tirto.id - Isu konflik agraria kembali mencuat setelah menjadi perdebatan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat debat capres jilid II, di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu malam, 17 Februari 2019. Jokowi sebagai calon petahana mengklaim selama pemerintahannya tak ada lagi konflik pembebasan lahan akibat proyek infrastruktur.
Pernyataan Jokowi ini keluar usai Prabowo menjawab pertanyaan moderator debat, Tommy Tjokro terkait langkah-langkah capres dalam mengatasi konflik lahan dan perampasan tanah yang sering hadir dalam pembangunan infrastruktur.
“Saya katakan infrastruktur harus untuk rakyat, karena itu dalam perencanaan sangat penting untuk mengikutsertakan masyarakat yang akan terkena dampak daripada pembangunan infrastruktur,” kata Prabowo.
Sontak, Jokowi menepis pernyataan Prabowo tersebut.
“Mungkin Pak Prabowo bisa lihat dalam 4 setengah tahun ini hampir tidak ada terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita, karena apa? Tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung,” kata Jokowi saat debat di segmen 2.
Namun, pembelaan Jokowi itu hanya klaim semata. Sebab, data yang dihimpun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berkata sebaliknya.
Data dari KPA misalnya, setidaknya ratusan konflik pembebasan lahan terjadi setiap tahunnya sejak Jokowi menjabat sebagai Presiden ke-7 RI. Pada 2014 terdapat 215 kasus, secara berturut-turut naik menjadi 450 kasus (2016), 659 kasus (2017), dan turun menjadi 410 kasus pada 2018.
“Itu ada di semua sektor: infrastruktur, perkebunan, pesisir kelautan, pertambangan, properti, dan pertanian. Dan infrastruktur itu kedua terbanyak setelah perkebunan. Klaim Pak Jokowi tak benar,” kata Benny Wijaya, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (18/2/2019).
Walhi juga memiliki data konflik pembebasan lahan yang jumlahnya mencapai ratusan.
Selama Jokowi menjabat, setidaknya terdapat sekitar 555 kasus pembebasan lahan seluas 627.430 hektare yang berdampak bagi 106.803 KK. Dari 555 kasus tersebut menyangkut sektor perkebunan, kehutanan, bangunan, infrastruktur, imigrasi, dan lainnya.
“Dan ini sudah dilaporkan dan dibenarkan oleh Kantor Staf Kepresidenan (KSP). KSP ini hadir sejak zaman Pak Jokowi. Walau ada juga kasus dari zaman sebelum Pak Jokowi, tapi kasus paling banyak di era Pak Jokowi,” kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu A. Pradana, saat ditemui di kantornya, Senin siang.
Ragam Kasus Pembebasan Lahan
Salah satu kasus konflik lahan yang mencuat di era pemerintahan Jokowi adalah kasus pendirian bandara baru NYIA di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejak akhir 2017, permukiman dan lahan pendapatan warga yang terkena proyek bandara baru NYIA sudah dibongkar paksa oleh PT Angkasa Pura I.
Legitimasi yang dipakai Angkasa Pura I memakai alasan "kepentingan umum", sebagaimana alasan yang sama untuk banyak proyek infrastruktur di era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang lain.
Konflik ini bahkan memicu kericuhan berkali-kali. November 2017, misalnya, Angkasa Pura I beserta aparat memaksa warga untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Mereka mendobrak pintu rumah dengan tendangan, linggis, dan palu. Seketika, pintu dan jendela rumah hancur.
Pembangunan infrastruktur memang menjadi fokus pemerintahan Jokowi dalam empat tahun terakhir ini. Sayangnya, banyak proyek ini berujung konflik agraria.
Beberapa di antaranya adalah pembangunan jalan non-tol Kuala Namu, PLTA Waduk Cirata, Pembangkit Listrik Panas Bumi Daratei Mataloko, Perluasan Bandara Sultan Hasanuddin, Bandara Dominique Edward Osok, dan Bandara Kertajati.
Tak hanya perkara infrastruktur, konflik pembebasan lahan di wilayah pesisir kelautan juga demikian. Dalam kasus ini lahan kebanyakan dialihfungsikan menjadi tempat pariwisata.
Kasus yang paling mencuat adalah sengketa pembebasan lahan di Pulau Pari, Kepulauan Pari, dan kasus pembebasan lahan di Sumba Barat yang menyebabkan tewasnya salah satu penolak pembebasan lahan, Poro Duka.
Kedua kasus tersebut memiliki pola yang sama: berlokasi di pesisir laut, melibatkan aparat negara—Badan Pertanahan Nasional (BPN), polisi, militer--, dan akan digunakan untuk ranah pariwisata.
Jawaban Jokowi Perlu Dikritisi
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan segala klaim Jokowi mengenai konflik agraria dan reforma agraria perlu dikritisi.
"Pemerintahan Jokowi-JK masih terjadi konflik agraria, dan tentang ganti rugi atau ganti untung, suatu konsep yang sangat perlu dikritisi karena namanya memindahkan orang itu tidak bisa hanya disimplikasikan hanya dengan ganti rugi dan ganti untung. Ganti untung juga harus dicek apa benar terjadi untung,” kata Nur Hidayati saat ditemui di kantornya.
Nur Hidayati menambahkan “proyek-proyek infrastruktur mana yang memberikan ganti untung? Itu di mana? Perlu kita cek dan sama-sama tanyakan.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz