tirto.id - "Ingin makan apa?" tanya suami.
"Terserah," kata saya.
Sore itu perut begah. Padahal sebenarnya perut kosong karena saya tak makan siang. Sore ini hawanya dingin. Kalau perut tak diisi, orkestra keroncong pasti akan berbunyi. Meski saya menjawab terserah, otak ini sebenarnya membayangkan semangkuk cap cai kuah yang disajikan hangat.
Perut rasanya penuh, tapi sebenarnya kosong karena siangnya saya skip makan. Sementara sore itu hawanya dingin, jadi pasti nanti malam perut keroncongan kalau tidak diisi. Mulut menjawab ‘terserah’, tapi otak membayangkan semangkuk cap cai kuah yang hangat.
Ini hampir selalu terjadi. Setiap kali saya merasa bingung ingin makan apa, saya selalu berakhir dengan seporsi masakan Cina. Mulai dari yang sederhana seperti bakmi, bakso, atau nasi goreng, hingga yang sedikit lebih rumit, seperti aneka sapo yang hangat dan segala tumisan lezatnya.
Bagi saya, rasa dari masakan Cina ini mudah sekali diterima lidah. Di keluarga saya, masakan Cina tak lagi dilihat sebagai liyan karena seringnya kami makan di keseharian. Terutama jenis masakan Cina yang sudah lama berada di Indonesia, seperti yang sudah disebutkan tadi.
Seperti yang sudah tercatat dalam sejarah perkulineran, budaya kuliner Cina sudah berkembang selama berabad-abad. Kekayaannya kulinernya diakui oleh seluruh dunia, dan diterima sebagai makanan yang “sulit ditolak”.
Menurut Endymion Wilkinson, seorang sinolog dari Inggris, kekayaan kuliner Cina dipengaruhi dan ditandai oleh empat hal, yaitu:
1. Luasnya daerah kekuasaan dinasti Han yang meliputi daerah-daerah dengan iklim yang berbeda, yang menyediakan aneka bahan dan teknik masak yang beragam sehingga menghasilkan kreasi kuliner yang tak terhitung.
2. perkembangan ilmu pengobatan yang melihat makanan sebagai dasar dari kesehatan.
3. Permintaan beragam dari para elite sehingga terus menantang kreasi-kreasi dari para tukang masak, terutama dikaitkan dengan kesehatan tadi.
4. Banyaknya pengaruh dari luar yang sempat masuk ke Cina dan dijadikan bagian dari perkembangan kuliner Cina.
Diaspora rakyat Cina membawa budaya kuliner ini ke segala penjuru dunia. Di komunitas-komunitas inilah kuliner Cina dipertahankan dan diperkenalkan kepada masyarakat luar. Kebutuhan untuk bersosialisasi, menyelenggarakan ritual keagamaan, atau bahkan sekadar rasa rindu menjadikan makanan Cina ini terus dikreasi ulang oleh komunitasnya.
Meski begitu, tak semua masakan Cina dapat dikreasi ulang persis seperti aslinya. Perbedaan geografis menyebabkan adanya perbedaan bahan pangan yang tersedia antara dua wilayah, yaitu daerah asal dan daerah rantau. Untuk itu, masyarakatnya pun mencoba kreatif dan mencari bahan terdekat yang dapat saling menggantikan. Pada akhirnya, budaya kuliner Cina diterima dan diadaptasi oleh masyarakat sekitarnya menjadi sesuatu yang sedikit berbeda, tapi memiliki akar yang kuat.
Ini yang membuat lahirnya hidangan peranakan.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Bangsa Cina diperkirakan masuk ke Nusantara sejak sebelum abad ke-3. Bersama mereka, masuk pula berbagai bahan makanan dan teknik masak yang kerap mereka gunakan. Karena posisi jauh di rantau, biasanya makanan yang dikreasi ulang adalah makanan yang sederhana pengolahannya, baik dari teknik maupun bahan yang dibutuhkan.
Singkat cerita, kedatangan bangsa Cina hingga peleburan budaya yang terjadi di Nusantara menempatkan kuliner Cina menjadi salah satu dari keberagaman kuliner Indonesia.
Saya sendiri merasa bahwa makanan Cina ini merupakan bagian dari identitas saya, meskipun saya orang Jawa. Saya tumbuh besar bersama bakso, bakwan, lumpia, bakmi, soto, teh dan berbagai makanan asal Cina lainnya. Berbagai lauk pauk yang diadaptasi dari masakan Cina, muncul bergantian di meja makan, siap menemani nasi hangat kemepul saya.
Masakan Cina ini berkelindan dengan budaya Jawa. Bahkan, banyak masakan yang diserap dan kemudian dianggap menjadi makanan "tradisional" masyarakat setempat.
Cap cai tadi merupakan salah satu contoh yang kuat. Hubungan saya dengan cap cai terhitung dekat karena cap cai sering dihidangkan di rumah. Cap cai juga kerap muncul dalam acara-acara spesial. Bagi saya, cap cai adalah salah satu sumber lauk sayuran yang paling praktis. Sayurannya bisa apa saja. Seporsi cap cai pun tetap bisa memuaskan dan mengenyangkan meski dimakan tanpa menggunakan nasi.
Berdasarkan berbagai sumber, disebutkan bahwa cap cai berasal dari hidangan khas Fujian, dengan berbagai versi pengucapan. Dalam bahasa Kanton, sering disebut sebagai chau tsap sui, sementara bahasa Mandarin disebut chao za sui. Nama tersebut memiliki arti “potongan-potongan yang ditumis”. Sementara dari dialek Hokkian, diartikan sebagai "aneka ragam sayur".
Cap cai tak hanya hadir di nusantara. Di Amerika Serikat, ia dikenal sebagai chop suey yang kerap diklaim sebagai ciptaan dari perantau di negara tersebut. Penampilan yang mirip, meski isiannya berbeda. Hadirnya cap cai sendiri di meja-meja masyarakat Indonesia tentunya sudah melalui perjalanan panjang. Sayuran yang digunakan bisa jadi berbeda dengan yang digunakan di negara asalnya. Selain itu, sajian cap cai tak hanya berisi sayuran, tapi juga potongan daging, yang juga memiliki banyak ragam.
Di Indonesia pun, hidangan cap cai yang tersaji beragam dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu meja makan ke meja makan lain. Di restoran Cina yang orisinil, bisa jadi muncul cap cai dengan sayuran seperti sawi putih, jamur, atau bok choy. Kekian atau kee kian (olahan cincangan daging) juga ditumis bersama aneka sayuran dan daging tadi.
Di rumah-rumah atau warung makan Chinese food yang sederhana, cap cai menyesuaikan ketersediaan bahan. Wortel, brokoli, kembang kol kerap menjadi sayuran isian cap cai. Tambahan dagingnya berupa bakso maupun potongan ayam, sementara kekian kadang ada, kadang tidak. Semakin murah harganya, semakin kecil kemungkinan kekian ini muncul.
Yang unik, cap cai sudah menyentuh hingga masyarakat Jawa di pedesaan sekitaran Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di sini, namanya berganti dan dikenal sebagai cap jaek. Isinya jauh lebih sederhana dari yang tersaji di rumah atau warung tadi. Cap jaek ini dijual di warung ramesan maupun pasar. Di warung ramesan, dia disajikan dalam baskom-baskom besar sebagai lauk, sementara di pasar kerap kali cap jaek dijual dalam porsi kecil dibungkus dengan kertas coklat.
Isi cap jaek ini juga berbeda. Merespons kondisi sekitarnya, cap jaek biasanya terhidang dengan sangat sederhana. Ia hadir tidak semata-mata sebagai lauk, namun lebih pada "pengisi perut". Posisinya mirip dengan mie goreng pada sajian hajatan di kebanyakan acara masyarakat Jawa: pembuat kenyang. Karena itu, rasa tidaklah terlalu penting.
Kekian yang penuh protein hewani, diganti begitu saja dengan potongan adonan tepung. Sayur menjadi penghias, bukan lagi bahan utama – kalah oleh banyaknya tepung tadi. Sayur yang digunakan pun sebatas kubis dan wortel, dengan taburan seledri. Kadang kalau beruntung, terdapat pula sawi hijau.
Meski begitu, suami saya suka sekali cap jaek karena rasanya yang gurih. Ini mengingatkan pada jajanan masa kecilnya. Cap jaek tak lagi disajikan segar seperti cap cai pada umumnya, yang mengutamakan bahan sayuran segar. Namun tampaknya justru rasanya yang mirip bakmi goreng itu yang membuat suami saya suka. Ia menyebutnya cap cai ndeso, karena memang versi seperti ini hanya bisa ia temui di pedesaan. Cap cai ndeso selalu digoreng, tak pernah berkuah.
Saya sendiri suka sekali cap cai yang biasanya dijual di warung bakmi Jawa. Cap cai kuah di warung bakmi biasanya memiliki kuah yang gurih, segurih mie rebusnya, tapi tak ada karbo di isiannya. Sajian ini cocok sekali untuk hari-hari ketika perut rasanya penuh tapi ingin makanan yang ringan dan hangat, seperti sore hari itu.
Wuenak!
Editor: Nuran Wibisono