Menuju konten utama

Di Balik Fatwa Haram Izin Minimarket

Perdebatan pasar atau toko modern dengan tradisional sudah bergulir satu dekade terakhir. Regulasi pun lahir melalui terbitnya Perpres pada 2007 lalu. Belakangan ini, muncul pula sebuah fatwa haram terhadap pemberian izin toko modern oleh NU Jawa Tengah.

Di Balik Fatwa Haram Izin Minimarket
Pembeli belanja di minimarket. TIRTO/Andry Gromico

tirto.id - Wiwin berdiri di depan kasir sebuah minimarket. Layar monitor kasir muncul angka Rp500 ribu, ia pun merogoh lima lembaran seratus ribu dari dompetnya. Transaksi pun selesai.

Lokasi minimarket di Jakarta Selatan ini berjarak 500 meter dari kediamannya, yang sudah jadi langganan belanja kebutuhan bulanan. Minimarket tetap jadi pilihan Wiwin, meski toko kelontong yang menyediakan segala macam perlengkapan bulanan hanya berjarak 30 meter dari rumahnya.

“Enak di minimarket, lebih murah, lebih lengkap, dan ber-AC,” kata Wiwin.

Sementara itu, Mak Encum sedang pusing tujuh keliling, warung kelontongnya yang sudah berdiri sejak 1995 kehilangan pembeli semenjak minimarket dibuka tiga tahun lalu di dekat tokonya. Omzet bulanan tokonya berkurang drastis. Mak Encum bukan satu-satunya yang merasakan pahit imbas dari menjamurnya toko-toko ritel modern di perkotaan hingga pedesaan.

Para pedagang itu makin tak berdaya di tengah gempuran minimarket. Inilah yang menjadi perhatian para Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah. Pada 7 Desember 2016, PWNU Jateng akhirnya mencapai kesepakatan fatwa bahwa pemerintah haram memberikan izin usaha ritel modern yang diduga kuat akan berdampak negatif terhadap pedagang tradisional atau toko kelontong.

Fatwa tersebut diputuskan melalui musyawarah hukum Islam (bahtsul masail) yang diikuti semua Pengurus Cabang NU dan perwakilan pondok pesantren se-Jawa Tengah di Pondok Pesantren Al-Asnawi Kabupaten Magelang.

“Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa pemerintah dalam memberikan keputusan harus berpijak kepada kepentingan rakyat, tasharruful imam manuthun bil mashlahatir ra’iyyah. Karena itu jika pemberian izin berdampak pada kerugian yang dialami oleh pedagang-pedagang kecil maka izin tidak boleh dikeluarkan. Para pedagang kecil ini menempati jumlah mayoritas,” kata Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah Hudallah Ridwan seperti dikutip dari laman nujateng.com.

Keberadaan minimarket memang sudah semakin tak terkendali. Di kota-kota besar, minimarket saling berjejer, satu sama lain berjarak tak begitu jauh. Di satu sisi, keberadaan minimarket memang memudahkan para konsumen. Namun, kehadiran minimarket ini bagai mimpi buruk bagi para pedagang kecil. Satu demi satu akhirnya tak mampu bersaing dan menutup tokonya. Ini tentu saja membuat sebagian kalangan khawatir mengingat minimarket dimiliki oleh para pemodal besar, beda dengan toko kelontong yang umumnya dimiliki oleh masyarakat kecil.

Infografik Perizinan Ritel Modern yang Haram

Jejaring Toko Modern

Jauh sebelum fatwa ini, pemerintah sudah sadar bahwa gesekan toko atau pasar modern dengan tradisional jadi sebuah persoalan pelik. Hingga terbitlah Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Perpres ini mengatur soal perizinan toko modern oleh pemerintah daerah, soal zonasi, hingga memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, usaha kecil di wilayah setempat terkait pendirian toko modern. Singkat kata, meski masih dianggap memiliki kelemahan, Perpres yang dalam proses revisi ini sejatinya sudah punya semangat melindungi kegiatan toko atau pasar tradisional.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta sudah mengetahui soal fatwa NU, ia menganggapnya sebagai sebuah hak dari NU dan tak mau ikut campur soal substansinya. Tutum hanya menegaskan jaringan toko modern bagian dari upaya menyediakan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat luas, dan perlu melihat sisi positif yang lebih luas.

“Kami sangat menyayangkan seharusnya dikaji lebih matang,” kata Tutum kepada tirto.id.

Sebelum ada fatwa, beberapa kepala daerah sudah ketat hingga melarang adanya perizinan toko modern di wilayahnya. Pengusaha toko modern boleh saja khawatir karena kebijakan ini bisa berdampak bagi perkembangan bisnis mereka. Namun, pelaku pengelola pasar atau toko tradisional punya pandangan berbeda, Ikatan Pedagang Pasar Indonesaia (IKAPPI) memperkirakan ada 36 ribu gerai toko modern di seluruh Indonesia, sedangkan pasar tradisional hanya berkisar 12 ribu pasar.

“Ini angka yang mengejutkan. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, hampir 50 persen dari jumlah tersebut terindikasi bodong atau tidak lengkap secara perizinan serta melanggar zonasi," kata Ketua Umum IKAPPI Abdullah Mansuri.

Dalam kajian IKAPPI, para pedagang tradisional mengalami penurunan omzet rata-rata hingga 40 persen akibat maraknya toko modern. Keluhan IKAPPI sangat beralasan, kelengkapan barang sebuah toko modern menjadi keunggulan bisnis ini daripada toko tradisional. Toko modern berformat hipermarket sedikitnya menjual 25.000 item barang dalam satu gerai.

Dari sisi segmen bisnis toko modern, pertumbuhan paling tinggi dipegang oleh perkembangan jejaring minimarket. Dari nilai pasar bisnis minimarket saja di Indonesia sekitar Rp73 triliun dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebanyak 13,5 persen periode 2012-2015. Perkembangan yang pesat ini tentu memengaruhi sisi penjualan toko modern per kapita di Indonesia yang diperkirakan mencapai $60 per kapita per tahun dengan komposisi 56 persen di minimarket dan 44 persen di supermarket/hipermarket.

Jumlah pendapatan yang amat besar dan terus tumbuh ini salah satunya disumbang oleh konsumen seperti Wiwin yang lebih gemar berbelanja di toko modern daripada toko tradisional. Ini tentu sebuah dilema lama, dan fatwa haram soal pemberian izin toko modern merupakan sebuah peringatan bahwa pemerintah belum beres menata toko modern dan tradisional.

Baca juga artikel terkait RITEL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra