tirto.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mempertimbangkan ajukan kasasi atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Internux. Produsen modem Bolt! ini merupakan anak usaha PT First Media Tbk, yang tergabung dalam Lippo Group.
Proses PKPU yang berujung pada perjanjian damai (homologasi) itu dinilai akan membuat pemerintah rugi dua kali. Pertama, karena Biaya Hak Pakai (BHP) frekuensi radio yang ditagihkan pemerintah bakal dicicil. Kedua, putusan itu berpotensi mengukuhkan Internux sebagai pemegang Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio (IPSFR) hingga jangka waktu 30 tahun.
“Kami sedang mengatur waktu. Kami sedang memikirkan untuk menghindari kerugian negara akibat putusan tersebut,” kata Direktur Operasi Sumber Daya Direktorat Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkominfo, Dwi Handoko, kepada reporter Tirto, Rabu (14/11/2018).
Kepala Sub Bagian Bantuan Hukum Ditjen SDPPI Kemenkominfo, Fauzan Priyadhani mengatakan, putusan PKPU Internux jelas memberatkan lantaran bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Soalnya, IPSFR yang jadi dasar tagihan BHP, hanya berlaku 10 tahun. Sedangkan izin sudah diberikan sejak 2009 kepada Internux dan akan berakhir pada 2019.
Sementara dalam Pasal 17 (1) Undang-undang Nomor 33 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2000, penetapan IPSFR harus dilelang ulang dan setiap perusahaan bisa memperpanjang IPSFR sebanyak satu kali.
Singkatnya: dalam ketentuan yang berlaku, batas waktu maksimal IPSFR Internux hanya 20 tahun--hingga 2029 jika terhitung sejak 2009. Jika batas homologasi tersebut disepakati, maka Kemenkominfo sama saja memberikan IPSFR selama 30 tahun pasca perjanjian damai dijalankan.
Sebab dalam salah satu ketentuan dalam proposal itu, tertulis semua perjanjian, kesepakatan yang ada sebelum homologasi dapat ditiadakan. Termasuk, kata Fauzan, IPSFR yang diberikan Kemenkominfo.
Menimbang sejumlah hal itu, Fauzan menyampaikan Kemenkominfo kemungkinan besar bakal mengambil langkah hukum setelah mempelajari semua berkas putusan PKPU. Apalagi, dalam sidang yang digelar Rabu kemarin (14/11), ia menemukan kejanggalan berupa poin tambahan yang tak sesuai dengan rencana perjanjian homologasi yang diajukan Internux.
Hal tersebut diketahui saat dirinya menyampaikan keberatan kepada majelis hakim atas poin perjanjian homologasi yang berpotensi bertentangan dengan undang-undang. Poin tambahan itu, kata Fauzan, kurang lebih berbunyi, "jika ada klausul yang bertentangan dengan undang-undang, maka klausul tersebut tidak dapat dilaksanakan dan para pihak akan menegosiasikan klausul baru."
Fauzan mengatakan, hal ini sebenarnya cukup bisa dimengerti. Sayangnya, kata dia, ada lagi tambahan di poin selanjutnya yang menyatakan klausul yang dinegosiasikan tersebut tidak boleh terlalu jauh dengan rencana perdamaian.
“Sebenarnya sama saja, kan, artinya tidak ada yang baru. Sehingga kembali berpotensi melanggar regulasi telekomunikasi,” kata Fauzan.
“Kami khawatir, jangan-jangan ada klausul-klausul lain di luar itu,” kata dia menambahkan.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai putusan sidang dalam perkara PKPU Internux bisa dinegasikan Kemkominfo. Alasannya, kata Heru, status pemerintah dalam hal ini berbeda dengan dua ratus lebih kreditur yang tergabung dalam PKPU Internux.
“Pemerintahan, kan, bukan lembaga pemberi hutang. Itu, kan, kewajiban yang memang harus dibayarkan. Homologasi seharusnya enggak berlaku karena hubungan Internux dengan pemerintah ini enggak setara. Kalau dengan yang lain, kan, dia setara. Ini enggak setara karena kewajiban,” kata Heru kepada reporter Tirto, Kamis (15/11/2018).
Menurut Heru, hal ini bisa dilimpahkan ke Kementerian Keuangan jika pemerintah merasa kesulitan dalam penagihan. Sebab, tagihan dari BHP tersebut merupakan kekayaan negara yang berasal dari peneriman negara bukan pajak (PNBP).
“Jadi kalau enggak bayar tepat waktu berpotensi merugikan negara. Di Kemenkeu, kan, ada direktorat jenderal kebendaharaan dan kekayaan negara. Nah, itu sebenarnya masuk ke sana dan mereka bisa tagih. Itu, kan, enggak bisa ditagih 10 tahun,” kata dia.
Heru menilai, pemerintah harus tegas BHP yang jadi kewajiban perusahaan telekomunikasi tidak bisa dilakukan dengan cara mencicil, seperti yang tercantum dalam perjanjian homologasi Internux.
Jika demikian, kata dia, artinya ada kekhususan yang diberikan dan hal tersebut dapat digolongkan ke dalam maladministrasi. “Mau enggak mau dicabut aja izinnya. Harus begitu. Masa nilai sekarang katakanlah Rp1 miliar 10 tahun ke depan, kan, beda nilainya,” kata dia.
Duduk Perkara
Sebelum menempuh jalur PKPU, Ditjen SDPPI sudah mengeluarkan surat peringatan agar produsen modem BOLT! tersebut supaya membayarkan tunggakan BHP Internux tahun 2016-2017 yang sudah jatuh tempo sebesar Rp343,58 miliar.
Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 55 (4) Peraturan Kemenkominfo Nomor 5/2017. Surat tersebut bernomor 2883/SP1/KOMINFO/DJSDPPI.3/SP.02.04/10/2018 yang dikirimkan kepada direksi Internux pada 26 Oktober 2018.
Belakangan, surat itu digugat Internux ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor perkara 266/G/2018/PTUN.JKT. Alasan Internux, pembayaran BHP tersebut masih bergulir di PKPU dan baru bisa ditagihkan kembali setelah PN Jakpus mengeluarkan putusan berkekuatan hukum tetap.
Menteri Kominfo Rudiantara sempat bereaksi keras terkait gugatan Internux yang dilayangkan ke PTUN tersebut. Namun, ia mengatakan Kemenkominfo tetap bakal mencabut IPSFR perusahaan itu bila pembayaran BHP tidak dilakukan pada tanggal jatuh tempo tahun ketiga, yaitu 17 November 2018.
“Ini menggunakan frekuensi 2,3 GHz, bukan berkaitan dengan izin operasi, tapi izin frekuensi, kalau tidak ada settlement sampai 17 November, bisa dicabut izin penggunaan frekuensi,” kata Rudiantara saat ditemui di kantor XL Axiata, Rabu (14/11/2018).
Terkait hal ini, Presiden Direktur Internux, Dicky Meochtar bersama kuasa hukumnya, Sarmauli Simangunsong dari Kantor Hukum Nindyo & Associates, enggan memberikan tanggapan. Saat dicecar berbagai pertanyaan usai sidang putusan PKPU, keduanya bungkam dan mempercepat langkahnya meninggalkan para wartawan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz