Menuju konten utama

Cukai Rokok Naik 23 Persen Tahun Depan, Petani Dapat Apa?

Tembakau petani terancam tak terserap di tengah musim panen, kenaikan cukai rokok dituding sebagai penyebab.

Cukai Rokok Naik 23 Persen Tahun Depan, Petani Dapat Apa?
Petani memetik tembakau di sentra tanaman tembakau Ngale, Pilangkenceng, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (22/8). ANTARA FOTO/Siswowidodo

tirto.id - Keputusan pemerintah untuk mengerek cukai rokok di tahun depan langsung memukul petani tembakau di sejumlah daerah. Harga jual tembakau di tingkat petani terancam jatuh karena gudang-gudang pembelian tembakau mulai mengurangi serapan.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Suseno menyebutkan ada dua gudang pembelian tembakau yang mulai tutup di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Padahal, sejak awal September hingga Oktober mendatang, petani tembakau akan berada dalam masa panen.

"Ini pedagang [pengepul] tadinya melakukan pembelian. Ada gudang besi tua [untuk tembakau]. Tahu-tahu berhenti membeli dari petani," jelasnya kepada Tirto, Selasa (17/9/2019).

Dalam mata rantai produksi tembakau, gudang-gudang tersebut sebenarnya berperan sebagai pengepul atau pedagang perantara yang mengambil untung dari selisih harga di tingkat petani dan industri.

Namun, gara-gara kenaikan cukai 23 persen, para pedagang perantara itu mulai mengurangi serapan tembakau karena takut penjualan ke industri rokok menurun di tahun depan.

"Dampaknya sudah terasa sejak seminggu lalu," terang Seno.

Tak hanya di Jember, rendahnya serapan juga menekan petani tembakau di Madura. Bahkan, kondisinya disebut lebih parah. Para petani tembakau mulai kebingungan ke mana akan menjual hasil panennya.

Para pengepul yang biasanya bisa menyerap 2 ton tembakau, kata Seno, kini hanya membatasi pembelian sampai 500 kilogram.

Kondisi ini tentu bikin geram para petani. Apalagi, menanam tembakau di Indonesia bukan lagi perkara mudah. Selain beban biaya penanaman yang tinggi, petani masih harus berspekulasi terhadap perubahan iklim dan anomali cuaca, hingga melawan risiko kesehatan dari dampak penanaman tembakau.

"Di Madura, sudah ada demo karena harganya rendah. Petani sih enggak tahu, ya, soal informasi cukai itu. Yang tahu itu, kan, para pedagang. Tapi, kok, begini," ucapnya.

Petani Terancam Rugi

Meski tarif cukai dan pembatasan rokok terus mengancam keberlangsungan industri tembakau dari tahun ke tahun, hampir sebagian besar petani di Jember menolak berpindah ke tanaman lain. Alasannya sederhana, tembakau masih jadi komoditas yang dinilai menguntungkan. Beberapa petani bahkan menyebutnya sebagai "emas hijau".

Ketika masa panen tiba, keuntungan petani bisa sampai 100 persen. Tahun 2018, misalnya, hasil panen tembakau dari tiap hektar lahan miliknya bisa mencapai Rp54 juta. Padahal, modal untuk pembibitan hanya sebesar Rp27juta/hektar.

Bahkan, Seno menyebut hasil panen tahun lalu merupakan yang terbaik selama beberapa tahun terakhir. Selain faktor cuaca, absennya kenaikan cukai tahunan jelang Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Presiden membuat hasil panen jadi lebih 'harum'.

"Enggak ada ada masalah terutama karena tahun kemarin, 2018 itu, bagus. Musimnya tepat, harganya bagus, petani tersenyum. Kan, kemarin benar-benar tak ada informasi cukai naik," tuturnya.

Kini, kondisi berbalik hampir 180 derajat. Produksi 800 kilogram tembakau kering yang bisa dihasilkan dalam seminggu tak semuanya bisa dijual ke para pengepul. Harga jatuh dan keuntungan yang didapat sulit untuk sebesar tahun lalu, bahkan terancam tidak balik modal alias rugi.

"Harga sekarang bagus Rp34.000/kilogram. Cuma belum tentu tembakau kita terserap semua kan. Kalau tidak laku tembakaunya, terpaksa kami jual Rp15.000-Rp10.000/kilogram ke pedagang lain, hitung-hitung jual murah," terang dia.

Jual murah jadi pilihan terakhir yang bisa diambil petani. Sebab jika tidak terserap, tembakau akan rusak dan tak jadi tak berharga. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki gudang yang memadai untuk menyimpan tembakau.

"Daun itu peka, sangat mudah terkena jamur, disimpan sedikit saja kalau tempatnya lembab, itu bisa berjamur, baunya apek, itu enggak laku ya. Nah, ditakutkan dengan adanya pembatasan pembelian tembakau ini, harga jual akan turun jadi Rp23.000, kan kacau," kata dia.

Ketua Media Center Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibosono menilai kenaikan cukai di tahun depan terlalu tinggi dan tak mempertimbangkan keberlangsungan industri rokok. Padahal, industri ini menyangkut hajat hidup lebih dari 6 juta orang.

Setiap tahun, pemerintah hanya menjadikan industri rokok sebagai 'sapi perah' untuk mengejar target penerimaan perpajakan. Cukai hasil tembakau sendiri berkontribusi 10 persen terhadap total penerimaan perpajakan. Sementara jika digabung dengan PPN Harga Tembakau (HT), kontribusinya terhadap penerimaan pajak rata-rata mencapai 13,1 persen dalam setahun.

"Kenaikan cukai hasil tembakau yang terlalu jauh dari angka inflasi dan asumsi pertumbuhan ekonomi akan berakibat pada industri hasil tembakau sebagai industri yang menyerap tenaga kerja," kata dia kepada reporter Tirto.

Rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata 23 persen juga bisa berakibat pada makin maraknya peredaran rokok ilegal di masyarakat. Sebab, jika kenaikan harga rokok tak diikuti dengan peningkatan daya beli, masyarakat akan beralih ke rokok ilegal yang harganya lebih murah karena tanpa cukai.

Jika sudah begini, kata dia, semua pihak akan dirugikan. Target penerimaan dari cukai yang dipatok sebesar Rp171,9 triliun tahun depan bisa tak tercapai. Pabrik rokok legal juga bakal kehilangan konsumen dan terpaksa merumahkan para pekerjanya.

"Kenaikan yang sangat drastis tersebut akan berdampak kepada berkurangnya lapangan pekerjaan, dan menurunnya produksi rokok serta penyerapan bahan baku," terang dia.

Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim keputusan menaikkan cukai rokok 23 persen di tahun depan dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Pemerintah, menurutnya telah mempertimbangkan berbagai aspek terutama menyangkut keberlangsungan industri, daya beli konsumen hingga nasib petani yang notabene unit terkecil dalam tata niaga tembakau.

Mantan direktur pelaksana bank dunia itu juga menyampaikan bahwa kebijakan cukai semata ditujukan untuk mengurangi dan mengontrol konsumsi. Meskipun, tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan cukai akan memengaruhi sektor produksi dari industri rokok sendiri.

“Tentu kita terus berhati-hati dalam melakukan berbagai macam keputusan. Semua keputusan yang kita lakukan memang memiliki dimensi yang kaya,” ucapnya kepada wartawan saat ditemui di Aula Dhanapala Kemenkeu, Jakarta.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN CUKAI ROKOK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana