tirto.id - Masalah paling mendasar dalam periodisasi sastra adalah menjawab pertanyaan yang serupa dengan judul buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1988) tulisan Ajip Rosidi. Di situ, Ajip mengkritik perumpamaan sastra dari Umar Junus dalam buku Medan Ilmu Pengetahuan (1960).
Menurut Umar Junus, sastra ibarat sang Buah Hati, sementara bahasa adalah sang Ibu. Sastra dibaptis usai bahasa—dalam hal ini Indonesia—telah dikenal publik. Maksudnya, kesusastraan lahir mengikuti kemunculan bahasa tertentu.
Sementara itu, Ajip Rosidi menyangkal dengan dalil, selagi bahasa Indonesia belum diresmikan, sastra telah berkembang lebih lampau. Maka dari itu, mengatakan kemunculan bahasa sebagai tonggak awal kelahiran sastra punya ketimpangan waktu yang terlalu jauh. Ajip Rosidi memilih patokan kesadaran kebangsaan sebagai simpul punca kelahiran sastra Indonesia.
Ajip Rosidi berpendapat sejarah sastra Indonesia bermula dari sajak-sajak Muhammad Yamin dan Rustam Effendi yang terbit pada 1921. Sekalipun belum menyebut nama Indonesia, isi sajak-sajak itu sudah mengisyaratkan semangat kebangsaan.
Simpulan Ajip berlainan dengan pendapat terdahulu yang menaruh nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di deret awal perintis sastra Indonesia. Ajip pun tidak sejalan dengan hipotesis Umar Junus bahwa titik awal sejarah sastra Indonesia bermula dari 1933, tahun pertama penerbitan majalah Pujangga Baru.
A. Teeuw punya pondasi wacana dan penentuan tahun hampir sama dengan Ajip Rosidi, yakni era 1920-an. Argumentasi A. Teeuw yang termuat dalam Sastra Baru Indonesia I (1980) menyatakan pada tahun-tahun itu, puisi-puisi kebangsaan mulai ditulis oleh para perintis kemerdekaan. Sastra tradisional yang bercorak kedaerahan mulai ditinggalkan. Wacananya mengerucut pada kebutuhan akan nasionalisme.
Periodisasi Sastra Indonesia
Pembabakan waktu perkembangan sastra Indonesia disusun lantaran ada keunikan di masing-masing zaman. Sastra punya ciri khas tertentu yang menandakan era dinamika seni yang lekat dengan kebahasaan dan kebudayaan ini. Tentunya, aliran sastra dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang membawa napas normalisasi kebahasaan.
Namun, penyematan "angkatan" di kurun waktu (periodisasi) tertentu selalu menimbulkan polemik kesusastraan. Bagi Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar dalam Sejarah Sastra Indonesia (2011), penyematan itu terkesan terlalu subjektif.
Seakan-akan, penyematan itu membikin bias bahwa seluruh sastrawan di satu angkatan memiliki pandangan serupa, beraliran sama, dan gagasan karyanya sejenis. Padahal, perkembangan sastra sering kali kompleks dan bertumpuk.
Idealisme khas periode mana pun bisa muncul di luar tahun-tahun termasyhur seorang sastrawan. Pemikiran maupun karakter karya sastrawan bahkan mungkin berubah, tidak beku sebagaimana ia terlihat di era tertentu.
Di sisi lain, periodisasi sastra tak pernah luput dari kriteria subjektif. Sebabnya, ia disandarkan ke gagasan tokoh tertentu yang belum tentu selaras dengan kajian penelaah sastra lainnya.
Maka itu, selama ini muncul beberapa versi periodisasi sastra Indonesia. Umumnya, pembabakan mempertimbangkan pola penerbitan karya, unsur intrinsik dan ekstrinsik, serta pengaruh zaman terhadap sisi normatif sastra.
Sejarawan sohor dari era rezim Orde Baru, Nugroho Notosusanto menghimpun gagasan periodisasi sastra ala H.B. Jassin dan Buyung Saleh (termuat dalam Almanak Seni 1957). Ia tulis periodisasi dalam artikel bertajuk "Soal Periodisasi dalam Sastra Indonesia" di jurnal Basis (Vol. 12, 1963).
Periodisasi sastra menurut Nugroho didasarkan pada dua pembagian utama: sastra Melayu lama dan sastra Indonesia modern. Bagian pertama ditengarai telah muncul sejak era 1850-an sampai kemunculan sastrawan melayu baru.
Kemudian, bagian kedua dipecah menjadi beberapa angkatan. Untuk Masa Kebangkitan (1920—1945) terdiri atas Periode '20, Periode '33, dan Periode '42. Berikutnya, Masa Perkembangan (1945—1950) adalah Periode '45 dan Periode '50.
Namun, Nugroho tak memasukkan periode '66—sebagaimana periodisasi ala H.B. Jassin—lantaran angkatan itu dicap sebagai sarang sastrawan komunis dan kekirian. Padahal, dinamika sastra pada periode tersebut tengah hebat-hebatnya.
Terlebih pertentangan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan yang sangat kompleks. Seperti halnya dalam karangan Dwi Susanto yang berjudul Lekra, Lesbumi, Manifes Kebudayaan: Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965 (2018). Di sana dijelaskan polemik sastra yang membungkus politik, konflik kepentingan, normalisasi kebudayaan, ideologi, dan lain sebagainya.
Di samping itu, pembabakan waktu perkembangan kesusastraan berisiko tumpang tindih. Laporan berita dari Rachmat Djoko Pradopo yang berjudul "Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia" dalam harian Berita Buana (edisi 2, 9, 16, 23, 30 September, dan 7 Oktober 1986), menyimpulkan periodisasi sastra Indonesia berdasarkan titimangsa saja berpotensi terlalu kacau.
Periodisasi sastra sebelumnya digolongkan berdasarkan sastrawan dan corak idealisme karyanya. R.D. Pradopo memilih untuk mencirikan periodisasi sastra dengan penilaian struktur estetika dan ekstra-estetika.
Selain itu, pembahasan soal periodisasi sastra Indonesia pun menelan kritik pedas dari Sarwadi lewat Rangkuman Sejarah Sastra Indonesia Modern (1994). Ia beranggapan apabila periodisasi dikotak-kotakkan, iklim sastra Indonesia menjadi tidak sehat. Sebab, beberapa sastrawan tak ingin namanya disematkan dalam angkatan atau periode tertentu.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom