Menuju konten utama

Kadin Waspadai Turunnya Daya Beli Imbas Deflasi 5 Bulan Beruntun

Pasalnya, daya beli masih menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kadin Waspadai Turunnya Daya Beli Imbas Deflasi 5 Bulan Beruntun
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani memberikan keterangan saat konferensi pers terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Jakarta, Jumat (31/5/2024). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.

tirto.id - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri, Shinta W. Kamdani, mengatakan bahwa pihaknya tengah mewaspadai penurunan daya beli masyarakat imbas deflasi yang telah terjadi lima bulan terakhir. Pasalnya, daya beli masih menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kalau inflasi sangat terjaga kan. Kalau kami lihat, deflasi pangan dan inflasi sangat controllable. Cuma, bagaimana pengaruhnya ke daya beli masyarakat karena konsumsi. Kita udah lihat bahwa pasar domestik menjadi kunci utama di ekonomi kita,” kata Shinta usai Sarasehan Ketua Umum Kadin Indonesia bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu (2/9/2024).

Shinta mengatakan bahwa penurunan daya beli masyarakat itu terefleksi dari indeks aktivitas atau Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang pada September 2024 kembali terkontraksi di bawah 50, tepatnya di 49,2.

Menurutnya, kinerja PMI manufaktur akan lebih bergantung pada permintaan dosmetik ketimbang dari pasar internasional atau ekspor.

Meski begitu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tersebut menekankan bahwa tidak bisa hanya melihat deflasi sebagai deflasi saja, melainkan harus dilihat secara jelas komponen-komponen inflasi dalam satu periode tersebut.

Meskipun pada September 2024 Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan (month ton month/mtm), kata Shinta, komponen-komponen inti masih mengalami inflasi sebesar 0,16 persen (mtm).

Sementara itu, deflasi berasal dari komponen harga pangan bergejolak (volatile food) yang sebesar 1,34 persen (mtm) dan kelompok harga diatur pemerintah atau administered prices sebesar 0,04 persen (mtm).

Jadi, jelas ini tadi disampaikan ada intervensi dari pemerintah karena kita dari volatilitas harga pangan ini yang jadi masalah utama. Yang kami khawatirkan adalah ini semua pengaruh juga ke daya beli. Ini yang sebenarnya jadi kunci utama,” imbuh Shinta.

Untuk mendorong daya beli masyarakat, Indonesia harus bisa mengungkit sektor industri manufaktur yang saat ini sedang melemah. Menurut Shinta, itu bisa dilakukan melalui industrialisasi, baik dengan downstreaming maupun hilirisasi serta mengembangkan industri hulu.

“Dua hal yang selalu saya sampaikan, pertama bagaimana Indonesia bisa berdaya saing dengan cost of doing business kita ini masih termasuk yang kalau bandingkan negara ASEAN lain, cost kita untuk baik labour cost, energy cost, logistic cost salah satu yang paling tinggi di ASEAN. Gimana kita bisa efisiensi untuk bisa menurunkan cost of doing business kita,” jelas dia.

Kemudian, Indonesia juga harus bisa memasukkan produk-produk lokal ke rantai pasok global (global supply chain). Namun, sebelum itu pemerintah dan dunia usaha harus terlebih dulu dapat meningkatkan daya saing produk-produk lokal.

Kedua, bagaimana produk-produk kita bisa masuk ke supply chain.Jadi, ini sesuatu PR kita bahwa kita bisa mengembangkan produktivitas dari produk-produk yang ada supaya bisa masuk jaringan pasar global,” sambung Shinta.

Baca juga artikel terkait DEFLASI atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi