tirto.id - Kematian akibat bunuh diri sering menjadi sorotan masyarakat dan media. Kasus yang terjadi belakangan menimpa artis Korea Selatan,Sulli, mantan anggota girl grup f(x) menjadi tamparan keras bagi warganet, terutama yang tinggal Korea Selatan.
Beberapa pesohor yang meninggal akibat bunuh diri juga sering diberitakan oleh media. Pemberitaan bunuh diri yang keliru bisa menimbulkan apa yang disebut "Efek Werther," yakni gelombang bunuh diri akibat pemberitaan yang dibaca oleh publik.
Efek Werther diambil dari fenomena bunuh diri setelah membaca buku karya Johann Wolfgang Goethe berjudul Die Leiden des Jungen Werthers. Buku ini diterbitkan pada 1774 dan kemudian menginspirasi ribuan pemuda di Eropa untuk bunuh diri seperti yang dilakukan tokoh Werther dalam buku.
Dari fakta tersebut, diakui atau tidak peristiwa bunuh diri bagi siapa pun meninggalkan dampak bagi keluarga, kerabat dan masyarakat sekitarnya.
Setiap kematian satu orang akibat bunuh diri berpeluang untuk memberikan dampak bagi setidaknya delapan orang lainnya. Hal itu diungkapkan oleh komunitas yang berfokus dalam permasalahan bunuh diri, Into the Light.
Beberapa pihak yang terdampak termasuk keluarga, teman, sahabat, pasangan, atau orang yang sempat mengenal orang yang melakukan bunuh diri itu.
Dampak Bunuh Diri bagi Kerabat
Salah satunya, Tina (29), bukan nama sebenarnya, masih merasakan rasa duka dan bersalah akibat kematian kakaknya pada tahun lalu. Kakaknya, Budi, bukan nama sesungguhnya, meninggal dengan cara bunuh diri.
Saat mendengar kabar tersebut, dari kawan Budi, Tina terkejut. Ia merasa bingung atas alasan Budi melakukan tindakan tersebut. Walaupun di sisi lain, Tina curiga bahwa Budi memang memiliki masalah tersendiri.
“Aku suka merasa kalau dia sebetulnya punya masalah karena dia sangat emosional, suka marah-marah, terutama dua tahun terakhir, tapi aku enggak tahu bahwa masalahnya sebesar itu,” ujar Tina kepada reporter Tirto pada Kamis (21/11/2019).
“Saya sempat menyalahkan diri saya atas kematiannya. Sekitar tiga bulan selepas kematiannya, saya sulit untuk beraktivitas dan berhenti bekerja,” lanjutnya.
Keluarga Tina pun memilih untuk menyembunyikan alasan dari kematian Budi. Pasalnya, mereka khawatir akan stigma yang bisa muncul dari masyarakat.
“Karena enggak boleh bilang masalah itu, jadi saat itu saya tambah bingung mau curhat ke siapa,” tuturnya. “Orang tua juga sama sekali enggak mau membahas masalah itu."
Akhirnya, Tina pun memilih untuk memulihkan dirinya ke psikolog. Setelah berjalan beberapa bulan, Tina baru mulai dapat mengontrol dirinya.
“Rasa sedihnya sih masih suka muncul sampai sekarang, tapi sekarang lebih bisa kontrol dan bisa kerja,” ujarnya.
Kisah lain dituturkan Mita (44), penyintas kehilangan bunuh diri lainnya. Ia kehilangan teman, sekaligus idolanya, dalam jangka waktu yang tak terlalu jauh.
“Saat teman saya [bunuh diri], saya marah sekali. Marah sama yang namanya suicide. Saya benci sekali dan ingin 'memusnahkan' yang namanya suicide itu. Dua bulan kemudian, ketika idola saya diberitakan suicide, saya sudah enggak bisa marah. Saya merasa kalah sekalah-kalahnya. Saya yang salah,” ujarnya kepada reporter Tirto pada Jumat (22/11/2019).
“Almarhum teman saya tidak pernah terlihat marah, tidak pernah terlihat sedih. Selalu senyum. Bahkan kalau bicara pun nada suaranya selalu tenang,” ujarnya.
Mita pun mengisahkan bahwa ia dan teman-temannya mengetahui sedikit masalah yang dilalui Robi, bukan nama sebenarnya, kawannya yang akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Salah satunya adalah masalah perceraiannya. Namun, Robi selalu menghindar untuk membicarakan masalahnya.
"Kita tidak menyangka akan berujung suicide," ujarnya.
Selepas kejadian itu, Mita tak berhenti menangis. "Saya nangis tiap malam selama mungkin satu sampai minggu," kisah Mita.
"Saya dan teman kami satu lagi di Jakarta nangis-nangisan berdua. Lalu selalu saling nanya kabar hampir setiap hari," lanjutnya.
Namun, Mita merasa mulai membaik justru saat mulai terbuka dengan adiknya. Ia pun baru terbuka saat ada kejadian idolanya bunuh diri.
"Karena kebetulan saya mengenal sosok idola saya itu lewat adik asuh saya dan adik asuh saya juga yang memberitahukan tentang meninggalnya idola saya," ujar Mita.
"Saya yakin saat itu yang membantu kasih kekuatan adalah adik asuh saya yang saat itu masih kuliah psikologi menjelang lulus. Saya tahu saya dipantau terus. Kadang, saya merasa dia treat saya selayaknya 'pasien' lewat percakapan dan sesi curhat," lanjutnya.
Mita juga merasa beraktivitas dan mendapatkan kesibukan membuat dirinya membantu mengalihkan pikiran. Mita pun berhasil untuk mulai bangkit. Ia, bersama teman-temannya, justru membuat sebuah konser amal yang bertujuan untuk kampanye mencegah bunuh diri.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Benny Prawira, pendiri Into The Light Indonesia, menyampaikan bahwa penyintas kehilangan bunuh diri justru kerap kali lebih tertutup dan memendam permasalahannya, daripada penyintas percobaan bunuh diri.
"Mereka itu lebih sulit untuk kami raih, temui, mengakui kondisi mereka, dibandingkan teman-teman penyintas percobaan bunuh diri. Teman-teman penyintas percobaan bunuh diri bahkan sudah mulai berani bicara di Twitter, Instagram, dan sebagainya," ujar Benny.
"Namun, orang yang ditinggalkan itu masih kayak aib, malu, rasanya kayak gak ada gunanya untuk membicarakan lagi," lanjutnya saat dihubungi reporter Tirto pada Sabtu (23/11/2019).
Salah satu hambatannya, menurut Benny, adalah masih banyaknya stigma buruk terhadap orang bunuh diri. Stigma ini justru bisa berdampak pada keluarganya, sehingga rata-rata dari mereka memilih untuk memendam masalahnya.
"Susah untuk berduka ya bagi mereka karena berduka saja sudah sakit, ditambah lagi dengan stigma, jadi nambah beban lagi yang tidak perlu. Stigma ini juga yang mempersulit mereka untuk mencari bantuan psikologis, atau bahkan membicarakan ini," ujar Benny.
"Ada dalam beberapa kasus, keluarganya bahkan tidak mau membicarakan ini lagi sama sekali, karena saking malunya," lanjutnya.
Benny pun menyampaikan sejumlah poin yang dapat dilakukan bagi masyarakat dengan penyintas kehilangan bunuh diri.
"Khusus untuk penyintas kehilangan kasus bunuh diri, lebih baik jangan membuat asumsi alasan dari bunuh diri seseorang, kecuali keluar dari mulut keluarga sendiri," ujar Benny.
"Karena seringkali dalam kasus bunuh diri, kita memulai dengan asumsi kita penyebab bunuh diri, yang malah membuat gosip. Keluarga pun tidak terbantu sama sekali dengan itu. Jadi perlu untuk dihentikan," lanjutnya.
Lalu Benny menyampaikan bahwa lebih baik untuk tidak menanyakan hal-hal yang terlalu detail atau personal ke kerabat, seperti cara bunuh diri atau penyebabnya. Terkecuali, mereka memang memilih untuk menceritakannya.
"Cukup perlakukan seperti kita melihat kematian lainnya, seperti mengucapkan turut berduka cita, memberikan penguatan, hal-hal seperti aja sebenarnya untuk mendukung mereka," ujar Benny.
"Kita harus paham bahwa ekspresi dari duka itu bisa jadi sedih, marah, kecewa, complicated. Mungkin beberapa bisa satu atau dua bulan bisa beres, ada pula yang butuh bertahun-tahun," lanjutnya.
Proses berduka tersebut, kata Benny, perlu untuk dihormati. "Bukan berarti kalau berduka itu beres bahwa dengan kita bilang rasa sakitnya sudah tidak ada sama sekali lagi. Kita perlu sadar bahwa kejadian tersebut tetap teringat, tetapi rasa sakitnya bisa lebih dikendalikan," ujar Benny.
"Dia lebih tahu bagaimana cara mengontrol itu dengan upayanya sendiri," lanjutnya.
======
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri