tirto.id - Tak kisah cinta seunik kisah Claretta (atau Clara) Petacci dengan Benito Mussolini. Mereka adalah sepasang kekasih sampai kematian mereka berdua pada 28 April 1945 di tangan partisan antifasis. Menjelang ajal menjemput mereka berdua, Mussolini masih berstatus suami dari Rachele Guidi. Ben, begitu Claretta memanggil sang diktator, menikah dengan Guidi pada 17 Desember 1915.
“Aku memiliki 14 perempuan dan mengambil tiga atau empat dari mereka setiap malam, satu per satu," kata Mussolini, yang sudah punya pengaruh di Italia sejak 1919. Lakunya tak jauh beda dengan Silvio Berlusconi, mantan perdana menteri dan pesohor AC Milan, jika bicara urusan politik dan ranjang Italia. Keduanya merayakan hidup dengan banyak perempuan.
Di tahun 1932, Ben bertemu Claretta Petacci. Ia perempuan cantik berusia 20 tahun, putri seorang dokter pribadi Paus di Vatikan. Claretta berasal dari keluarga kelas menengah. Ketika bertemu Ben, status Claretta pun bukan lajang. Ia adalah istri Kapten Angkatan Udara Italia Riccardo Federici. Berkat kuasanya, seperti ditulis dalam Women and War: A Historical Encyclopedia from Antiquity to the Present, Volume 2 (2006), Ben bisa mengirim Federici ke Jepang pada 1936. Hubungan keduanya pun makin lengket. Claretta tinggal di Palazzo Venezia.
“Tubuh mungilmu nan menawan hanya akan bergetar untukku,” kata Mussolini. Menurut Mauro Suttora kepada Spiegel (26/11/2009), Claretta banyak menulis. Ia “menghabiskan hari-harinya tanpa melakukan apa pun, kecuali hidup untuk Mussolini."
Hubungan mereka juga pernah dilalui Ben untuk meyakinkan Claretta agar tidak cemburu. Terkait itu, Claretta menulis: “Aku memeluknya erat-erat. Aku menciumnya dan kami bercinta dengan sangat marah sehingga jeritannya tampak seperti binatang yang terluka. Lalu, setelah kelelahan, dia jatuh ke tempat tidur.”
Setelah kekuasaan Mussolini sebagai Perdana Menteri Italia dipreteli oleh Raja Victor Immanuel III pada 25 Juli 1943, dia sempat menjalani penahanan Campo Imperatore. Pasukan Jerman di bawah komando Otto Skorzeny kemudian membebaskannya pada 12 September 1943. Hitler menjadikannya pemimpin negara boneka Hitler di Italia yang tak tahan lama: Republik Sosial Italia.
Dari semua perempuan dalam Ben, akhirnya yang tersisa tinggal Claretta. Dalam bukunya Perang Eropa Jilid III (2008), PK Ojong juga mencatat bagaimana akhir hidup Mussolini dan Claretta Petacci. Claretta sebetulnya hampir lolos dari kejaran partisan. Seorang partisan bernama Pedro menghampirinya dan menyampaikan salam dari Ben.
Awalnya, ia enggan mengaku bahwa dia adalah Claretta Petacci kekasih Ben. Namun dia merasa tak punya pilihan setelah Pedro bilang, “Saya tahu Nona adalah Clara Petacci. Dia [Mussolini] sendiri yang bilang itu kepada saya.” Claretta pun menuruti kata hatinya. Setelah bicara panjang lebar, ia meminta tolong ke Pendro: “Saya ingin ditahan bersama dengan dia.”
Pendro kaget, karena semula dia mengira Claretta yang nyaris lolos ke Swiss itu akan menangis minta ampun. Nyatanya, Claretta justru bilang, “Saya ingin menderita bersama dia. Bila Tuan mau membunuh dia, bunuh jugalah saya.”
Di tangan partisan, Claretta dikawal seorang partisan perempuan bernama Gianni. Claretta kemudian dipertemukan dengan Ben di Mezzagra, dan mereka diinapkan di rumah seorang petani bernama De Maria yang tak mengenali sosok Mussolini. Sebuah kamar disiapkan untuk mereka berdua. Ben yang semakin tua itu kemudian bersandar di bahu Claretta.
Ben dengan suara lembut berkata, “Dapatkah kau memaafkanku?”
"Semua itu tidak ada gunanya,” Claretta menjawab. Mereka kemudian menghabiskan malam dengan kesunyian.
Mereka berdua bangun pukul 11 siang di tanggal 28 April 1945 itu. Saat sarapan, mereka tak banyak bicara. Claretta tampak bersemangat, ia berdandan hari itu. Namun, tidak demikian dengan Ben. Sang diktator fasis enggan mandi, jenggotnya menutupi dagu. Ketika Kolonel Valerio yang akan mengeksekusi tiba, Ben sedang berdiri dan Claretta masih berbaring pada pukul 15.30 sore.
“Saya datang untuk membebaskan Tuan,” kata Valerio.
"Kalau begitu, saya berikan kepada Tuan seluruh imperium,” timpal Ben Mussolini.
Mereka kemudian diberangkatkan ke Villa Belmonte. Mereka kemudian menuju ke tembok sesuai arahan Valerio. Lelaki penjemput ini kemudian memberitahunya bahwa ia, atas nama Korps Sukarela untuk Kemerdekaan, akan menjalankan keadilan atas nama Rakyat Italia.
Ben segera tersadar bahwa itu adalah momentum eksekusi. Apalagi Valerio sudah mengarahkan senapan kepadanya. Ben tak berdaya dan hanya bisa bertanya: “Akan tetapi Kolonel, apakah salah saya kepada Tuan?”
Claretta terkejut. “Jangan! Jangan! Mussolini tidak boleh mati.”
“Jangan dekat-dekat atau kamu juga saya akan tembak,” seru Valerio. Claretta pun menurut. Ketika Valerio hendak menarik picu, senapan macet. Senapan diganti, masih macet juga. Akhirnya dia berteriak pada kawannya Bill untuk datang membawa senapan otomatis. Lima peluru dimuntahkan dari senapan yang ditarik picunya oleh Valerio dari senapan itu.
Claretta menangkap tubuh Ben. Berikutnya, Valerio menggenapi tugasnya, menjadikan Claretta sebagai sasaran berikutnya. Setelah tertembak dan berputar dua kali, tubuh Claretta pun roboh. Waktu menunjukkan pukul 4 lewat sepuluh menit.
Meski sudah mati, keduanya tak langsung dikubur. Mayat mereka keesokan harinya dipertontonkan ke khalayak ramai, ditempatkan di posisi terbalik di Piazzale Loreto, Milan. Jasad itu dijadikan bulan-bulanan balas dendam orang-orang yang membenci Mussolini.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani