tirto.id - Wacana menduetkan kembali Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai capres dan cawapres di Pilpres 2019 menuai pro dan kontra. Perdebatan muncul karena Jusuf Kalla (JK) sebagai wakil, sudah dua kali menjabat pada periode 2004-2009 dan 2014-2019.
Pria kelahiran 15 Mei 1942 ini sempat maju kembali sebagai capres pada Pilpres 2009 tapi gagal. JK akhirnya terpilih kembali sebagai wapres untuk periode 2014-2019 mendampingi Joko Widodo (Jokowi).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi maksimal dua periode. Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen, secara tegas mengaturnya.
“Jadi walau tak berturut-turut, selama dia sudah dua kali [jadi presiden/wapres] maka tak boleh lagi mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil. Eksplisit disebutkan pembatasannya,” kata Feri kepada Tirto, Senin (26/2/2018).
Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Sebelum diubah, Pasal tersebut berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Imbas penafsiran ulang terhadap pasal 7 UUD 1945 maka dampak negatif bisa muncul. Pasal ini bisa jadi pembenaran bahwa presiden atau wapres "dapat dipilih kembali" terutama mereka yang sudah pernah menjabat, tapi masa jabatannya tak berturut-turut seperti pada kasus JK sebagai wapres.
Menurut Feri, pasal tersebut dirancang untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden agar tak terus-terusan berkuasa. “Jelas aturannya apabila sudah dua kali menjabat, berturut-turut maupun tidak, ya tak boleh lagi [ikut pemilu]” kata dosen hukum tata negara ini.
Batasan Pada UU Pemilu
Larangan ikut pemilu bagi presiden/wapres yang sudah menjabat dua periode juga terdapat dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu. Beleid itu mengatur capres dan cawapres harus "belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama."
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai Pasal 169 huruf n UU Pemilu dan penjelasannya harus dibaca dulu sebelum ada wacana permintaan fatwa ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keinginan PDIP menduetkan kembali Jokowi-JK di Pilpres 2019.
“Jadi tidak bisa lagi [JK menjadi cawapres]. Pemerintah baca saja penjelasan pasalnya,” ujar Bivitri kepada Tirto.
Pernyataan Bivitri itu sebagai respons atas keinginan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang akan meminta fatwa MK terkait wacana JK maju kembali sebagai cawapres. Mentan Sekjen PDIP ini berdalih, aturan soal apakah JK boleh dicalonkan kembali sebagai wakil presiden di Pilpres 2019 masih menjadi debat kusir.
"Saya kira tidak ada masalah, karena ini abu-abu ya menurut saya, apakah pengertian dua kali masa jabatan itu berturut-turut atau bisa ada tenggat waktunya. Saya kira ini perlu duduk bersama, ini multitafsir, kan Pak JK ada tenggang waktunya," jelas Tjahjo.
Pendapat Bivitri seirama dengan anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017 Sigit Pamungkas. Menurut Sigit, KPU punya wewenang mencoret nama JK sebagai cawapres bila politikus Partai Golkar itu mencalonkan sebagai kandidat pada Pemilu 2019.
“Tidak perlu meminta tafsir ke MK atau menunggu KPU membuat regulasi. UU sudah menjelaskannya sendiri bahwa itu tidak bisa,” kata Sigit.
Berbeda dengan Feri Amsari dan Bivitri, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara, Margarito Kamis menganggap, JK masih bisa ikut pemilu 2019. Menurutnya, keabsahan JK menjadi peserta Pemilu karena dia belum pernah menjadi wapres dua kali secara berturut-turut.
“JK masih mungkin... Karena norma itu menunjuk pada masa jabatan secara berturut-turut. Pak JK kan tidak berturut-turut menjadi wapres,” kata Margarito kepada Tirto.
Pria yang pernah menjabat Staf Khusus Kementerian Sekretaris Negara pada 2006-2007 itu menjelaskan, masa jeda JK sebagai wapres memutus makna Pasal 7 UUD 1945. Margarito yakin, beleid itu lahir dalam konteks membatasi kekuasaan yang terjadi berturut-turut.
“Karena merujuk peristiwa Pak Soeharto yang berkali-kali menjadi presiden. Silakan cek perdebatan di BP (Badan Pekerja) MPR saat itu,” kata Margarito.
Margarito menyarankan agar pemerintah atau masyarakat meminta pandangan MK. Menurut dia, perbaikan aturan soal pencalonan capres/cawapres di UU Pemilu hanya bisa dilakukan dengan meminta fatwa ke MK.
Respons JK Soal Peluangnya Menjadi Cawapres
JK angkat suara dan berterima kasih kepada orang atau kelompok yang menginginkan dirinya kembali menjadi wakil presiden. Namun, JK menjawabnya dengan diplomatis bahwa konstitusi menjadi rujukan.
“Saya tentu tidak bisa memberikan komentar, saya berterima kasih atas usulan itu tapi akhirnya kembali kepada konstitusi,” kata JK usai memberikan pengarahan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional Institut Lembang 9 di Jakarta, Senin (26/2/2018).
Menurut pria asal Sulawsi Selatan ini, larangan presiden dan wakil presiden menjabat lebih dari dua periode muncul karena tidak mengulang Soeharto yang berkuasa puluhan tahun.
“Waktu Orde Baru pada saat itu, Pak Harto tanpa batas. Kita menghargai itu, menghargai konstitusi itu, walaupun memang ada debatnya ada argumentasi-argumentasi lain,” kata JK.
JK juga sempat bercanda soal dirinya sebagai satu-satunya orang di Indonesia yang paling banyak mengikuti ajang Pilpres. JK memang sudah tiga kali mengikuti ajang Pilpres, satu kali sebagai capres dan dua kali sebagai wapres. “Dua kali menang dan satu kali kalah,” kata JK.
Kemendagri Cari Celah
Tjahjo Kumolo berencana meminta fatwa MK karena beleid soal batasan periode jabatan wapres dinilainya multitafsir. Upaya dari Tjahjo ini bisa dimaknai sebagai upaya pemerintah meminta penegasan soal ketentuan tata negara, atau juga sebagai upaya mencari celah agar sosok seperti JK kembali melaju sebagai wapres.
"Saya, secara lisan, sudah diskusi dengan Ketua KPU (Arief Budiman) dan tim kami di Kemendagri sudah mencoba menelaah karena pengertian dua kali, dua periode, itu berturut-turut atau tidak. Kalau perlu, minta fatwa MK karena kan menyangkut tata negara," kata Mendagri ditemui di kantornya, Senin (26/2/2018) siang.
Tjahjo menjelaskan, bunyi Pasal 7 UUD 1945 multitafsir karena tidak menjelaskan apakah larangan dua kali menjabat berlaku secara berturut-turut atau tidak.
"Saya kira tidak ada masalah karena ini abu-abu ya menurut saya, apakah pengertian dua kali masa jabatan itu berturut-turut atau bisa ada tenggat waktunya. Saya kira ini perlu duduk bersama, ini multitafsir, kan Pak JK ada tenggang waktunya," jelas Tjahjo seperti dikutip Antara.
Keinginan Tjahjo minta fatwa MK mendapat dukungan Komisioner KPU RI, Ilham Saputra. Namun, Komisioner KPU lainnya, yakni Wahyu Setiawan berkata, ada larangan pejabat politik menduduki posisi dua kali dalam posisi yang sama.
“Jadi ukurannya bukan berturut-turut, tapi adalah menduduki jabatan yang sama dua kali,” kata Wahyu kepada wartawan.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz