tirto.id - Kasus dugaan penganiayaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang diusut Polda Metro Jaya sudah naik ke tingkat penyidikan, pada Kamis, 7 Februari. Meski demikian, Juru Bicara KPK Febri Diansyah meminta pemeriksaan terkait kasus ini dilakukan di kantor komisi antirasuah.
Pegiat antikorupsi dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai tak masalah bila KPK menginginkan korban atau pelapor diperiksa di luar Polda Metro Jaya. Namun, sikap KPK ini mengindikasikan jika KPK kurang percaya pada polisi dalam mengusut masalah ini.
“KPK harus kita akui belum percaya sepenuhnya kepada Polri untuk tuntaskan kasus-kasus yang mengancam KPK,” kata Boyamin saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/2/2019).
Sebab, kata Boyamin, KPK butuh hasil nyatanya yang selama ini polisi terkesan enggan tuntaskan. Salah satunya adalah kasus penyerangan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan dan teror yang dialamatkan ke dua rumah pimpinan KPK beberapa waktu lalu.
Menurut Boyamin, ada indikasi ketidakseriusan polisi mengusut sejumlah kasus teror yang selama ini dialamatkan kepada KPK dan pegawainya. Padahal, dalam kasus terorisme yang rumit sekalipun polisi mampu mengusutnya.
Namun, mengapa dalam kasus teror ke KPK polisi terkesan “lelet"?
“KPK masih melihat Polri hanya berkutat pada prosedur formil dan belum menyentuh materil sehingga jangan disalahkan KPK [jika] belum percaya Polri,” kata Boyamin.
Boyamin menilai keengganan para penyidik KPK diperiksa di kantor polisi karena mereka tidak percaya dengan mekanisme pemeriksaan di Polri. Hal ini bisa jadi karena sentimen cicak vs buaya yang pernah terjadi belum hilang dan masih membekas di kepala para pegawai KPK.
Perseteruan KPK dan Polri yang dikenal dengan istilah cicak vs buaya ini pertama kali muncul pada 2009. Saat itu, dua pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan tuduhan menerima suap dari Anggodo.
Kasus serupa atau dikenal dengan cicak vs buaya jilid II muncul pada pertengahan 2012. Perseteruan ini merebak seiring dengan penggeledahan dan penyitaan barang bukti di kantor Korlantas Polri, Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan.
Suasana semakin tegang usai KPK menetapkan Irjen Djoko Susilo (petinggi aktif Polri) sebagai tersangka.
Di sisi lain, kata Boyamin, polisi nampak kurang semangat dan seakan-akan mereka tidak satu barisan dengan KPK dalam proses kasus penganiayaan pegawai KPK yang diduga dilakukan oleh pejabat Pemprov Papua.
“Malah agak janggal ketika polisi menerima laporan balik pencemaran nama baik dari Pemprov Papua.
Penerimaan Laporan balik ini menimbulkan kesan bahwa polisi tidak bela KPK,” kata Boyamin.
Alasan KPK dan Perkembangan Kasus Penganiayaan
Ahli hukum acara pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho menilai tidak ada masalah jika pemeriksaan dugaan penganiayaan pegawai KPK dilakukan di kantor KPK. Sebab, pemeriksaan bisa dilakukan di mana pun selama disepakati bersama antara Polri dan KPK.
“Yang penting pemeriksaan mau, Polda mau, KPK juga mau enggak masalah," kata Hibnu saat dihubungi reporter Tirto.
Menurut Hibnu, di era keterbukaan ini, seseorang bisa diperiksa di berbagai tempat. Akan tetapi, pemeriksaan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Pemeriksaan pun bisa dilakukan di luar Polda selama substansi pemeriksaan tidak hilang.
"Yang penting substansi hasilnya kena," kata Hibnu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, lembaganya memang meminta agar Polda Metro Jaya memeriksa pegawai KPK terkait kasus penganiayaan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, dilakukan di kantor KPK. Alasannya, kata Febri, untuk mempermudah koordinasi.
Menurut Febri, KPK hendak berkoordinasi terkait kebutuhan-kebutuhan lembaga antirasuah itu dengan kepolisian. Namun, pemeriksaan yang dijadwalkan berlangsung, Kamis, 7 Februari 2019, batal dan dijadwalkan ulang.
Sebab, kata Febri, tim dari Polda Metro Jaya memiliki pekerjaan lain pada waktu yang bersamaan. Sementara untuk dua pegawai KPK yang menjadi korban penganiayaan rencananya akan diperiksa di rumah sakit. Namun, tidak tertutup kemungkinan pemeriksaan dilakukan di tempat lain.
Hal itu dilakukan karena mempertimbangkan faktor keamanan, faktor pengobatan, dan juga hasil koordinasi antara KPK, Polri, dan tim dokter.
Hal serupa juga pernah dilakukan saat pemeriksaan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Saat itu, penyidik dari kepolisian harus terbang ke Singapura untuk memeriksa Novel yang masih dirawat.
“Jawabannya sudah cukup yang tadi ya, sudah cukup jelas,” kata Febri ketika ditanya apakah ada ketidakpercayaan dari KPK kepada Polri sehingga personelnya tidak diperiksa di Polda Metro Jaya.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal mengatakan, tidak masalah jika pemeriksaan berlangsung di kantor KPK.
“Tidak ada yang salah dengan itu, dalam pemeriksaan kami mengedepankan upaya persuasif dan humanis. Kalau mereka minta diperiksa di sana, kami akan ke sana,” kata Iqbal, di Mabes Polri, Kamis (7/2/2019).
Iqbal menyebutkan, terkait rencana tersebut pihaknya telah berkoordinasi dengan jajaran KPK. “Hari ini [Kamis] sudah kami koordinasikan,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan institusinya telah menerima visum pegawai KPK yang diduga menjadi korban penganiayaan. Visum itu akan dijadikan sebagai kelengkapan berkas.
“Visum sudah dikirim ke penyidik dan akan dijadikan kelengkapan berkas, juga bisa digunakan untuk mengetahui sakit korban,” kata Argo Yuwono ketika dikonfirmasi, Jumat (8/2/2019).
Visum itu, lanjut Argo, akan digunakan dalam persidangan. Selain itu, polisi juga memeriksa saksi, bukti petunjuk serta alat bukti untuk mengusut kasus tersebut.
“Semua kami lakukan menggunakan metode induktif,” ucap dia.
Penulis: Abdul Aziz