tirto.id - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menilai peningkatan dana bantuan untuk partai politik (dana parpol) tidak serta merta memutus praktik korupsi di kalangan politikus. Sebab menurutnya hasrat korupsi bergantung pada diri pribadi.
“Kami sudah bahas dengan BPKP, BPK, KPK, kami undang ICW juga. Bantuan berapa ratus ribu, berapa juta pun tidak bisa jadi ukuran apakah ini akan menyetop adanya korupsi, tidak bisa,” kata Tjahjo kepada wartawan di Jakarta, Senin (28/8/2017).
Mantan sekretaris jenderal DPP PDI Perjuangan ini mengingatkan korupsi bukan hanya dilakukan oleh politikus, tetapi juga aparat penegak hukum. Hal ini dibuktikan dari sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. “Aparatur penegak hukum kena [OTT] juga. Itu kembali kepada diri kita,” ujar Tjahjo.
Saat ini Kemendagri sedang merevisi PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol. Tjahjo mengatakan jika kenaikan dana parpol dimasukkan dalam APBN 2018 maka acuan penghitungannya didasarkan pada perolehan suara parpol pada pemilu legislatif 2014. Namun jika dana parpol dimasukkan dalam APBN 2019 maka acuannya penghitungannya adalah perolehan suara parpol di pemilu serentak 2019.
Tjahjo mengatakan kenaikan dana parpol tidak hanya akan dirasakan oleh partai yang memperoleh kursi di DPR. Partai yang hanya memiliki kursi di DPRD I (provinsi) dan DPRD II (kabupaten/kota) juga akan merasakan manisnya bantuan dana negara. Adapun nilai nominal yang dijatah kepada setiap partai adalah Rp 1000 untuk satu suara sah di DPR, Rp 1.200 untuk satu suara sah di DPRD I, dan Rp 1.500 untuk satu suara sah di tingkat DPRD II.
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta kenaikan dana bantuan untuk partai politik diikuti peningkatan transparansi, akuntabilitas, serta demokrasi di internal partai. Paling tidak keuangan partai bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Sebab menurut ICW kenaikan tersebut berarti mengurangi beban anggaran operasional partai dalam proses pengambilan keputusan politik seperti penjaringan dan penetapan calon kepala daerah. “Kalau kita bicara pilkada kan kita bicara soal uang. Sumber pendanaannya juga partai sering nyari dana dari kandidat kan? Makanya muncul mahar politik," kata peneliti ICW Donal Fariz saat dihubungi Tirto.
Donal menilai perilaku koruptif yang dilakukan politikus tidak lepas dari kecil dana bantuan yang diterima partai selama ini. Menurutnya partai hanya mendapat 0,0006 persen bantuan dari total APBN. Padahal segala urusan hidup bernegara ditentukan oleh partai. “Ya gak salah juga partai korup. Perilaku korup salah ya. Cuma ya kondisi ini yang membebani mereka jadi berperilaku korupsi,” ujar Donal.
Idealnya, kata Donal, bantuan negara untuk setiap partai sebesar 30 persen dari total pengeluaran partai. Sisanya, partai bisa mencari anggaran dari sumbangan kader maupun badan usaha milik partai yang diatur dalam undang-undang.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang menilai perlunya sanksi bagi parpol yang kadernya terbukti masih melakukan korupsi di daerah atau di tingkat pusat. Dalam konteks ini, ada dua bentuk sanksi yang bisa diberikan kepada parpol. Pertama, pemberhentian pendanaan untuk partai yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Kedua, dilarang mengikuti pemilu di tingkat pusat maupun di daerah. “Karena selama ini kalau ada kader partai yang korupsi, kan yang dihukum dia saja, tapi partai selalu aman-aman saja,” ujarnya.
Baca artikel tentang kenaikan bantuan untuk partai politik:Dana untuk Partai Politik Akan Naik 8 Kali Lipat
Sebelumnya, Minggu (28/8) Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan meningkatkan dana bantuan sebesar delapan kali lipat untuk parpol dari Rp 108 persuara sah menjadi Rp 1000 per suara sah.
Sri Mulyani menilai bantuan Rp 108 untuk setiap satu suara sah parpol terlalu kecil. Dampaknya, partai politik yang seharusnya jadi jembatan untuk tujuan bernegara kerap tidak sesuai dengan fungsinya sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, maupun Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar