tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen secara bulanan pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 sekaligus menandakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa.
Deflasi berturut-turut pertama kali terjadi pada Mei 2024 lalu, sebesar 0,03 persen month to month. Lalu di Juni menyentuh 0,08 persen dan tak lebih baik pada Juli dengan 0,18 persen. Deflasi kemudian mulai membaik pada Agustus yakni kembali ke level 0,03 persen secara bulanan dan kembali memburuk pada bulan lalu.
“Deflasi pada bulan September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” ujar Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Deflasi dalam lima bulan terakhir secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak (volatile food). Secara khusus, pada September 2024, komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,34 persen, dengan andil terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen.
Komoditas utama yang berperan dalam deflasi bulanan yaitu cabai merah sebesar 0,09 persen, cabai rawit sebesar 0,08 persen, telur ayam ras dan daging ayam ras masing-masing sebesar 0,02 persen, serta tomat, daun bawang, kentang, dan wortel masing-masing sebesar 0,01 persen.
"Faktor yang mempengaruhi deflasi atau penurunan harga adalah sisi penawaran. Andil deflasi utamanya disumbang oleh penurunan harga pangan," katanya.
Terjadinya deflasi secara beruntun ini, diklaim baik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, sebagai upaya penurunan harga-harga barang di lapangan. Jokowi bahkan meminta kepada publik untuk memahami pentingnya penyebab deflasi demi memastikan kondisi perekonomian terkendali dan stabil.
"Yang pertama, coba dicek betul deflasi itu karena penurunan harga-harga barang, karena pasokannya baik, karena distribusinya baik, karena transportasi enggak ada hambatan," ujar Jokowi saat memberikan keterangan kepada media saat menghadiri Nusantara TNI Fun Run 2024 di Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), Minggu (6/10/2024).
Sementara itu, Zulkifli Hasan menyebut harga bahan pokok yang murah di pasar menjadi penyebab deflasi Indonesia. Zulhas mencontohkan, harga cabai dipatok pemerintah sebesar Rp40 ribu per kilogram (kg), tetapi harga pasar di angka Rp15 ribu. Kemudian harga telur saat ini di angka Rp24 ribu sementara standar pemerintah Rp28 ribu.
"Ini memang ada beberapa yang terlalu murah (harga pangan), terlalu murah ini kan,” kata sosok yang akrab disapa Zulhas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (4/10/2024).
Pernyataan keduanya tentu sangat normatif. Karena jika memang harga-harga barang atau bahan pokok turun, kondisinya sangat kontras dengan yang terjadi di lapangan.
Pasalnya beberapa komoditas masih terpantau berada di zona merah. Artinya, harga-harga tersebut masih cukup tinggi atau alami kenaikan.
Tirto mencoba memotret data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) periode 1 September - 30 September 2024. Hasilnya mayoritas komoditas pangan alami kenaikan.
Beras premium dan medium misalnya. Harga rerata nasional pada bulan lalu untuk beras premium sebesar Rp15.540 (naik 0,39 persen) dan beras medium Rp13.590 (naik 0,15 persen).
Beberapa komoditas lainnya yang juga naik adalah bawang merah Rp27.000 (naik 0,50 persen), bawang putih bonggol Rp39.590 (naik 0,18 persen), cabai merah keriting Rp31.470 (naik 0,25 persen, daging ayam ras Rp34.530 (naik 0,39 persen), telur ayam ras (naik 0,67 persen).
Sedangkan jika melihat kondisi harga pada hari ini, beberapa komoditas pangan juga masih berada di zona merah. Berdasarkan data Info Pangan Jakarta, beberapa komoditas yang mengalami kenaikan khususnya di pasar-pasar tradisional ada di Jakarta adalah beras, minyak goreng, cabe merah besar, cabe rawit merah, dan cabai rawit hijau.
Untuk beras IR III (IR 64) atau medium saat ini terpantau Rp13.264 per kg (naik Rp440), cabai merah Rp40.533 (naik Rp1.141), cabai rawit merah Rp52.071 (naik Rp680), dan Rp38.343 (naik Rp100).
“Harga bahan pangan memang bergerak naik turun selama satu bulan [kemarin]. Dalam perhitungan inflasi dilihat rata-rata satu bulan. Memang ada penurunan harga pada beberapa bahan pangan, namun demikian terjadinya deflasi bukan semata-mata karena harga turun,” ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, kepada Tirto, Selasa (8/10/2024).
