tirto.id - Kementerian Keuangan mengatakan deflasi tiga bulan berturut-turut selama Juli-September 2020 merupakan sinyal bahwa pelemahan daya beli terus terjadi. Di sisi lain, pemulihan ekonomi tidak berjalan seperti yang diharapkan pemerintah.
“Terlihat data inflasi. Ada deflasi 3 bulan berturut-turut. Dilihat inflasi inti. Itu memang belum negatif tapi makin kecil. Sisi permintaan perekonomian belum pulih secepat kami bayangkan,” ucap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam doorstop virtual, Kamis (1/10/2020).
Deflasi tiga bulan berturut-turut ini diketahui usai Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi September 2020 yang mengalami deflasi 0,5 persen. Tren ini melanjutkan deflasi yang sudah terjadi selama Juli-Agustus 2020 dengan masing-masing deflasi 0,1 persen dan 0,05 persen.
Salah satu indikator yang disorot BPS RI adalah inflasi inti yang terus turun. Pada September 2020 angkanya 1,86 persen yoy lebih rendah dari inflasi inti 2019 yang mencapai 3,32 persen yoy.
Realisasi September 2020 ini melanjutkan penurunan yang sudah terjadi sejak Maret 2020. Kebetulan angka inflasi inti ini ternyata menjadi yang terendah sepanjang sejarah pencatatan BPS dan Bank Indonesia yang dimulai sejak 2004.
Febrio mengatakan tren deflasi ini sejalan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi yang pada kuartal III (Q3) 2020 akan mencapai kontraksi 2,9 sampai 1 persen. Ia bilang jika pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi, tidak dapat dipungkiri inflasi akan ikut melemah.
“Sepanjang pertumbuhan masih negatif, inflasi akan rendah dan konteks ini 3 bulan berturut-turut deflasi kecil. Jadi sinyal pemerintah interpretasinya sisi permintaan masih belum pulih,” ucap Febrio.
Merespons deflasi ini, pemerintah telah menyiapkan langkah menjaga daya beli dan permintaan. Ia mencontohkan perlindungan sosial akan dilanjutkan sampai akhir tahun 2020 bahkan 2021.
Febrio bilang berbagai upaya sudah dilakukan melalui penggelontoran program bantuan sosial. Antara lain, bantuan presiden produktif Rp2,4 juta per UMKM, subsidi gaji pekerja berupah di bawah Rp5 juta.
“Itu dalam konteks maintain sisi permintaan dari ekonomi,” ucap Febrio.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz