tirto.id - Sudirman Said 'bernyanyi' di Institut Harkat Negeri, Jakarta, Rabu (20/2/2019) kemarin. Menurutnya, ada pertemuan yang--seperti yang dinyatakan dalam siaran pers resmi--"seolah-olah tidak pernah ada" antara Jokowi dan James R. Moffett, bos Freeport McMoran Inc, induk PT Freeport Indonesia.
Pertemuan ini kelak menghasilkan "surat 7 Oktober 2015" yang jadi cikal bakal perpanjangan izin PT Freeport Indonesia, dari yang habis pada 2021 jadi 2041.
Pernyataan ini sebetulnya hanya pengulangan dari apa yang ia nyatakan tahun 2015 lalu. Bedanya, meminjam istilah dalam ilmu jurnalistik, "frame" yang ia berikan pada fakta yang sama berbeda 180 derajat.
Pada 6 Oktober 2015 pukul delapan pagi, Sudirman ditelepon ajudan Presiden untuk datang ke Istana. Setengah jam kemudian dia telah sampai, duduk lima sampai 10 menit, lalu masuk ke ruang kerja Presiden.
"Sebelum masuk ke ruangan kerja saya dibisikin oleh asisten pribadi (Presiden), 'Pak Menteri, pertemuan ini tidak ada.'" tambahnya. Sudirman juga bilang Sekretaris Kabinet dan Sekretaris Negara tidak tahu.
Sudirman masuk ke ruang rapat. Di dalam ternyata sudah ada Jokowi dan James R. Moffett.
Di sana Jokowi kemudian memerintahkan Sudirman untuk membuat surat yang isinya kira-kira demi "menjaga keberlangsungan investasi Freeport." Setelah itu Sudirman dan Moffett keluar. Moffett kemudian menyodorkan draf kesepakatan yang dia buat sendiri. Draf itu, kata Sudirman, tak menguntungkan Indonesia. Sudirman pun berjanji membuat draf versinya sendiri.
Tapi draf dari Moffett tetap diserahkan ke Jokowi. Dan Jokowi, menurut versi Sudirman, langsung menyetujuinya.
"Bapak dan ibu tahu komentarnya Pak Presiden apa? Dia mengatakan 'lho kok begini saja sudah mau? Kalau mau lebih kuat lagi sebetulnya diberi saja.'" Maksud "lebih kuat" adalah untung yang didapat Freeport.
Sudirman kemudian menyimpulkan pertemuan Jokowi dan Moffett "bukan pertemuan normal."
Klaim Sudirman soal pertemuan rahasia dibantah langsung oleh Jokowi, tapi dengan jawaban guyonan.
"Kalau pertemuan pasti ngomong, enggak diam-diaman. Ada ada saja. Ya biasalah," kata Jokowi di Jakarta Utara, Rabu (20/2/2019).
Sikap 2015
Apa yang dikatakan Sudirman soal pertemuan rahasia antara Jokowi dan bos Freeport sebetulnya telah ia bahas ketika masih jadi menteri. Dalam wawancara dengan majalah TAMBANG edisi November 2015, dia mengatakan pertemuan diam-diam itu dalam rangka "mengurangi kegaduhan."
"Mengapa ketika Anda ketemu Presiden, di situ sudah ada Moffett? Kesannya ada yang dirahasiakan."
Sudirman menjawab: "Presiden menjalankan tugas negara, dan itu bukan merupakan operasi rahasia. Itulah cara beliau mengurangi kegaduhan. Akan salah kalau Presiden dan Moffett membuat kesepakatan sendiri, baru kemudian mengundang saya. Presiden ketika bertemu Moffett selalu mengajak menteri teknisnya. Saya sebagai menteri teknis berkewajiban menindaklanjuti."
"Jim Moffett seperti luar biasa, karena diundang khusus oleh Presiden?"
"Itu pertemuan biasa. Presiden sering bertemu dengan chairman, atau pengusaha energi."
Kepada reporter Tirto, Kamis (21/2/2019) siang, Sudirman mengatakan kalau "tidak ada yang berbeda" dari pernyataannya tahun 2015 dan 2019.
"Yang saya jelaskan kemarin adalah kronologi penerbitan surat Menteri ESDM tanggal 7 oktober 2015. Kronologis itu perlu saya jelaskan untuk merespons bukunya Pak Simon Sembiring (Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan).
Oleh Pak Simon surat itu dianggap ditulis melampaui kewenangan menteri dan memperlemah posisi pemerintah di mata Freeport. Maka saya jelaskan detail tahapan pertemuan dan diskusinya, agar tidak ada salah tafsir," katanya.
Dan memang begitulah kenyataannya. Keduanya sama-sama bicara pertemuan Jokowi dan bos Freeport di Istana secara tertutup. Tak ada yang beda dari pernyataannya tahun 2015 dan 2019, kecuali, bagaimana ia membingkai fakta yang sama dengan sudut pandang berbeda.
Demikian menurut pengajar komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo.
"Informasinya bersifat menegasi pernyataan sebelumnya. Kira-kira begitu, mem-framing sesuai dengan kepentingan mereka," kata Suko kepada reporter Tirto.
Pernyataan tahun 2015 bernada positif, diwakili dengan kalimat "itulah cara beliau mengurangi kegaduhan." Sementara pernyataan 2019 memiliki sentimen negatif, diwakili kalimat yang mengatakan pertemuan itu "bukan pertemuan normal."
Dan hal ini, kata Suko, adalah karena posisi Sudirman kini sudah ada di luar pemerintahan. Tahun 2015, dia masih jadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral era Joko Widodo, sementara saat ini dia menjabat Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.
"Bila dalam kubu yang sama, punya kepentingan yang sama, maka saling melindungi. Tapi ketika saling berseberangan maka terjadilah konflik-konflik semacam itu, ya," kata Suko.
"Adagium dalam politik bahwa tidak ada permusuhan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi," pungkasnya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih