tirto.id - Sudah 10 tahun kota Managua tak dipimpin oleh seorang walikota. Persisnya, tanpa kepala daerah de facto, karena siapapun yang menjabat walikota, demikian lapor koran Nikaragua La Prensa pada 26 November 2017, otomatis menjadi "walikota di atas kertas" belaka. Sejak Daniel Ortega kembali mengambil alih kursi presiden Nikaragua pada 2006, jabatan "walikota Managua" memang hanya jadi simbol.
Presiden Daniel Ortega dikabarkan mengontrol ibukota Nikaragua tersebut dengan ketat. Karier politik kepala daerah yang berseberangan dengan pemerintahannya niscaya mandeg. Tak terkecuali mantan Walikota Dionisio Marenco yang mengkritik penggunaan gedung sekretariat FSLN (Front Pembebasan Nasional/Sandinista) sebagai rumah Ortega dan Gedung Pemerintahan. Dalam kabinet pertama Ortega pada 1980an, Marenco mengisi jabatan Menteri Transportasi dan Pekerjaan Umum, Menteri Perdagangan Dalam Negeri, dan Menteri Perencanaan dan Keuangan secara berturut-turut.
Fokus Ortega ke daerah-daerah kotamadya bukannya tanpa alasan. Dukungan dari kotamadya menjadi salah satu kunci kembalinya Ortega ke kursi presiden pada 2006. Pada 1990an hanya 50 kotamadya yang mendukung Sandinista. Pada 2012, dukungan itu meningkat menjadi 134 kota.
Pemilu lokal yang baru digelar pada November tahun ini merupakan pemilu rutin di mana dari tahun ke tahun FSLN meraup dukungan dari basis tradisionalnya. Tak terkecuali pilkada tahun ini: FSLN menang lagi. Menurut laporan Havana Times, FSLN menang di 135 dari 153 kota, termasuk kota-kota yang anti-Ortega dan Sandinista.
Pada 2016 lalu, Nikaragua punya presiden dan wakil presiden suami-istri. Kandidat FSLN Daniel Ortega dan istrinya, Rosario Murillo berhasil memperoleh 72,5 persen suara dalam pemilu 2016. Sedangkan saingannya dari sayap kanan tengah Maximino Rodriguez dari Liberal Constitutionalist Party (PLC) hanya memperoleh 14,2 persen suara.
Singkatnya, pemilu ini kembali dimenangkan Daniel Ortega, sebagaimana pemilu 2006 dan 2011.
Baca juga:Venezuela Krisis, Oposisi Makin Agresif terhadap Maduro
Sang istri Murillo bukan anak bawang baru dalam politik Nikaragua. Dia sudah ikut Sandinista bergerilya sejak 1969. Selain menjabat menteri dan juru bicara pemerintah, ia juga disebut-sebut sebagai faktor penting di balik kemenangan berturut-turut Ortega.
Dalam kapasitasnya sebagai ibu negara dan menteri, Murillo kerap memimpin rapat penting kabinet, mengorganisir kampanye kesehatan dan mengatur secara rinci semua kegiatan kabinet. Murillo juga mewakili Ortega dalam berbagai kunjungan diplomatik ke berbagai negara.
Surutnya Pink Tide di Amerika Latin
Menggandeng istri sebagai wakil presiden adalah hal langka, jika bukan tak patut, dalam pemerintahan demokratis. Langkah ini dinilai pihak oposisi dan para pengamat sebagai cara Ortega untuk membangun dinasti politik.
"Dinasti Ortega tampaknya berniat memperbesar kontrol keluarganya terhadap kehidupan politik, sosial dan ekonomi Nikaragua," kata Michael Allison dari Universitas Scranton.
Tak sebatas soal kekuasaan di tangan keluarga, kebijakan Ortega pada dasarnya untuk mengokohkan pengaruh sayap kiri yang kini mulai tergerus di Amerika Latin.
Seiring kemenangan Hugo Chavez pada akhir 1990an, sosialisme disebut-sebut kembali bangkit di kawasan Amerika. Jika pada awal dekade 1990an, 64 persen presiden di Amerika Latin berasal dari partai sayap kanan maka maka di akhir dekade 15 dari 21 negara di Amerika Latin dipimpin oleh presiden dari partai berspektrum luas kiri. Para ilmuwan menamai fenomena kebangkitan sosialisme ini "pink tide".
Para pemimpin kiri ini memprioritaskan program-program jaminan kesejahteraan sosial, nasionalisasi perusahaan migas, reformasi agraria, serta menggelorakan retorika anti-imperialisme Amerika Serikat. Dukungan untuk partai-partai kiri kian kuat ketika 60 juta orang di Amerika Latin dan Karibia keluar dari jerat kemiskinan sepanjang 2002 hingga 2013, menurut laporan PBB.
Namun, popularitas partai-partai kiri di sejumlah negara semakin anjlok beberapa tahun terakhir lantaran gagal mengatasi masalah ekonomi, skandal korupsi, hingga upaya-upaya destabilisasi pemerintahan oleh oposisi—yang tak jarang terkoneksi ke Washington.
Sejak 2016, pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro digoyang oposisi di tengah menguatnya krisis ekonomi di negeri tersebut akibat penurunan harga minyak secara global. Di Brazil, Dilma Rousseff tersandung kasus korupsi. Di Argentina, Cristina Fernandez de Kichner yang menggantikan suaminya, Nestor Kirchner, kalah dalam pemilu dan harus rela menyerahkan kursi kepresidenan kepada politisi sayap kanan Mauricio Macri.
Baca juga: Venezuela Terancam Krisis Kemanusiaan
Evo Morales, presiden Bolivia pertama yang berasal dari kalangan masyarakat adat, kalah dalam referendum Februari 2016 sehingga ia tak bisa mencalonkan diri lagi dalam pemilu berikutnya. Sedangkan popularitas presiden Chili, Michelle Bachelet kian tergerus lantaran skandal korupsi yang melibatkan menantunya.
Sebaliknya kandidat sayap kanan Mauricio Macri berhasil merebut kekuasaan di Argentina dipenghujung tahun 2015. Tak lama berselang, haluan kanan tengah yang dikenal dengan koalisi Democratic Unity Roundtable (MUD) menang dalam pemilihan parlemen di Venezuela. Kemenangan sayap kanan kanan diperkirakan akan menghapus program-program kesejahteraan sosial yang selama bertahun-tahun diterapkan pemerintah sayap kiri.
Dendam Lama Amerika?
Meski menang dan berhasil mempertahankan pengaruh kiri di Nikaragua dengan berhasil menguasai AS menjadi salah satu negara yang terus mengikuti perkembangan Nikaragua. Kemenangan AS pada pemilu 2016 membuat AS geram, sebab sebelumnya Ortega sudah tak diizinkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden sampai pengadilan Nikaragua membatalkan peraturan tersebut.
BBC melaporkan bahwa pemilu yang memenangkan Ortega dan Murillo tidak transparan. Sejumlah pengamat menganggap pemilu tersebut sekadar meletakkan Ortega di posisi setara diktator Somoza yang pernah ia tumbangkan.
Kendati Sandinista berjaya di pemilu lokal November ini, sulit memastikan wajah Nikaragua untuk tahun-tahun mendatang. Pertama, Venezuela yang kerap menyediakan bantuan bagi Nikaragua kini sedang diterpa krisis. Bantuan dari negara Nicolas Maduro turun sebesar 10,9 persen selama paruh pertama tahun 2016 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2015, menurut melaporkan Bank Sentral Nikaragua (BCN).
Padahal, bantuan Venezuela sangat penting bagi Nikaragua. Tahun lalu misalnya, dana bantuan Venezuela dialokasikan untuk mendanai subsidi energi ($25,7 juta), industri ($5,2 juta), pengembangan sektor perdagangan ($4,7 juta), pengembangan usaha ($3,7 juta) dan lain-lainnya.
Penurunan bantuan itu terus terjadi salah satunya disebabkan oleh krisis yang menerpa Venezuela hingga inflasi mencapai 4.000 persen. Selain itu mata uang bolivar juga dilaporkan mengalami penurunan nilai secara drastis. Kini untuk membeli $1 dibutuhkan 84.000 bolivar.
Baca juga:Menengok Islam di Guyana, Negara Kecil di Amerika Latin
Kedua, AS mengeluarkan kebijakan yang akan menyulitkan Nikaragua untuk mendapat pinjaman internasional. Alasan AS: pemerintahan Ortega minim transparansi.
Bukan kali ini saja AS mencoba mempersulit Ortega. Sejak menggulingkan diktator Anastasio Somoza yang didukung AS pada 1979, Ortega menjadi pahlawan baru Dunia Ketiga. Ronald Reagan yang saat itu menjadi presiden AS, menuduh FSLN mendukung gerakan revolusioner Marxis di negara-negara Amerika Latin lainnya.
CIA pun turun tangan dengan mulai membiayai, mempersenjatai dan melatih pemberontak anti-Sandinista yang dikenal sebagai Contra. Namun, hal itu tak menghentikan langkah pria kelahiran La Libertad itu mempertahankan revolusi Nikaragua dan akhirnya menjabat presiden pada 1984.
Berbagai cara terus ditempuh Ortega untuk mempertahankan kekuasaannya dan pengaruh Sandinista. Hari ini dia memang bukan Somoza, nama sebuah klan yang berkuasa dengan brutal hingga puluhan tahun dan memiskinkan Nikaragua. Tapi empat tahun ke depan, siapa yang tahu?
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf