tirto.id - Lima orang pekerja sedang memperbaiki beton pembatas jalan di siang terik itu, pukul 11, tanggal 11 Desember 2018. Mereka bekerja persis di tengah-tengah jalan di depan Yayasan Kartini Borobudur, Jalan Raya Cilandak, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jalanan kala itu cukup ramai kendaraan.
Satu jam kemudian, tepat pukul 12, para pekerja berhenti. Mobil bak terbuka berhenti di depan bengkel yang sedang tutup, lima meter dari seberang Rumah Sakit Marinir Cilandak. Itu adalah kendaraan yang akan mereka tumpangi untuk melanjutkan pekerjaan serupa di depan Family Mart Cilandak.
Sebelum pindah, mereka sempat beristirahat lalu mengangkut alat-alat tukang ke mobil bak.
Empat orang berangkat. Seorang lagi ditinggalkan untuk menjaga beko dan alat tukang lainnya yang tidak muat lagi diangkut. Dedi namanya.
Sembari menunggu teman-temannya, ia sempat berkeluh kesah kepada saya. Salah satunya soal upah yang belum dibayar selama tiga minggu.
"Sudah tiga minggu gaji enggak dibayar. Ada teman-teman yang sudah pulang [kampung] juga belum dibayar kayaknya," kata Dedi. Ia sungkan menyebut besaran upah yang mestinya ia terima satu minggu sekali itu.
Dedi datang ke Jakarta karena diajak teman sejawat. Alasannya klasik, sama seperti semua orang yang memilih secara sadar kerja di Jakarta: anak istrinya perlu makan, dan lapangan kerja di desa sulit dicari.
Ia juga mengeluhkan alur koordinasi yang runyam. Bos yang berbeda saat masa pembongkaran dan pemasangan membuat pekerjaan semrawut.
"Bos 1 suruh bongkar, terus ke bos 2 suruh pasang. Padahal harusnya dibongkar dulu semua baru dipasang, tapi belum beres dibongkar semua, sudah harus mulai pemasangan," Dedi menambahkan.
Menurut Dedi, separator di sepanjang Jalan Raya Cilandak seperti dipaksa diperbaiki. Faktanya separator memang tidak rusak. Yang ia tahu, pembatas nantinya akan membentang dari Yayasan Kartini Borobudur sampai depan perempatan lampu merah di Cilandak ini cuma hendak ditinggikan. Tak tahu pula kenapa mesti ditinggikan.
Setelah mengobrol 15 menit, kawan Dedi datang menjemput.
Seorang pekerja dan sopir menghampiri Dedi. Mereka bersama-sama hendak mengangkat beko dan sisa-sisa barang tukang. Sebelum itu, mereka beristirahat sejenak dan bercerita soal yang sama persis.
"Sudah mau masuk 3 minggu gaji saya enggak dibayar juga, mas," kata kawan Dedi, Amar namanya. Soal koordinasi juga dikeluhkan. Namun pada akhirnya mereka menerima saja segala yang diperintahkan, meski bikin repot dan kadang tak masuk akal. Soalnya mereka sendiri tidak tahu persis siapa pemberi kerja.
"Enggak tahu sih, banyak bosnya," ucap Dedi.
"Yang saya tahu rumahnya bos di Tangerang," timpal Amar, sambil beranjak pergi menaiki mobil bak bersama Dedi.
Dikerjakan Pihak Ketiga
Christianto, Kepala Suku Dinas (Kasudin) Perhubungan Jakarta Selatan, mengatakan kepada reporter Tirto kalau perbaikan separator adalah tanggung jawab mereka. Meski demikian, di lapangan itu dikerjakan oleh "pihak ketiga" alias outsource. Christianto tak menyebut apa nama perusahaannya.
Menurutnya, perbaikan separator ini diperlukan karena yang ada sudah sejajar dengan jalan raya. "Karena tiap tahun diaspal oleh Bina Marga," ujarnya.
Soal gaji pekerja yang belum dibayar, menurutnya itu bukan tanggung jawab dinas. Pemberi upah adalah perusahaan outsource. Meski demikian, ia mengatakan kalau Sudin Perhubungan Jaksel memang baru akan membayar perusahaan ketika pekerjaan selesai.
"Pihak ke-3 juga belum dibayar, karena pekerjaannya belum selesai 100 persen," tambahnya. Rencananya proyek akan selesai pada 15 Desember 2018.
Penulis: Nadhen Ivan
Editor: Rio Apinino