tirto.id - Seorang mahasiswa di universitas Kapuas, Sintang, diberitakan gantung diri pada 10 April 2017. Berita itu dibuat dengan judul: Skripsi Tak Kunjung Selesai, Mahasiswa Gantung Diri.
Judul itu diambil dari pernyataan polisi yang menyelidiki kasus tersebut. Polisi menyimpulkan bunuh diri itu dilakukan dengan satu dugaan: tertekan karena skripsi.
Pernyataan polisi dalam berita itu menyederhana motif bunuh diri. Seolah-olah penyebab bunuh diri itu hanya disebabkan oleh satu masalah. Itu pun polisi hanya bisa menduga, karena penyebab sebenarnya tidak akan pernah diketahui. Penyederhanaan oleh polisi itu kemudian disederhanakan lagi dalam judul berita.
Meringkas motif kasus bunuh diri mahasiswa mudah ditemukan dalam sejumlah situs berita. Pada 28 September 2017, ada sebuah berita berjudul Salam Perpisahan Mahasiswa di Kupang yang Tewas Gantung Diri. Isinya, penyebab bunuh diri itu lantaran stres kuliah, bersumber dari teman kuliah korban.
Berita lain pada 21 November 2018 berjudul Mahasiswa Tewas Gantung Diri, Diduga Karena Skripsi Selalu Ditolak, bersumber dari wawancara seseorang pelayat.
Sepanjang Mei 2016 hingga Desember 2018, riset Tirto dari beragam pemberitaan online menemukan ada 20 berita tentang kematian mahasiswa di Indonesia; ketujuh berita menyimpulkan penyebab bunuh diri itu karena faktor tunggal.
Penyederhanaan yang Membahayakan
Dalam Panduan Pemberitaan Bunuh Diri untuk Media yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2008 menjelaskan bahwa ada pemahaman yang salah tentang bunuh diri pada pemberitaan media.
Media sering menyebutkan penyebab bunuh diri karena faktor tunggal. Padahal, faktanya tidak begitu. Selalu ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri.
Biasanya, masalah kesehatan mental menjadi faktor yang kuat, tapi perlu juga diperhatikan faktor kultural, genetik, dan ekonomi-sosial.
Misalnya, dalam kasus bunuh diri mahasiswa, selalu ada pemahaman yang keliru bahwa bunuh diri disebabkan karena masalah kuliah atau soal urusan asmara. Padahal, kasus macam ini belum selesai diselidiki.
Penyederhanaan faktor ini seolah menjadi pembenaran bahwa skripsi atau aktivitas kuliah yang berat bisa memicu mahasiswa bunuh diri. Pembenaran ini bisa jadi alasan mahasiswa untuk mengakhiri hidup.
Berdasarkan riset Into The Light, sebuah komunitas yang fokus pada isu bunuh diri, sepanjang 2013-2017 paling tidak ada 21 pemberitaan tentang mahasiswa yang bunuh diri. Jumlah itu menempati posisi ketiga setelah polisi dengan 32 pemberitaan dan siswa dengan 30 pemberitaan.
Pemberitaan bunuh diri yang keliru bisa menimbulkan apa yang disebut "Efek Werther," yakni gelombang bunuh diri akibat pemberitaan yang dibaca oleh publik.
Efek Werther diambil dari fenomena bunuh diri setelah membaca buku karya Johann Wolfgang Goethe berjudul Die Leiden des Jungen Werthers. Buku ini diterbitkan pada 1774 dan kemudian menginspirasi ribuan pemuda di Eropa untuk bunuh diri seperti yang dilakukan tokoh Werther dalam buku.
Muhammad Irham, aktivis Aliansi Jurnalis Independen yang menjadi anggota tim pembuatan draf Panduan Pemberitaan Bunuh Diri bersama Dewan Pers, mengatakan efek pemberitaan yang salah dapat berimbas buruk bagi pembaca.
“Bagi mereka yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, bisa menimbulkan hasrat bunuh diri lagi, kemudian untuk keluarga korban, apalagi pemberitaan media online yang akan tetap terus ada, itu bisa menimbulkan trauma lagi,” kata Irham.
Di Indonesia, menurut Irham, pemberitaan bunuh masih serampangan. Salah satu penyebabnya belum ada standar baku bagaimana seharusnya berita tentang bunuh diri itu dibuat.
“Itu sebabnya kami sekarang membuat draf itu. Itu nanti akan dibawa ke Dewan Pers untuk dikaji lagi,” ujarnya.
Pemberitaan yang Benar
Panduan WHO pada 2008 menjelaskan setidaknya ada 11 poin yang harus diperhatikan jurnalis dalam membuat berita tentang bunuh diri.
Pertama, pemberitaan harus memberikan edukasi tentang bunuh diri. Salah satunya dengan pemahaman bahwa faktor bunuh diri tidak pernah tunggal.
Kedua, harus menghindari penggunaan bahasa yang sensasional. Dalam beberapa kasus, masih didapati ada pemberitaan yang menyebut “sukses bunuh diri” yang mengesankan bunuh diri adalah sebuah kesuksesan.
Ketiga, menghindari pengulang terus-menerus kasus bunuh diri. Dalam media online, biasanya satu kasus bunuh bisa ditulis berkali-kali dengan berbagai sudut pandang.
Keempat, menghindari penyampaian informasi detail lokasi bunuh diri dan metode bunuh diri.
Panduan keempat adalah yang kerap jadi masalah di Indonesia: 20 berita dari riset Tirto, ada salah satu berita yang memuat nama obat yang digunakan untuk memudahkan bunuh diri.
Kelima, menghindari pemberitaan informasi tentang situs yang pro bunuh diri. Keenam, tidak menempatkan berita bunuh diri sebagai headline. Panduan kelima juga masih jadi masalah: dalam beberapa kasus, berita bunuh diri justru menjadi trending.
Ketujuh, harus berhati-hati dalam menggunakan foto atau rekaman video. Foto dan rekaman orang bunuh diri bisa membuat keluarga menjadi trauma. Panduan ini sudah sejalan dengan kode etik pemberitaan yang sudah diatur oleh Dewan Pers.
Masalah rekaman video bunuh diri sempat heboh pada April 2017. Seorang mahasiswa Perbanas bunuh diri dengan melompat dari lantai 7. Video bunuh diri itu sempat diunggah oleh salah satu portal media.
Kedelapan, harus berhati-hati dalam membuat berita bunuh diri selebritas. Efek pemberitaan tokoh publik bunuh diri bisa punya sisi berbahaya, karena sangat mungkin dicontoh oleh para penggemarnya. Apalagi bila sampai terjadi glorifikasi.
Kesembilan, berikan pertimbangan bahwa orang akan berduka cita karena bunuh diri. Kesepuluh, berikan informasi tentang di mana orang bisa mencari bantuan konseling bagi orang yang punya tendensi bunuh diri atau depresi.
Dan, terakhir, pahami bahwa pemberitaan bunuh diri di media bisa berpengaruh pada media itu sendiri.
____
Redaksi Tirto bukannya tanpa cela dalam memberitakan kejadian bunuh diri. Kami tak sepenuhnya beres menaati 11 panduan pemberitaan dari WHO. Artikel ini adalah bagian dari koreksi diri. Mawa Kresna, penulis artikel ini, adalah anggota AJI, organisasi wartawan yang tengah merancang panduan pemberitaan bunuh diri bersama Dewan Pers.
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam