tirto.id - Margaretha Winda F. Karotina (34) limbung dan pandangannya berkunang-kunang. Ia tak sempat memikirkan apapun, sebab kepalanya teramat pusing. Hingga akhirnya pada Selasa (17/9/2019) lalu, ibu dua anak itu tumbang, pingsan.
“Saya sampai dilarikan ke UGD untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Dua hari saya dirawat,” katanya kepada reporter Tirto.
Ia merupakan satu dari jutaan warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang terdampak asap dan menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 513 titik panas yang tersebar di atas lahan seluas 44.769 hektare di Kalimantan Tengah pada Senin (16/9/2019). Kendati jumlah itu menurun dari 954 titik panas per 15 September 2019, namun tidak memengaruhi kualitas udaranya.
Tepat satu hari sebelum Winda terbaring di rumah sakit, kualitas udara Palangkaraya memang terbilang buruk. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia mencatat Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Partikulat10 (PM10) di Palangkaraya mencapai angka 500 mikron per pukul 15.00 WIB. Artinya kualitas udara di sana berada pada level berbahaya. Padahal Nilai Ambang Batas (NAB) PM10 yang aman, semestinya di angka 150 mikron.
“Diagnosanya, aku kurang asupan oksigen ke otak dan pernapasan terganggu karena asap,” ujar Winda.
Pada saat yang bersamaan, Dasti anak Winda yang paling kecil dan baru menginjak usia 2 tahun 6 bulan juga menderita gangguan kesehatan akibat terlalu sering menghirup udara kotor. Dasti tak sempat dirawat inap layaknya sang ibunda. Ia hanya mesti rawat jalan saja.
“Si kecil masih muntah-muntah sampai sekarang [Selasa, 24 September 2019]. Sudah satu minggu ini,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Suyuti Syamsul juga mengakui bahwa kualitas udara Kalimantan Tengah belum juga berangsur-angsur membaik sejak awal September lalu. Sejak awal bulan, kabut asap tipis-tipis menyelimuti daerahnya, sampai dengan saat ini menurutnya masih saja parah.
Merujuk data Indeks Standard Pencemaran Udara KLHK pada Selasa (24/9/2019) per pukul 15.00 WIB, data ISPU PM10 berada di angka 453. Artinya status level berbahaya.
“Sampai sekarang [asap] menjelang pekat. Kebakaran masih di mana-mana,” ujarnya kepada Tirto. “Dampaknya, asap masuk ke paru-paru, mengiritasi saluran pernapasan. Inilah yang menimbulkan ISPA. Orang yang asma bisa mudah kambuh.”
Kondisi tersebut memburuk sejak bertambahnya titik panas pada Jumat (20/9/2019) hingga Senin (23/9/2019).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam laporan Perkembangan Titik Panas dan Kondisi Kualitas Udara di Jambi dan Kalimantan Tengah yang dirilis pada 24 September 2019 mencatat adanya kenaikan meski fluktuatif; yakni sebanyak 515 titik panas pada 20 September, 536 titik panas pada 21 September, 402 titik panas pada 22 September, dan 1127 titik panas pada 23 September.
Kualitas udara yang memburuk menyebabkan 15.925 warga Kalimantan Tengah menderita ISPA. Jumlah itu dicatat Sayuti antara 1 Agustus - 23 September 2019. Suyuti menduga masih banyak masyarakat yang menderita ISPA, akan tetapi tidak tercatat sebab memilih berobat mandiri.
“Kenaikan penderta ISPA memang ada, tetapi kecil sekitar 10 persen sampai 20 persen. Rata-rata perminggu itu ada 2 ribu kasus sampai 3,5 ribu kasus. Sebulan rata-rata 12 ribu kasus,” katanya.
Merujuk laporan Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) pada 24 September 2019 total kasus ISPA akibat Karhutla di Kalimantan Tengah periode Mei-September 2019 mencapai 40,374 kasus. Jumlah terbesar berada di daerah Palangkaraya dengan angka 12,750 kasus dan terkecil di daerah Gunung Mas dengan angka 434 kasus.
Dinkes Kalimantan Tengah pun terus mengupayakan penanganan terhadap masyarakat dengan cara membagi-bagikan masker, mendirikan rumah oksigen, dan mendirikan posko kesehatan. Total ada 204 Puskesmas dan 22 rumah sakit yang dijadikan posko kesehatan dengan semua pembiayaan dibebaskan khusus untuk masyarakat penderita ISPA.
Namun, menurut Sayuti itu hanya penanganan jangka pendek semata. Sebab, kiat-kiat penanganan jangka panjang berada di sektor lain. Baginya, sektor kesehatan adalah hilir yang terdampak. Problem Karhutla harus dituntaskan.
“Kalau hanya memadamkan apinya saja, asap itu tidak akan berhenti. Karena ini lahan gambut yang tingginya tiga sampai empat meter. Selama gambutnya tidak habis, asap akan keluar meski apinya sudah padam,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Hartono menilai lahan gambut itu memang perlu dibasahi secara menyeluruh, agar dampak api dan asap padam secara menyeluruh. Terlebih lagi kondisi gambut yang kering dan rusak kian memperparah dampak Karhutla.
“Pembukaan lahan perkebunan sawit merupakan akar rusaknya gambut. Mereka [korporasi] membuka kanal-kanal dan mengeringkan gambut dan menjadikan gambut mudah terbakar,” ujarnya kepada tirto.
Terpisah Pulau Dengan Istri dan Anak
Sudah seminggu Diky Firman (35) berpisah rumah dengan Istri dan anak semata wayangnya yang masih berusia 1 tahun 2 bulan. Mereka terpisah pulau. Istri dan anaknya mengungsi ke DKI Jakarta lantaran bencana asap akibat Karhutla di Jambi. Diky tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Kota Jambi.
“Senin [15/9/2019] itu kondisi udaranya pekat asap dan berbahaya. Ellin [anaknya Diky] mulai batuk-batuk. Saya khawatir saja, jadi meminta mereka mengungsi ke Jakarta,” ujarnya pada Tirto, Selasa (24/9/2019).
Berdasarkan data ISPU dari Air Quality Monitoring System (AQMS) kualitas udara Jambi saat itu berada pada angka PM10 187 mikron. Artinya, kualitas udara di sana berada dalam level sangat tidak sehat. Hal tersebut disebabkan oleh titik api yang tersebar di atas lahan seluas 11.022,00 hektare.
Merujuk laporan Perkembangan Titik Panas dan Kondisi Kualitas Udara di Jambi dan Kalimantan Tengah yang dirilis oleh BMKG pada 24 September 2019, terdapat 60 titik panas per 15 September 2019.
Akibat memburuknya kualitas udara, Wali Kota Jambi Syarif Fasha sampai mengintruksikan seluruh peserta didik di daerahnya untuk meliburkan diri.
Namun sebaran titik panas itu kian bertambah. Merujuk kembali laporan data BMKG, terjadi peningkatan fluktuatif sejak 16-23 September 2019. Terdapat 174 titik panas pada 16 September, 484 titik panas pada 17 September, 166 titik panas pada 18 September, 635 titik panas pada 19 September, dan 499 titik panas pada 20 September.
Lalu ada peningkatan cukup drastis pada keesokan harinya. Menurut pengakuan Deny, langit Kota Jambi nampak merah pada hari Sabtu (21/9/2019) dan Minggu (22/9/2019).
“Langitnya merah banget, menyerupai malam. Kayak langit ketika menjelang Magrib dan itu sudah berlangsung dari jam 10 pagi,” ujar Deny.
Ketika itu memang terjadi peningkatan distribusi titik panas yakni 799 titik panas pada 21 September dan 505 titik panas pada 22 September.
Pada saat yang bersamaan angka ISPU pada dua hari itu cukup tinggi. Berdasarkan data laporan BMKG, PM10 pada tanggal 21 September berada pada angka 198 mikron dan 375 mikron pada 22 September.
Meski hingga pada 23 September jumlah titik api menyusut menjadi 112 titik namun ISPU Kota Jambi masih berada pada angka PM10 270 mikron.
“Secara umum pola konsentrasi PM10 di wilayah ini naik ketika musim kemarau, tidak ada hujan dan ditambah adanya forest atau land fires,” ujar Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kuaitas UDara BMKG Hary Tirto Djatmiko dalam keterangan tertulisnya kepada tirto.
Bahkan berdasarkan data Indeks Standard Pencemaran Udara KLHK per pukul 15.00 WIB tanggal 24 September 2019 kondisi PM10 Kota Jambi 250 mikron. Artinya, status level masih sangat tidak sehat.
Kondisi demikian membuat Deny tak bisa beraktivitas lama-lama di luar ruangan. “Mata saya pedih banget kalau di luar. Harus pakai kacamata, itu pun tidak bisa terlalu lama-lama,” ujarnya.
Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Jambi Eva Susanti juga mengamini parahnya kualitas udara Jambi per tanggal 21 September hingga 23 September kemarin. Kondisi ini menurut Eva berdampak langsung pada peningkatan kasus ISPA.
“Per 21 September itu semakin parah dan berbahaya. Rasanya juga sudah pusing, apalagi tanpa masker,” ujarnya kepada tirto, Senin (23/9/2019).
Berdasarkan catatannya, per Agustus 2019 jumlah kasus ISPA di Jambi mencapai 42.962 kasus. Hal tersebut meningkat 13,547 kasus dari bulan Juli yang berjumlah 29,415 kasus dari total populasi 3,9 juta jiwa.
Rata-rata masyarakat mengeluhkan kondisi kesehatannya yang pusing, demam, batuk, pilek, sampai nyeri sendi. Hal itu disebabkan asupan oksigen yang masuk ke otak berkurang.
Untuk menangani meningkatnya kasus ISPA tersebut, Eva mengatakan Dinkes telah melakukan berbagai upaya seperti menyiapkan 206 Puskesmas yang tersebar di 11 Kabupaten Kota sebagai posko kesehatan masyarakat yang menderita ISPA akbat asap Karhutla. Lalu menyiapkan 525,170 masker untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat.
“Masker itu penanganan jangka pendek. Untuk jangka panjangnya, kita harus memadamkan sumber api mau tak mau. Tapi itu bukan leading-nya [sektor] kesehatan,” ujarnya.
ISPA Penyakit Jangka Pendek
Kepala Klinik Paru RSAU dr. Esnawan Antariksa, dr. Flora Eka Sari mengatakan persoalan penderita ISPA karena terlalu banyak menghirup kabut asap, merupakan penyakit jangka pendek. Namun yang perlu diwaspadai adalah dampak jangka panjangnya.
“Jangka panjangnya bisa menyebabkan penyakit paru obstruksi kronik. Bisa memperburuk saluran paru dan jantung,” ujarnya pada Tirto, Selasa (24/9/2019).
Hal itu disebabkan oleh bentuk asap dan partikel debu akibat Karhutla. Terlebih lagi menurutnya jika partikel debu berukuran kecil, maka akan mudah memasuki jantung dan menempel di organ tersebut. Lalu membuat kinerja jantung menjadi terhambat.
“Bisa juga menurunkan kecerdasan otak, karena oksigennya terganggu maka akan menjalar ke organ lain,” ujarnya.
Namun demikian belum ada penelitian yang menyebutkan waktu ideal seseorang bertahan hidup dalam kepungan asap dan debu. “Apalagi partikel [debunya] kecil, manusia tidak dianjurkan hidup berlama-lama dalam asap,” ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Dimas Hartono meminta pemerintah bertanggung jawab penuh atas kasus-kasus ISPA yang terjadi lantaran Karhutla. Terlebih lagi kejadian semacam ini bukan barang baru. Pada tahun 2015 juga terjadi Karhutla, Jambi dan Kalimantan Tengah menjadi salah dua daerah yang terdampak.
Merujuk data Kemenkes pada 2015, jumlah penderita ISPA di Jambi per Juli-Oktober 2015 mencapai 152,390 kasus. Sementara di Kalimantan Tengah pada periode yang sama, mencapai 46,672 kasus. Akibat kejadian itu, Bank Dunia mencatat Indonesia mengalami kerugian Rp495 miliar untuk Jambi dan Rp327 miliar untuk Kalimantan Tengah di sektor kesehatan.
“Perlu penanganan serius dari pemerintah tentunya agar kondisi ini tidak terulang dan masyarakat yang terkena ISPA dapat disembuhkan,” ujar Dimas. “Sesuai dengan tuntutan warga negara dalam CLS, salah satunya untuk membuat rumah sakit khusus paru-paru.”
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Mawa Kresna