Menuju konten utama

Cerita Pengalaman Menulis Simon Winchester: Penulis Buku "Krakatoa"

Simon Winchester berbagi pengalamannya dalam menulis sejumlah buku best seller dunia kepada komunitas penulis di Yogyakarta.

Cerita Pengalaman Menulis Simon Winchester: Penulis Buku
Ilustrsi penulis buku [Foto/Shutterstock].

tirto.id - Pengarang buku “Krakatoa: The Day the World Exploded”, Simon Winchester memiliki saran khusus bagi para penulis muda agar tidak pernah mengalami kekeringan ide. Dia menyarankan setiap penulis harus menjaga rasa kagum pada segala hal yang mereka temui.

“Dunia harus dilihat dari kaca mata anak usia 10 tahun, yang selalu kagum saat melihat semua hal dan selalu ingin tahu tentang segalanya,” kata Simon.

Dia berbicara demikian saat berbagi pengalaman ke forum yang digelar Persatuan Penulis Indonesia (Satu Pena) di Rumah Budaya Ndalem Natan, Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis malam (2/11/2017). Ketua Umum Satu Pena, Nasir Tamara, mengatakan panitia Ubud Writers and Readers Festival 2017 mendatangkan Simon ke Yogyakarta untuk bercerita pengalamannya menjadi pengarang.

Di forum itu, Simon mengaku tak pernah kehabisan ide karena selalu berupaya mengagumi banyak hal yang dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang biasa. Karena itu, dia gemar mengulik hal-hal sepele untuk menemukan tema-tema besar.

Ide buku “Krakatoa”, misalnya, bermula ketika Simon mengunjungi Indonesia pada 1975. Dari Pantai Anyer, dia memotret Gunung Anak Krakatau. Saat bekerja untuk media Inggris the Guardian dengan wilayah liputan seantero pasifik, pada 1986, Simon kembali ke Anyer dan memotret obyek yang sama.

Sebagai Geolog lulusan Universitas Oxford, Simon mudah menemukan perbedaan menarik dari dua hasil pemotretan Anak Krakatau pada 1975 dan 1986. 11 tahun berselang, tubuh gunung di tengah laut itu terlihat membesar sekitar 500 kaki. Dia menyimpulkan gunung itu tumbuh lumayan cepat.

Setelah itu, Simon mulai mendalami kasus letusan hebat Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883. Beberapa tahun kemudian, dia mulai serius menggarap topik ini. Riset literatur untuk penyusunan buku, yang terbit pada 2003, tersebut butuh waktu 1,5 tahun.

Simon berjibaku menelusuri dokumen pemerintah kolonial Hindia Belanda di Amsterdam. Sayangnya, sebagian besar arsip sudah melapuk. Simon justru mendapatkan data yang sangat kaya tentang letusan Gunung Krakatau dari seorang geolog di Rhode Island, AS.

Bagi Simon, letusan Krakatau tak hanya menarik dari segi dampaknya secara fisik bagi dunia. Erupsi yang sampai memicu tsunami di Prancis itu, menurut dia, menjadi penanda awal revolusi komunikasi.

“Berita letusan Krakatau sampai ke London empat menit usai kejadian berkat kabel telegraf bawah laut. Ini jadi penanda mulai terbentuknya kampung global (global village),” ujar dia.

Kekayaan riset data dan pengumpulan kisah-kisah unik menjadi senjata Simon dalam menulis buku-bukunya. Dia terbiasa melahap semua judul buku, jurnal dan laporan riset tentang topik ulasannya sebelum menulis. Wawancara dengan para peneliti hingga berkunjung ke lokasi-lokasi obyek ulasan juga menjadi tahap penting selanjutnya.

Kemudahan menambang sebanyak mungkin data menentukan lamanya penyusunan buku-buku karangan Simon. Dia mengaku beruntung mudah menemukan banyak data saat menyusun “The Professor and the Madman”, buku tentang kisah penyusunan kamus Oxford. Buku terbitan 1998 itu tandas ditulis Simon dalam enam pekan.

Kemampuan Simon menyajikan data-data saintifik dalam bahasa yang enak dibaca memang tak lepas dari pengalaman panjangnya sebagai jurnalis sekaligus mantan geolog. Bekal itu membuatnya lihai menyandingkan data-data ilmiah dengan kisah-kisah manusiawi yang kaya detail menarik.

“Seekor anak gajah mengamuk di sebuah hotel di Batavia saat Krakatau meletus. Ada grup sirkus asal San Francisco sedang pentas di Batavia saat itu. Seorang perempuan anggota grup sirkus punya anak gajah sebagai hewan peliharaan sehingga turut diajak masuk kamar hotel,” kata Simon mencontohkan salah satu kisah yang ia masukkan di buku “Krakatoa”.

Keputusan Simon banting setir dari seorang geolog menjadi jurnalis sebenarnya muncul tiba-tiba. Usai lulus dari Oxford di tahun 1966, dia bekerja sebagai geolog sebuah perusahaan tambang asal Kanada yang beroperasi di Uganda.

Buku “Coronation Everest” karya James Morris—koresponden London Times yang kemudian berganti nama menjadi Jan Morris usai memutuskan menjadi transgender—mengubah jalan hidupnya. Tak lama usai membaca buku itu, dari Afrika, dia balik ke Inggris pada 1967 dan memilih menjadi reporter koran lokal. Kariernya menanjak usai bergabung dengan the Guardian hingga bertugas meliput skandal Watergate di era 1970-an.

Pengalaman saat bekerja sebagai jurnalis dengan wilayah liputan di banyak negara menyediakan ide yang kaya untuk profesinya di masa tua, pengarang buku-buku best seller kelas dunia.

Karya-karya non-fiksinya mencakup banyak sekali bidang, mulai dari bencana besar, zona perang, arkeologi kuno, geopolitik hingga teknologi modern. Kini, Simon mengaku sedang menyusun buku tentang presisi dan perfeksionisme di perkembangan teknologi mekanik.

Baca juga artikel terkait PENULIS BUKU atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom