tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak akan melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan kelompok atau class action sebagian warga Bukit Duri soal penggusuran di bantaran Sungai Ciliwung. Anies beralasan, keberpihakan pada warga Bukit Duri merupakan salah satu janji kampanye yang harus ia wujudkan setelah dirinya memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017.
Putusan pengadilan terhadap kelompok warga Bukit Duri, kemarin, merupakan kali kedua setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga mengabulkan gugatan kelompok warga Bukit Duri yang menyimpulkan bahwa penggusuran yang dilakukan pada 28 September 2016 ilegal.
Anies menyatakan, dirinya akan segera merembukkan permasalahan Bukit Duri itu bersama seluruh stakeholder di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
“Kami bicarakan sama-sama, pengaturan daerah Bukit Duri yang akan dirasakan manfaatnya untuk semua,” kata Anies Baswedan, di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (26/10/2017).
Salah satu poin yang akan dirembukkan adalah jumlah ganti rugi yang telah diputuskan pengadilan kepada sebelas pihak tergugat. Mantan Mendikbud ini menyampaikan, pihaknya akan mengakomodasi pendapat dari kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat.
Ada 11 pihak tergugat dalam perkara ini, yaitu: Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Kepala Dinas Bina Marga Jakarta, Gubernur DKI Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Selatan, Kepala Dinas Tata Ruang Jakarta, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jakarta, Kepala Dinas Tata Air Jakarta, Kepala Dinas Perumahan Jakarta, Camat Tebet, dan Lurah Bukit Duri.
Baca juga:
- Kepasrahan Warga Bukit Duri Jelang Penggusuran
- Jakarta Unfair, Mengenang Bukit Duri di Atas Puing-puing
Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Mas’ud menyatakan bahwa tergugat terbukti lalai dan tidak memperhatikan aturan ketika melakukan normalisasi Ciliwung. Salah satunya adalah pembahasan ganti rugi antara warga dan pemerintah atas penggusuran pada 16 Januari 2016. Akibatnya, kata Mas'ud, muncul kerugian atas bangunan dan tanah milik warga.
Jika mengacu pada Undangan-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan dan Kepentingan Umum, kata Mas'ud, penggusuran di Bukit Duri seharusnya dilaksanakan dengan memberikan ganti rugi yang layak dan adil melalui musyawarah.
Majelis Hakim memutuskan bahwa tergugat diwajibkan membayar kerugian materiil terhadap warga yang mencakup 89 anggota keluarga yang memiliki bidang tanah serta empat perwakilan kelompok dari RW 10, 11, dan 12, Kecamatan Tebet, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jumlah kerugian materiil yang ditetapkan sebesar Rp200 juta per penggugat. Jumlah ini berbeda jauh dengan permohonan warga yang meminta ganti sebesar Rp1,07 triliun.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Setiap perbuatan melanggar hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Baca juga: Warga Bukti Duri Menang Class Action Penggusuran di Ciliwung
Ada lima kesimpulan utama yang muncul selama proses pemeriksaan di pengadilan, yang membuat gugatan kelompok warga di Bukit Duri dikabulkan. Pertama, Pemprov DKI telah melakukan perbuatan melawan hukum selama pelaksanaan proyek normalisasi Kali Ciliwung. Peraturan Pembentukan Program Normalisasi yang menjadi dasar penggusuran telah habis masa berlakunya ketika warga digusur. Aturan yang jadi dasar normalisasi tidak lagi berlaku per 5 Oktober 2015.
Kedua, program normalisasi Kali Ciliwung merupakan program pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga pelaksanaan pembebasan lahannya harus berdasarkan pada Undang-undang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Ketiga, ditemukan fakta bahwa telah terjadi penggusuran paksa yang melawan hukum. Sementara seharusnya, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk melindungi dan menjamin hidup warga negaranya.
Keempat, tanah di wilayah Bukit Duri adalah tanah milik warga yang didapat secara turun-temurun.
Dan kelima, penggusuran paksa itu telah menyebabkan kerugian, baik materiil dan imateriil. Kerugian materiil di antaranya adalah kehilangan pekerjaan, tanah, rumah dan harta benda lain, serta entitas kampung. Para tergugat juga diketahui tidak melakukan musyawarah terlebih dulu sebelum melakukan eksekusi.
Putusan hukum ini memang bagian persoalan saat Pemrov DKI Jakarta masih dipimpin Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Namun, saat ini persoalan ini menjadi tanggung jawab pemimpin baru DKI Jakarta di bawah Anies Baswedan-Sandiaga Uno, termasuk Pemprov DKI Jakarta harus membayar uang ganti sebagai konsekuensi dikabulkannya class action.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz