Menuju konten utama

Contoh Karya Sastra Angkatan 1920-an Terbitan Balai Pustaka

Berikut sejarah singkat Balai Pustaka dan contoh karya sastra angkatan 1920-an terbitannya.

Contoh Karya Sastra Angkatan 1920-an Terbitan Balai Pustaka
Ilustrasi Buku. tirto.id/iStockphoto

tirto.id - Memasuki dekade awal abad 20, pemerintah Hindia Belanda tengah gencar-gencarnya menggalang politik etis. Politik ini ajang "balas budi" yang dirancang setelah publik Belanda menyoroti dampak buruk sistem tanam paksa (cultuurstelsel).

Pada 1901, Ratu Wilhelmina meresmikan langkah "memperadabkan" pribumi Hindia Belanda lewat program pendidikan, irigasi, dan pembukaan lapangan pekerjaan dengan upah tertentu.

M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) menyatakan bahwa kebijakan itu bukan murni mengakar pada moralitas utang budi, tetapi semata keuntungan politis dan ekonomi. Sekalipun dalihnya "menyejahterakan," politik etis tetap didesain agar menguntungkan pemerintah kolonial.

Beriringan dengan pelaksanaan politik etis, sebuah komisi pendidikan didirikan pada 14 September 1908, dengan nama Commissie voor de Inlandsche School (Komisi Bacaan Sekolah Bumi Putra dan Rakyat/Komisi Bacaan Rakyat).

Pada awal berdirinya, komisi itu beranggotakan 6 orang serta diketuai oleh G.A.J.Hazeu. Tugasnya mengedarkan bahan bacaan yang berorientasi Belanda kepada murid-murid di sekolah.

Dalam praktiknya, seperti kata P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Menyambung Menjadi Satu (2016), Komisi Bacaan Rakyat merupakan perusahaan penerbitan dan percetakan. Selama kurun 1910-1916, semasa D.A. Rinkes menjadi sekretaris di sana, mereka menerbitkan 598 naskah yang diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Naskah-naskah itu meliputi cerita rakyat, wayang, hikayat, petuah, dan pengetahuan umum. Lebih dari itu, Komisi Bacaan Rakyat menerbitkan jutaan naskah sepanjang ia berdiri. Maka itu, sebagai proyek wacana sekaligus penerbit beken milik pemerintah kolonial, lembaga ini semakin populer di Hindia Belanda.

Selanjutnya, demi memperlebar jaringan proyeknya, tanggal 22 September 1917, tugas komisi ini dialihkan ke lembaga yang punya spektrum lebih luas. Berdirilah Kantoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat di Jakarta, dengan dipimpin oleh D.A. Rinkes.

Semenjak itu, nama Komisi Bacaan Sekolah Bumi Putra dan Rakyat lebih familier dikenal sebagai Balai Pustaka. Sejak awal eksis, Balai Pustaka merekrut beberapa cendekiawan bumiputra. Tujuan awalnya, bermaksud mengenal karakteristik wacana dari beberapa daerah di nusantara.

Pada era kepemimpinan G.W.J. Drewes, pengganti D.A. Rinkes yang pensiun pada 1927, beberapa sastrawan bumiputra dari Balai Pustaka sudah santer dibicarakan.

Contohnya adalah Abdoe Moeis. Ia berhasil menggarap novel Salah Asuhan (1928) yang dianggap Jamil Bakar dkk. dalam Pemahaman Salah Asuhan (1985) sebagai karya sastra Indonesia modern terbaik pada masanya.

Kemudian, ada pula novel dengan latar budaya Minangkabau serta bumbu cerita intrik orang kaya berjudul Sengsara Membawa Nikmat (1929) yang disusun dengan apik oleh Toelis Soetan Sati.

Beberapa tahun sebelumnya, Balai Pustaka sudah menerbitkan novel karya Marah Rusli bertajuk Sitti Nurbaya (1922). Ada juga novel karya Merrari Siregar yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1921, Azab dan Sengsara.

Pada akhir 1920-an, muncul nama yang menjadi ikon Balai Pustaka paling kesohor: Soetan Takdir Alisjahbana (STA). Bambang Trimansyah melalui Sejarah Perbukuan: Kronik Perbukuan Indonesia Melewati Tiga Zaman (2022) menulis, STA cemerlang sedari muda. Di usia 22 tahunusia yang cukup muda bagi sastrawania telah didapuk menjadi redaktur majalah Pandji Poestaka.

Setahun sebelum STA menangani majalah PandjiPoestaka, Balai Pustaka menerbitkan salah satu novelnya yang populer, Tak Putus Dirundung Malang. Karya STA ini pertama kali terbit tahun 1929.

Pada saat menjalankan Pandji Poestaka di bawah naungan Balai Pustaka, STA membuka rubrik "Memadjoekan Kesoesastraan." STA mengklaim kebanyakan karya sastra yang masuk ke dapur rubriknya berkualitas rendah. Lantaran demikian, dia berinisiatif membikin kiat-kiat menulis puisi dan prosa di rubriknya.

Menurut STA, karya sastra yang patut dibaca bersumber dari wacana Barat. Ia meyakini, wacana Barat bisa menunjang khazanah kesusastraan Melayu. Namun, gagasan itu kelak menuai polemik. STA semakin giat menebarkan gagasan pembaruan sastra saat bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe pada 1933.

Baca juga artikel terkait BAHASA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom