tirto.id - “Jadi, kalau boleh tahu, nih, Huxley. Kamu itu keturunan monyet dari pihak nenek apa kakek?”
Itulah pertanyaan yang dilontarkan Uskup Wilberforce kepada Thomas Huxley, ahli biologi muda berusia 35 tahun. Wilberforce adalah pemuka agama dengan posisi yang mapan, usianya 55 tahun dan 15 tahun terakhir memimpin Keuskupan Oxford. Pertanyaan ad hominem itu jelas membuat Thomas Huxley geram dan memantik perdebatan sengit di Museum of Natural History, University of Oxford, pada 30 Juni 1860, tepat hari ini 161 tahun lalu.
Terdapat banyak versi mengenai kata-kata persis yang saling dilontarkan antara Wilberforce dan Huxley. Terlebih ketika debat itu berlangsung, tidak banyak media yang meliputnya, dan hanya muncul sebagai tulisan pendek. The Press, mencatat jawaban Huxley, melaporkan bahwa “dirinya lebih memilih monyet sebagai kakeknya ketimbang manusia yang bisa bikin lelucon semacam itu.” (J. Vernon Jensen, “Return to the Wilberforce-Huxley Debate”, The British Journal for the History of Science, Vol. 21, No. 2, Juni 1988, hlm. 168).
“The Great Debate” atau dikenal juga sebagai “Huxley-Wilberforce Debate” adalah sebutan untuk peristiwa perdebatan dua kelompok pendukung dan penentang teori evolusi yang dicetuskan Charles Darwin. On The Origin of Species yang terbit tujuh bulan sebelumnya pada 24 November 1859, memperkenalkan teori bahwa setiap makhluk hidup berevolusi dari generasi ke generasi melalui proses seleksi alam.
Komunitas ilmiah Inggris pada abad ke-19 begitu terafiliasi dengan Gereja Inggris, dengan ilmu pengetahuan menjadi bagian dari teologi alam. Gagasan bahwa manusia memiliki leluhur yang sama dengan makhluk hidup lain merupakan gagasan yang tidak dapat diterima karena manusia dianggap istimewa dan tidak punya hubungan dengan hewan lain.
Peristiwa 30 Juni 1860 tersebut sebenarnya merupakan pertemuan tahunan British Association for the Advancement of Science. Pertemuan itu diawali dengan sesi kuliah John William Draper, ilmuwan dari New York, yang menyampaikan makalah “On the Intellectual Development of Europe, considered with reference to the views of Mr. Darwin and other, that the progression of organisms is determined by law.”
Draper memulai sesinya dengan bertanya, “Apakah kita kebetulan kumpulan atom?” Kuliah Draper yang panjang dan membosankan itu kemudian memanas di sesi tanya-jawab ketika Wilberforce berdiri dan meyakinkan hadirin dengan menyatakan bahwa gagasan evolusi adalah hal yang tidak masuk akal. Baginya, burung dara dari dulu dan nanti akan tetap burung dara. Lalu ia menengok pada si “bulldog Darwin”—julukan Thomas Huxley—yang baru-baru saja menulis ulasan di Times memuji buku Darwin. Dan keluarlah pertanyaan dari Wilberforce yang terkenal itu.
Huxley tidak langsung berdiri. Wajahnya pias tetapi bisa menguasai diri. Ia menunggu hadirin yang riuh memberinya kesempatan menjawab—diperkirakan antara 400-700 hadir dalam debat tersebut. Isabella Sidgwick di Macmillan’s Magazine, Oktober 1898, mencatat jawaban Huxley dan suasana ketika perdebatan itu terjadi.
“Dia tidak malu mengakui monyet sebagai leluhurnya. Tetapi dia lebih malu jika dihubungkan dengan seorang manusia yang menggunakan kelebihannya untuk menutup-nutupi kebenaran. Semua yang hadir tahu siapa yang dimaksud Hexley dan akibatnya luar biasa. Seorang perempuan pingsan mendengar jawaban Huxley dan harus digotong keluar. Aku sendiri sampai melompat dari kursi…” (J. R. Lucas. “Wilberforce and Huxley: a Legendary Encounter”, The Historical Journal, 22, 1979, hlm. 314).
Perdebatan itu baru 20 tahun kemudian mendapat perhatian di kalangan ilmuwan. Antara 1880-1890an, Francis Darwin dan Leonard Huxley—anak-anak Charles Darwin dan Thomas Huxley—merekonstruksi peristiwa tersebut dalam Life and Letters. Majalah Athenaeum meringkas perdebatan tersebut pada 14 Juli 1890 dan menyimpulkan argumen Wilderforce:
“Garis antara manusia dengan hewan yang lebih rendah sangat jelas: tidak ada kecenderungan di sisi hewan rendah untuk menjadi makhluk hidup cerdas yang memiliki kesadaran, yakni manusia; ataupun manusia menghasilkan dan kehilangan karakteristik kecerdasannya. Semua eksperimen gagal menunjukkan kecenderungan seekor hewan untuk mengambil bentuk hewan lainnya.” (Lynn A. Phelps & Edwin Cohen. “The Wilberforce-Huxley debate”, Western Speech, 37:1, 1973, hlm. 59-60).
Ringkasan di Athenaeum rupanya penuh sensor, terutama di bagian silang pendapat antara Wilberforce dan Huxley. Kendati tetap merupakan dokumentasi yang paling panjang dan dikenal, bagian-bagian yang menyinggung keberatan agama terhadap evolusi manusia dihapus. Majalah berita mingguan lokal, The Oxford Chronicle, menyajikan liputan yang lebih lengkap, tetapi tidak mendapat perhatian dari para sejarawan.
Nanna Kaalund dalam “Oxford serialized: revisiting the Huxley–Wilberforce debate through the periodical press” (2014) bahkan mencatat bahwa liputan debat Huxley-Wilberforce yang muncul di koran-koran, berbeda dengan risalah rapat yang dikeluarkan British Association. (Richard England, “Censoring Huxley And Wilberforce: A New Source For The Meeting That The Athenaeum ‘Wisely Softened Down’”. Notes and Records, Royal Society Publishing, 2017, hlm. 1-2).
Sensor di masa Victorian adalah hal yang jamak terjadi. Tetapi debat akbar tersebut sebenarnya bukan hanya perselisihan antara gagasan Darwin dengan agama. Debat itu lebih merupakan pertentangan antara pendukung Darwin—didominasi ilmuwan generasi muda—dengan ilmuwan tua yang lebih konservatif.
Pada akhir 1860, Darwin—yang tidak bisa hadir dalam debat karena sakit—menulis surat kepada Huxley, “Saya bisa melihat cukup jelas, jika kelak gagasan saya bisa diterima, maka yang bisa menerimanya adalah para pemuda yang berkembang dan menggantikan para pekerja tua.” (J. Vernon Jensen, “Return to the Wilberforce-Huxley Debate”, The British Journal for the History of Science, Vol. 21, No. 2, Juni 1988, hlm. 174).
Mengutip sejarawan Oxford, Diane Puskiss, peristiwa itu merupakan “debat pertama dalam sejarah yang menuntut agama Kristen untuk bersiap-siap melawan ilmu pengetahuan di forum terbuka.” Pada 2010, Universitas Oxford membangun sebuah tugu peringatan di halaman lokasi debat. Tujuannya untuk mengenang keberanian kedua belah pihak dan sebagai penanda salah satu peristiwa besar dalam sejarah sains.
Editor: Irfan Teguh