tirto.id -
Keraguan Denny ini karena barang bukti berupa dokumen dan surat-surat yang diserahkan begitu banyak, baik itu yang diserahkan dari pihaknya sebagai pemohon, ataupun dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon, Jokowi-Ma'ruf sebagai pihak terkait, bahkan dokumen-dokumen yang diserahkan oleh Bawaslu sebagai pihak pemberi keterangan.
"Barang bukti kertas ini memang tidak efisien. Dengan waktu yang ada, majelis tidak akan sempat mempelajari satu per satu," ujar Denny di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2019).
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini berharap MK nantinya bisa menjadi lembaga peradilan pertama yang menerapkan teknologi, salah satunya dengan penggunaan barang bukti digital.
"Sebenarnya ini sudah coba diterapkan oleh mahkamah, hanya saja perlu konsistensinya saja pada saat pembuktian-pembuktian kemarin," tuturnya.
Denny menambahkan, bila sudah menerapkan teknologi yang tak mengharuskan banyak penggunaan kertas, menurutnya salah satu manfaatnya yakni tidak perlu lagi banyak penggandaan dokumen sebagai bahan pembuktian.
"Kita tahu kertas dari kayu, dan itu berarti kita merusak lingkungan," jelas Denny.
Dalam sidang terakhir sengketa hasil pemilu, salah satu anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga, Iwan Satriawan mengeluh karena telah mengeluarkan anggaran hingga miliaran rupiah untuk memfotokopi formulir C1.
"Kami menghabiskan uang miliaran hanya untuk fotokopi C1. Bawaslu kabarnya juga menghabiskan sekian miliar," kata Iwan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019) pekan lalu.
Tidak hanya C1, dokumen seluruh permohonan, jawaban, dan bukti, membuat Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga merogoh kocek banyak. Pasalnya dokumen tersebut harus dirangkap 12 buah.
Dia menyebut, pengadilan di Indonesia sangat mahal. Padahal beban biaya tersebut dapat dipangkas dengan adanya digitalisasi.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Nur Hidayah Perwitasari