Penurunan Daya Beli jadi Sebab Deflasi
Lebih lanjut, Riza menuturkan ada hal lain di balik terjadinya deflasi secara berturut-turut, yaitu penurunan daya beli. Dalam lima bulan terakhir deflasi terjadi diikuti dengan perlambatan indikator-indikator makro yang terjadi. Jadi deflasi ini menunjukkan bahwa memang terjadi penurunan daya beli di masyarakat.
“Penurunan daya beli ini terjadi karena adanya fenomena penurunan jumlah middle class income, selain itu penutupan pabrik di sektor industri manufaktur membuat gelombang PHK. Sehingga banyak yang menahan konsumsinya,” kata dia.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan jika dilihat dari inflasi inti pada September 2024 sebenarnya sudah menggambarkan permintaan yang terjadi di masyarakat. Di mana angka inflasi inti pada September hanya berada di angka 0,16 persen secara bulanan.
“Di sinilah saya kira salah satu poin yang kita harus dikritisi karena angka inflasi secara bulanan ini relatif mirip dengan angka inflasi inti ketika terjadi proses pemulihan setelah pandemi terutama di 2020 dan juga 2021. Pada saat itu angka inflasi inti berada di kisaran 0,06 hingga 0,17 persen,” ujar Yusuf dalam pernyataanya, Selasa (8/10/2024).
Kemudian, jika melihat data indeks keyakinan konsumen pada Agustus 2024 misalnya, meski secara umum keyakinan konsumen mengalami peningkatan namun jika dilihat datanya berdasarkan kelompok pengeluaran ataupun sebagai proxy penghasilan terjadi penurunan keyakinan konsumen.
Ini terjadi terutama untuk pengeluaran atau penghasilan Rp3,1 juta hingga Rp4 juta. Sementara untuk pengeluaran Rp4,1 juta hingga Rp5 juta pertumbuhannya juga relatif kecil hanya mencapai 0,7 persen secara bulanan.
“Artinya memang kelompok kelas menengah relatif tertekan untuk melakukan konsumsi,” jelas Yusuf.
Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, mengatakan fenomena deflasi ini perlu dikaji dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi demand (permintaan) dan sisi supply (penawaran), sehingga bisa terlihat kesimpulan yang lebih komprehensif.
Dari sisi demand, indikator-indikator ekonomi memang telah menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang menurun. Pada Agustus 2024, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) sudah merilis bahwa lebih dari 8,5 juta penduduk Indonesia turun kelas sejak 2018.
Sedangkan dari sisi supply, data ekonominya juga menunjukkan tekanan, yaitu dari data Purchase Managers' Index (PMI), yang menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. Sejak April 2024, PMI terus mengalami penurunan, dan bahkan sejak bulan Juli 2024 mengalami kontraksi, yaitu indikator PMI yang turun di bawah 50.
“Maka daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga,” kata Ajib kepada Tirto, Selasa (8/10/2024).
Paling tidak, menurut Ajib ada dua hal utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan. Pertama adalah kebijakan fiskal. Pada kuartal keempat ini pemerintah mempunyai ruang fiskal yang begitu sempit untuk bisa menggunakan kebijakan fiskal sebagai pengatur perekonomian. Ini karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk kebutuhan APBN.
“Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kebijakan kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli,” ucap Ajib.
Sebagai contoh saja, adalah narasi dan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada awal Januari 2025. Kondisi ini tentunya perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah, karena masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas.
Kedua adalah kebijakan moneter. Pada September, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen. Harapan dunia usaha, pada kuartal keempat ini, BI kembali melakukan penyesuaian, misalnya diturunkan 25 basis poin.
Dengan tingkat suku bunga acuan di bawah 6 persen, potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir di sistem perekonomian indonesia, dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya.
Meski dinilai sebagai pelemahan daya beli, namun Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sempat membantah bahwa deflasi yang terjadi bukan karena penurunan daya beli masyarakat. Sebab menurutnya melemahnya daya beli akan tercermin dalam inflasi inti.
"Kalau lihat dari core inflasinya, masih positif, mungkin bukan dari situ [penurunan daya beli]. Kalau deflasi berasal dari [penurunan] harga pangan memang diupayakan oleh pemerintah," ujar Sri Mulyani kepada awak media di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jakarta, Senin (2/9/2024).
Meski deflasi ini menunjukkan hal baik, namun Sri Mulyani tidak ingin lengah dan akan tetap mewaspadai tingkat deflasi dan inflasi nasional.
"Kita akan tetap waspada. Kalau core inflasinya masih cukup bagus masih tumbuh ya itu oke," pungkas Sri Mulyani.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto