Mencari Sensasi
Sementara itu, pengajar Komunikasi Politik di Universitas Jember Muhammad Iqbal menilai aksi Wiranto memimpin ikrar dari eks DI/TII sebagai bentuk komunikasi tanpa substansi. Menurut Iqbal, deklarasi ikrar itu justru membentuk kembali "halusinasi" masa lalu, lantaran problem soal DI/TII sebenarnya sudah bukan masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini.
Iqbal menyarankan Wiranto sebaiknya mengurus masalah lain yang beririsan dengan tugas utamanya sebagai Menko Polhukam, semisal mengoordinasikan secara sinergis jajaran birokrasi politik-hukum-dan keamanan yang membuat rakyat dan negara ini merasa nyaman di negeri sendiri.
"Bukannya malah menghidup-hidupkan kembali 'narasi zombie DI/TII' melalui simulacrum seremoni deklarasi," ucap Iqbal kepada reporter Tirto.
Iqbal juga menilai Wiranto terlalu berlebihan memperlakukan deklarasi ikrar ini dan terlalu sempit memandang arti kesetiaan kepada NKRI dengan seremoni baca ikrar. Di balik itu semua, Iqbal menduga tindakan berlebih ini adalah bagian dari manuver politik yang bermuara pada pos jabatan di kabinet mendatang.
"Soal eks DI/TII tak bisa dipisah menjadi narasi tunggal. Ada begitu banyak rangkaian dengan tokoh sentral Wiranto. Sejak reformasi hingga kini, kalau kita jujur, boleh dikata mungkin Wiranto adalah [salah] satu jenderal yang paling "nyaman dan nikmat" berada di pusaran kekuasaan. Semua itu tercapai tentu dengan rentetan narasi politik yang telah berhasil dimainkan," ucap Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih