Menuju konten utama

Cengkeraman Kuat Singapura di Indonesia

Meski miskin sumber daya alam, Singapura melalui tangan Lee Kuan Yew berhasil membangun negaranya dengan keunggulan sumber daya manusia dan inovasi. Hal ini membuat Singapura berhasil sebagai pusat atau hub barang, jasa, dan modal di Asia Tenggara. Singapura pun mencengkeramkan modal ke negara-negara tetangga, tak terkecuali Indonesia. Inikah yang membuat Singapura “berkuasa” terhadap Indonesia?

Cengkeraman Kuat Singapura di Indonesia
Singapura [Foto/Shuuterstock]

tirto.id - Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pernah berceloteh soal perilaku negara tetangganya, Singapura. Negeri mungil ini dianggap sangat pragmatis dan tak peduli dengan pendapat tetangganya.

“Singapura percaya sesuatu yang paling penting adalah apa yang bisa menguntungkan mereka,” sindir Mahathir.

Media New York Times sempat menulis bagaimana hubungan Singapura dengan para tetangganya seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Singapura dan Thailand sempat tegang soal pembelian perusahaan telekomunikasi milik mantan PM Thaksin hingga pembelian bank-bank Thailand oleh Singapura saat krisis 1997. Dengan Indonesia, Singapura banyak menuai ketegangan mulai dari pasir reklamasi hingga yang terakhir soal “melawan” tax amnesty. Negara dengan bendera berlambang bulan dan lima bintang ini kerap kali keras bersikap.

Indonesia mencoba beberapa kali menekan Singapura terkait perjanjian ekstradisi para koruptor yang bersembunyi di Negeri Singa tersebut. Penghentian ekspor pasir laut, penghentian perjanjian soal Military Training in Areas (MTA), sempat akan dibarter dengan Singapura asal mereka melunak. Namun, jangan harap terjadi. Masalah uang dan modal adalah jantungnya Singapura. Saat Menteri Luar Negeri Singapura masih dipegang oleh George Yeo, sikap Singapura jelas sangat tegas.

“Dari waktu ke waktu, beberapa negara menekan Singapura dengan harapan kita akan memenuhi permintaan mereka. Singapura tahu itu, jika kita memberikannya, sama saja kita akan mengundang tekanan berikutnya,” kata Yeo dikutip dari nytimes.com.

Publik juga masih ingat soal sikap berani Singapura yang mencampuri pemberian nama kapal perang TNI AL, Usman Harun beberapa waktu lalu. Kebakaran hutan dan asap juga sempat memunculkan arogansi si tetangga. Mereka membuat Undang-undang Polusi Asap Lintas Batas (UU PALB) yang disahkan Parlemen Singapura atau Singapore Transboundary Haze Pollution Act No 24/2014 (STHPA). UU ini jadi payung hukum untuk menggugat perusahaan pembakar hutan yang di Indonesia, seolah mengangkangi kedaulatan hukum tuan rumah.

Semua persoalan itu menjadi duri dalam hubungan bertetangga, dan Indonesia tak bisa berbuat banyak. Ini sama halnya dalam kasus zona Flight Information Region (FIR) di kawasan Natuna dan sekitarnya yang sejak 1946 diserahkan kepada Singapura sesuai mandat ICAO. Selama berpuluh tahun, pengendalian lalu lintas udara atau ATC di bagian wilayah Indonesia ini ada di ujung jari Singapura. Lucunya, hingga 71 tahun Indonesia merdeka, masalah FIR ini belum ada titik jelas kapan waktu untuk “merebutnya”.

Fakta-fakta tadi menunjukkan bahwa Singapura sebagai negara mungil punya posisi tawar yang kuat dalam menghadapi Indonesia. Perilaku demikian seolah menggambarkan seorang yang sedang memegang kartu truf lawannya.

Kartu Truf Bernama Modal

Apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang Indonesia saat ini adalah Singapura jadi tempat parkir uang para orang kaya Indonesia. Instrumen kebijakan tax amnesty diharapkan bisa menarik kembali uang-uang orang kaya balik ke Indonesia. Singapura dikabarkan mencoba menghadang kebijakan yang mengancam kepentingan mereka. Hal itu membuat sejumlah pihak di Indonesia "panas".

Upaya menarik uang orang-orang kaya Indonesia dari Singapura sama saja menyuruh Singapura “angkat tangan”. Jawabannya sudah pasti tak mungkin, tak mungkin, dan tak mungkin. Di sisi lain, suka tidak suka, cengkeraman Singapura terhadap sendi-sendi ekonomi Indonesia kian nyata. Singapura sudah sejak lama menempatkan diri sebagai negara penanam modal asing terbanyak di Indonesia.

Tengok saja data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) soal realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) 2015. Dari total Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar 29,2 miliar dolar AS, uang yang bersumber dari investor Singapura mencapai 5,8 miliar dolar AS atau hampir 20 persen. Investor Singapura mengalahkan Jepang yang hasil karya nyatanya dengan banyaknya motor dan mobil di jalan raya, yang hanya menyumbang 2,8 miliar dolar AS.

Korea Selatan yang beberapa tahun terakhir sedang mesra dengan Indonesia hanya menanamkan modal 1,2 miliar dolar AS. Cina saja yang katanya sangat dekat Indonesia saja hanya menaruh uangnya 628 juta dolar AS. Jumlah ini hanya kurang dari sepersepuluh investasi yang digelontorkan dari Singapura. Meski tak menutup kemungkinan, investasi itu adalah uang-uang orang Indonesia yang diparkir di Singapura.

Setelah modal, mau tidak mau, Indonesia juga masih bergantung utang dari Singapura. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan sumber utang luar negeri pemerintah, swasta, dan bank sentral dari Singapura mengambil porsi hingga 20 persen dari total utang luar negeri Indonesia. Pada 2014, total utang dari Singapura mencapai 60,45 miliar dolar AS atau 20,61 persen dari total utang luar negeri. Hingga Maret tahun ini diperkirakan mengalami penurunan menjadi 54,93 miliar dolar AS, tapi tetap saja porsi utang dari Singapura masih besar hingga 17,38 persen.

Dalam cengkeraman sektor perbankan, Singapura juga punya pengaruh besar di Indonesia. BI mencatat Singapura memiliki saham mayoritas di bank-bank di Indonesia yaitu Danamon, DBS, OCBC NISP, dan UOB Buana. Total kantor cabang bank yang dikuasai Singapura sekitar 2.400 kantor dengan mesin transaksi elektronik sekitar 4.800 buah. Hingga Agustus tahun lalu ada 32.000 kantor bank di Indonesia, artinya 7,5 persen kantor bank di Indonesia di bawah perbankan Singapura. Ini belum termasuk kepemilikan kunci di sejumlah perusahaan telekomunikasi utama Indonesia seperti Telkomsel.

Kartu-kartu truf ini tentunya bisa menjadi posisi tawar bagi Singapura, termasuk saat bersitegang dengan Indonesia. Selain kartu truf bagi Indonesia, mereka juga punya perisai yang kokoh dalam menentukan arah sikap mereka. Negeri mungil ini termasuk negara yang paling getol dalam belanja pertahanan. Sebagai negara persemakmuran dan mengambil posisi berkiblat pada barat, Singapura termasuk yang dijaga oleh “Sang Paman Sam”.

Perisai Militer

Ibarat bocah kecil nan cerdik, Singapura harus panjang akal dan perlindungan yang berlapis. Negara yang miskin sumber daya alam cenderung berupaya menyedot kekayaan negara lain. Contoh yang paling nyata soal pasir laut untuk reklamasi. Upaya ini kerap bersinggungan dengan isu sensitif dari masyarakat maupun pemerintah yang bersangkutan termasuk Indonesia. Mereka pun harus siap-siap dengan kemungkinan terburuk, atau setidaknya sebagai alat gertak dengan kekuatan militer.

Singapura termasuk negara kecil yang punya anggaran militer melampaui negara-negara besar di dunia seperti Indonesia. Sebagai pembanding saja, pada 2013 anggaran militer Singapura yang hanya berpenduduk lebih dari 5 juta jiwa telah mencapai 12 miliar dolar AS, atau naik dari 2008 yang hanya 8,6 miliar dolar AS. Bandingkan dengan Indonesia, jumlah penduduk 250 juta jiwa anggaran militernya 7,9 miliar dolar AS pada 2013.

Data Bank Dunia, mencatat selama 2011-2015 belanja anggaran militer Singapura telah menguras 3,1 persen dari GDP mereka, sedangkan Indonesia dalam kurun waktu yang sama hanya 0,8 persen. Selain itu, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat selama 2007-2011 Singapura termasuk dalam lima besar negara importir senjata. Dengan dana yang kenceng, Singapura salah satu kekuatan militer di kawasan. Berdasarkan situs Global Firepower, Singapura menempati peringkat ke-64 dari 126 negara dalam hal kekuatan militer.

Bagi Singapura banyak membelanjakan uang untuk pertahanan saja tak cukup. Mereka butuh teman yang setia menjaga mereka kapan pun. Dari beberapa pangkalan militer AS di Asia Pasifik, salah satu lokasinya ada di Singapura. Mereka menyebutnya Komando Pusat Logistik Pasifik Barat dan Pusat Angkatan Laut Regional Singapura, terletak di Pelabuhan Singapura di Sembawang. Sembawang dijadikan gudang logistik bagi kapal-kapal Armada ke-7 Angkatan Laut AS yang beroperasi di sekitar Asia Pasifik. Keberadaan Sembawang sangat mendukung logistik bagi kapal-kapal AS yang berada di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

“Amerika Serikat, saya katakan adalah mitra pertahanan terdekat kita, dan saya tak melihat ada negara lain yang menggantikan AS sebagai mitra Singapura,” kata Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen dikutip dari ibtimes.com

Sebagai teman AS, Singapura juga belanja berbagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) kepada sekutunya. Akhir tahun lalu Singapura menandatangani kontrak senilai 435 juta dolar dengan AS. Secara total, 43 persen kontrak belanja senjata Singapura berasal dari AS.

Direktur Eksekutif The International Institute for Strategic Studies-Asia Tim Huxley pernah mengatakan strategi kekuatan militer telah menjadi cara bagi Singapura untuk menjaga kenyamanan warganya termasuk investor asing dan pebisnis di Singapura selama 45 tahun terakhir. Kekuatan militer terbukti sebagai alat untuk menjaga kepentingan ekonomi dan diplomasi mereka. Inikah yang juga membuat Indonesia segan dengan tetangga yang satu ini?

Belajar dari Singapura, untuk urusan kepentingan negara tak ada yang perlu ditakutkan. Asalkan kepentingan itu tak hanya demi kecemburuan semata terhadap negara tetangga seperti Singapura.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Politik
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti