Menuju konten utama

Cekoslowakia 1989: Revolusi Beludru Gulingkan Rezim Komunis

Pemberangusan kebebasan sipil, krisis ekonomi, dan kuasa partai tunggal mendorong revolusi.

Cekoslowakia 1989: Revolusi Beludru Gulingkan Rezim Komunis
Massa berkumpul dalam demonstrasi di Praha, 25 November 1989. FOTO/Wikimedia Commons

tirto.id - Menjelang akhir 1989, Cekoslowakia panas dingin. Salju mulai turun, tetapi suhu politik memuncak. Orang-orang berhamburan di jalanan, meninggalkan rutinitas sehari-hari dan menyuarakan kegelisahan serta ketidakpuasan terhadap sebuah rezim. Tak ada waktu memikirkan Natal atau mempersiapkan tahun baru. Revolusi ada di udara.

Kelak, Revolusi Beludru (Velvet Revolution) yang digelorakan rakyat Cekoslowakia ini dicatat dengan tinta emas; ia menandakan bagaimana kekuatan rakyat menggulingkan rezim tiran dengan cara elegan.

Revolusi Beludru yang terjadi sejak 17 November hingga 29 Desember 1989, didorong oleh ketidakpuasan terhadap partai tunggal yang berkuasa waktu itu, Partai Komunis Cekoslowakia. Bagi rakyat Ceko, PKC tak mampu mengakomodir kepentingan orang banyak, korup, dan tiran. Selama minggu-minggu itu, pergantian rezim jadi harga mati.

Partai Komunis Cekoslowakia (PKC) memang sudah terlalu lama berkuasa, tepatnya sejak 25 Februari 1948. Kemenangan Uni Soviet dalam Perang Dunia II dan jatuhnya Front Timur ke tangan negeri beruang tersebut, memuluskan jalan PKC ke kekuasaan. Sepanjang pemerintahan PKC, oposisi tak berkutik. Represi negara sangat keras. Yang tak sepakat siap-siap dicap “musuh negara”.

Kehidupan Cekoslowakia jauh dari demokratis. Keterbukaan yang minim, ketakutan di mana-mana, hak menyampaikan pendapat dibungkam. Otoritas negara berkuasa penuh atas segala hal. Pendidikan, informasi, ekonomi, militer, sampai keamanan.

Namun, sejak pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev menggulirkan Glasnost (“keterbukaan”) dan Perestroika (“pembenahan”) pada 1985, pemerintahan jadi lebih luwes. Dalam We the People: The Revolution of ’89, Witnessed in Warsaw, Budapest, Berlin and Prague (1990) Timothy Garton Ash menjelaskan bahwa kendati PKC mendukung kebijakan tersebut, pembenahan sedikit sekali terjadi. Pembicaraan tentang Pemberontakan Praha 1968—yang memunculkan wacana “Sosialisme berwajah manusiawi” dan memancing invasi Rusia—masih dianggap tabu. Aparat juga menangkapi para demonstran yang dipimpin tokoh oposisi Václav Havel.

Bebalnya pemerintah memancing keberanian rakyat. Michael Andrew Kukral lewat bukunya Prague 1989: Theater of Revolution (1997) menyatakan bahwa pemerintah memilih tutup mata dan telinga. Akhir tahun 1980an, ekonomi melemah dan konsumsi yang turun drastis memicu rakyat turun ke jalan, menuntut reformasi dan mempertanyakan sistem secara terbuka.

Puncaknya, pada tahun 1989, masyarakat Cekoslowakia menyerukan penghapusan sensor, menuntut pembebasan Václav Havel, serta reformasi total.

Dorongan untuk mempercepat revolusi juga datang dari negara-negara tetangga. Pada Agustus 1989, warga Jerman Timur yang tinggal di Cekoslowakia menduduki Kedutaan Jerman Barat di Praha dan menuntut penyatuan dengan Jerman Barat. Pada 3 November tercatat ribuan warga Jerman Timur meninggalkan Praha guna menuju Jerman Barat dengan menggunakan kereta api. Tak lama setelahnya, pada 9 November dinding pemisah Jerman Barat dan Timur dirubuhkan.

Dengan dukungan rakyat yang membuncah, pimpinan gerakan Václav Havel meminta masyarakat mengkonsolidasikan kepala dan kaki untuk mendesak pemerintah melakukan restrukturisasi politik. Sederet upaya dilakukan secara terus-menerus pada rentang November sampai Desember. Mahasiswa menjadi aktor penting selain orang-orang biasa yang mengawal tiap perkembangan tanpa lelah. Negosiasi, pembicaraan intens, menghitung korban yang berjatuhan jadi kegiatan sehari-hari.

Usaha para demonstran menemui hasil yang membahagiakan. Pakta Warsawa—kesepakatan pertahanan antar negeri-negeri Blok Timur—akhirnya runtuh. Partai Komunis Cekoslowakia terpaksa mengakomodir sejumlah tuntutan demonstran. Pada 28 November, mereka sepakat menanggalkan kekuasaan dan menghapus sistem partai tunggal. Dua hari berselang, pemerintah secara resmi menghapus pasal-pasal konstitusi yang memberikan Partai Komunis kekuasaan tak terbatas.

Pada 10 Desember, Presiden Gustáv Husák mengundurkan diri dari jabatan dan menunjuk pemerintah non-komunis untuk kali pertama sejak 1948. Untuk menjalankan pemerintahan sementara, Alexander Dubček—bekas sekjen PKC dan tokoh dalam pemberontakan 1968—terpilih sebagai anggota parlemen federal pada 28 Desember. Sehari kemudian, Václav Havel mengisi posisi Presiden Cekoslowakia pada tanggal 29 Desember 1989.

Pada Juni 1990, Cekoslowakia menyelenggarakan pemilihan umum pertamanya sejak 1948.

Infografik revolusi beludru

Bubarnya Cekoslowakia

Keberhasilan revolusi mengantarkan pimpinan gerakan sekaligus pegiat hak asasi manusia, Václav Havel sebagai presiden pada Desember 1989. Setahun kemudian, pemilihan umum diadakan yang melegitimasi pemerintahan Havel serta menetapkan acuan, arah, maupun misi untuk menangani sisa-sisa permasalahan peninggalan rezim terdahulu.

Menurut Jeffrey Symynkywics dalam Václav Havel and the Velvet Revolution (1995), ancaman utama pemerintahan Havel dalam membangun Cekoslowakia ialah stabilitas politik dan potensi gesekan antara dua entitas Ceko atau Slowakia. Usai rezim komunis dirubuhkan, konflik yang dulu terpendam mulai muncul kembali. Di luar itu, urusan ekonomi pun jadi prioritas.

Pada awal 1990, Havel dibantu penasihat ekonominya memutuskan membuka pasar seluas-luasnya, menolak monopoli, serta memprivatisasi ekonomi. Ketiga aspek tersebut tak lepas dari konsensus umum menuju ekonomi berbasis pasar yang telah disepakati.

Namun, di tengah euforia kebebasan pasca-komunis, pemerintahan Havel harus menghadapi kenyataan: Cekoslowakia cerai pada 1 Januari 1993. Apabila penggulingan komunis disebut Revolusi Beludru, maka perpisahan antara Ceko dan Slowakia sering dinamai Perpisahan Beludru. Beruntung, keputusan ini diambil secara damai.

Meski sudah ketok palu, banyak orang dari kedua negara meyakini perpisahan tersebut bukan langkah bijak. Walaupun tak bisa mengelak, masyarakat pantas menepuk dada: talak tiga dengan damai adalah sebuah prestasi politik yang sangat menonjol di Eropa pasca-jatuhnya komunis.

Perpisahan itu merupakan konsekuensi dari revolusi tahun 1989. Merujuk Lars-Erik Nelson dalam “New Czechoslovakian Leaders Are As Stunned As Their People,” kala itu harga demokrasi sangat mahal, media dibatasi peredarannya, dan kebebasan ditekan. Namun setelah revolusi bergulir, harapan-harapan untuk hidup dalam iklim demokratis di bidang politik sampai ekonomi pun muncul. Ceko dan Slowakia ingin menikmatinya secara terpisah.

Dua puluh lima tahun sejak gejolak “beludru” pecah. Survey yang dirlis Public Opinion Research Center melaporkan bahwa satu dari enam orang Ceko ingin kembali ke naungan komunisme. Dilansir dari BBC, Opini warga Ceko terbelah soal apakah kepemimpinan politik saat ini membawa kemajuan.

Penelitian lain yang dilakukan Medea menunjukan bahwa meskipun 84% penduduk Ceko menyadari makna perayaan 17 November untuk mengingat Revolusi Beludru, ternyata hanya 30% warga di bawah usia 30 tahun yang memahami peristiwa itu. Jajak pendapat tersebut juga menunjukan bahwa tiga dari lima orang berpikir kualitas hidup mereka lebih baik daripada sebelum tahun 1989.

Terlepas dari hasil jajak pendapat, sebagian besar pihak yang terlibat dalam revolusi 1989 masih dibuai nostalgia. Mereka juga beranggapan bahwa para generasi muda mulai mengerti betapa pentingnya makna revolusi untuk kehidupan yang lebih baik.

Kepada mingguan Echo24, mantan Presiden Ceko Vaclac Klaus menyatakan, “Melihat perkembangan 25 tahun terakhir secara keseluruhan, saya pikir perubahan kita berhasil. Dengan jatuhnya komunisme, kita mengejar kebebasan. Dan November 1989 telah memberikan kebebasan ini.”

Dalam sebuah wawancara, Fedor Gal, seorang politisi dan sosiolog Slowakia yang tinggal di Praha sejak 1991 dan juga salah satu tokoh revolusi 1989 menyatakan, “Kami terus mengeluh dan mengeluh, meskipun hidup telah berjalan baik!”

Baca juga artikel terkait UNI SOVIET atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf