Menuju konten utama

Desakan Lockdown yang Terus Menguat untuk Tangani Corona COVID-19

Beberapa organisasi kesehatan dan masyarakat sipil kian mendesak pemerintah untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 (corona).

Desakan Lockdown yang Terus Menguat untuk Tangani Corona COVID-19
Calon penumpang melintas di depan konter tiket kapal ferry tujuan Malaysia dan Singapura yang tutup di Pelabuhan Internasional Batam Centre, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (18/3/2020). ANTARA FOTO/M N Kanwa.

tirto.id - Desakan untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown untuk menekan angka persebaran Corona atau Covid-19 sudah datang dari berbagai pihak, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Selain itu, opsi ini juga datang dari Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI). Dalam surat pada 14 Maret 2020 lalu, PA PAPDI meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit Covid-19.

Tindakan itu dinilai penting untuk meningkatkan kecepatan dalam membatasi penyebaran Covid-19.

Per Kamis pukul 12 siang kemarin, total kasus positif di Indonesia ada 309 orang, dengan jumlah kematian 25 orang atau setara 8 persen dari total yang dirawat. Sementara di Jakarta, per Kamis pukul 12 siang, sudah ada 208 warga yang didiagnosa positif Covid-19, menurut laman corona.jakarta.go.id.

Data ini menunjukkan bahwa Jakarta adalah episentrum penyebaran Corona. Pemprov DKI tahu betul soal itu, dan tampak berupaya melakukan hal-hal yang mengarah ke lockdown untuk menanganinya.

Pemprov DKI, misalnya, telah membatasi kegiatan-kegiatan yang mengundang keramaian pada awal Maret lalu. Mereka juga membatasi akses transportasi pada Senin kemarin. Namun upaya yang disebut terakhir gagal setelah pemerintah pusat mengatakan keputusan lockdown adalah "kebijakan pemerintah pusat."

Pemerintah pusat memang berkali-kali menegaskan tidak akan mengambil opsi karantina wilayah atau lockdown. Opsi terkini yang bakal digelar adalah rapid test dengan cakupan wilayah yang luas, seperti yang dinyatakan Presiden Joko Widodo pada Kamis (19/3/2020) kemarin.

Selain PB PAPDI, desakan serupa juga muncul lewat Rekomendasi Strategi Penanganan Covid-19 yang dikeluarkan 9 organisasi tenaga kesehatan. Selain PB PAPDI, organisasi yang mengeluarkan pernyataan serupa adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), Laboratorium Eijkman, RS Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Wecare.id.

Ada 7 rekomendasi yang mereka berikan, salah satunya karantina wilayah dengan modifikasi atau aturan yang diperjelas di daerah prioritas seperti DKI Jakarta.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan menyebut agar efektif, lockdown harus dibarengi dengan tes massal.

Pemerintah juga harus melakukan tracing luas dari pasien yang telah terkonfirmasi positif Covid-19. Kriteria untuk menjadi orang dalam pengawasan (ODP) pun harus diperluas, tak hanya orang yang mengalami demam tetapi seluruh orang yang melakukan kontak langsung dengan pasien positif Covid-19. Mereka yang memiliki gejala tapi belum dinyatakan positif pun harus segera dikarantina.

"Ini yang dilakukan betul-betul di Cina," kata Aman kepada reporter Tirto, Kamis (19/3/2020). Covid-19 pertama kali terdeteksi di Cina. Saat ini mereka telah mampu menekan angka penderita baru secara maksimal.

Karantina wilayah pun ada aturannya dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. "Kenapa kita buat undang-undangnya kalau kita tidak siap melakukannya?" katanya.

Selain lockdown, rekomendasi lain yang diberikan organisasi ini adalah: memperkuat koordinasi dan komunikasi antarpemerintah dan dengan masyarakat; memastikan akses informasi dan menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan; memastikan tersedianya dukungan teknis pelaksanaan penanganan Covid-19.

Keempat, memastikan tersedianya layanan kesehatan yang optimal dan aman; ketujuh, pengendalian Covid-19 melalui screening masif, pembatasan sosial, dan karantina diri; dan terakhir, memastikan mitigasi dampak dan penggunaan teknologi dalam penanganan Covid-19.

Kenapa Tidak Lockdown?

Salah satu alasan pemerintah kenapa tak juga mengikuti saran para ahli ini adalah faktor ekonomi. Lockdown dirasa akan merugikan kinerja perekonomian.

"Belum diambil oleh pemerintah karena lockdown itu... memiliki implikasi ekonomi, implikasi sosial, dan keamanan," kata Tim Pakar Gugus Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito di kantor BNPB, Jakarta, Rabu (18/3/2020).

Tanpa opsi lockdown pun saat ini Covid-19 telah memukul perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah, misalnya, sudah melemah di angka hampir Rp16 ribu. Sementara IHSG anjlok mencapai 5 persen dan membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) pada Kamis (19/3/2020) pukul 09.37.18 waktu JATS.

Meski belum membuka opsi lockdown, pemerintah bukan tidak ancang-ancang ke arah sana. Dalam konfrensi pers pada Rabu (17/3/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan "kalau BNPB memutuskan isolasi, pasti sudah dipikirkan juga bagaimana supporting growth, bahkan sampai masalah ke desa."

Ia menegaskan salah satu hal yang harus dipikirkan masak-masak jika lockdown adalah bagaimana mengonsentrasikan instrumen fiskal pemerintah untuk menjamin ketersediaan bahan pokok serta menjamin aktivitas logistik berjalan lancar.

Pemerintah juga perlu berkonsultasi terlebih dulu kepada DPR RI untuk merealokasi sejumlah pos pengeluaran agar bisa difokuskan untuk penanggulangan Covid-19. "Kalau mengatur ulang [APBN] harus konsultasi dengan DPR," katanya.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri