Menuju konten utama

Dana Transfer Umum ke Daerah Tak Efektif, Pembangunan Mandek?

Dana Alokasi Umum yang harusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja rutin.

Dana Transfer Umum ke Daerah Tak Efektif, Pembangunan Mandek?
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pengarahan dalam Sosialisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2019 di Kemenkeu, Jakarta, Senin (10/12/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dana transfer daerah yang selama ini dialokasikan melalui APBN tak banyak membantu dalam percepatan pembangunan. Sebab, sebagian besar dana itu habis untuk belanja pegawai ketimbang belanja modal.

Sri Mulyani mencontohkan belanja pegawai yang menghabiskan 36 persen dari dana transfer umum. Angka ini masih lebih kecil dibandingkan yang pernah terungkap di rapat kabinet dengan persentase mencapai 60 persen.

Sementara untuk pembangunan infrastruktur, kata Sri Mulyani, rata-rata hanya mencapai porsi 19 persen. “Sudah pasti belanja infrastruktur yang harusnya 25 persen tidak tercapai,” kata dia dalam sosialisasi transfer daerah dan dana desa 2019, di Jakarta, Senin kemarin.

Dana transfer daerah sendiri terklasifikasi menjadi 6, yakni: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik), Dana Alokasi Khusus Nonfisik, Dana Otsus, serta Dana Insentif Daerah (DID). Sementara yang dimaksud dengan dana transfer umum, mencakup DBH dan DAU.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 112/PMK.07/2017 [PDF], pemerintah pusat mewajibkan pemda untuk mengalokasikan minimal 25 persen Dana Transfer Umum untuk pembangunan infrastruktur.

Belanja infrastruktur yang dimaksud harus terkait dengan pengurangan kesenjangan layanan publik, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pengurangan pengangguran.

Masalahnya, selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Kajian Institute for Development of Economies and Finance (Indef) menunjukkan adanya korelasi positif antara dana transfer dengan indeks gini. Artinya dana transfer daerah justru mendorong ketimpangan pengeluaran.

Secara statistik, misalnya, dana transfer umum memiliki korelasi positif dengan indeks gini pada tingkat signifikansi p-value 0,02 dan koefisiensi korelasi sebesar 0,0126. Artinya setiap 1 persen kenaikan DAU, ketimpangan justru akan melebar sebesar 0,01.

Ekonom dan peneliti dari Indef, Enny Sri Hartati menyampaikan penyebab utama permasalahan tersebut adalah penggunaan dana yang tidak sesuai. Karena itu, menurut Enny, selama ini dana transfer umum memang tidak efektif untuk menggenjot pembangunan di daerah.

DAU yang harusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja rutin.

“Ya gimana? Sekarang memang, kan, hampir 75 persen lebih itu dana transfer umum untuk pembiayaan birokrasi,” kata Enny kepada reporter Tirto, Selasa (11/12/2018).

Enny justru mempertanyakan mengapa hal ini terus berulang kali terjadi, padahal pemerintah sudah mewajibkan batas minimal alokasi untuk belanja modal atau infrastruktur.

“Kondisinya itu bermasalah, tetapi kalau kondisi itu dianggap normal berarti, kan, enggak ada perubahan. Kalau untuk infrastruktur, kan, harusnya semakin banyak semakin bagus,” kata dia.

Dana Desa Dinilai Efektif

Meski dana transfer umum tak memberikan dampak positif pada penurunan indeks gini, tapi pembangunan di daerah bisa tertolong oleh masifnya pembangunan yang dibiayai dari program dana desa.

Berdasarkan data Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada Senin (10/12/2018), jumlah desa tertinggal di tahun ini berkurang menjadi 13.232 desa dibandingkan 2014 yang mencapai 19.750 desa.

Artinya, ada 6.518 desa yang benar-benar memanfaatkan transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah.

Kepala BPS Suhariyanto menyebut penurunan ini melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2015-2019 [PDF] yang mematok jumlah desa tertinggal menjadi desa berkembang sebanyak 5.000 desa.

“Artinya berbagai upaya, seperti dana desa dan upaya lainnya, mampu mengurangi jumlah desa tertinggal,” kata Suhariyanto, di kantornya, Senin (10/12/2018).

Di samping itu, jumlah desa mandiri juga bertambah menjadi 5.559 desa pada 2018 dibandingkan tahun 2014 dengan 2.894 desa. Peningkatan sebanyak 2.665 desa ini juga melampaui target yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 sebanyak 2.000 desa.

IPD adalah indeks komposit yang menggambarkan tingkat kemajuan atau perkembangan desa dengan skala 0-100. Desa tertinggal memiliki skala kurang dari 50, sementara skala untuk 50-75 menggambarkan desa berkembang, dan skala lebih dari 75 masuk ke dalam kategori desa mandiri.

IPD disusun dari lima dimensi, yang terdiri dari 12 variabel, dan 42 indikator. Dari data pokok desa 2018, kata Suhariyanto, semua dimensi penyusun IPD mengalami kenaikan.

“Dimensi dengan kenaikan tertinggi adalah penyelenggaraan pemerintah desa, yaitu 9,81 poin menjadi 71,40 pada 2018 dari 61,59 pada 2014,” kata dia.

Peningkatan besar kedua, yaitu dimensi kondisi infrastruktur sebesar 5,42 poin menjadi 44,63 dari 39,21 pada 2014. Selanjutnya, pada dimensi kondisi infrastruktur, indikator yang mengalami kenaikan paling tinggi adalah bahan bakar untuk memasak, dengan bertambahnya desa yang ada pangkalan/agen/penjual LPG sebanyak 14% menjadi 54.839 desa.

Adapun dimensi dengan kenaikan terkecil adalah pelayanan dasar, yaitu sebesar 0,92 poin. Pelayanan dasar ini meliputi ketersediaan akses kesehatan dan pendidikan.

Baca juga artikel terkait PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz