tirto.id - Menghentak dan ingin menunjukkan sikap politis langsung di awal kesempatan. Begitulah kira-kira gambaran cara kedua pasangan calon (paslon) memulai pemaparan visi dan misi dalam debat putaran kedua Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) 2018. Ganjar Pranowo-Taj Yasin berhadapan dengan Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Meski sama-sama menyoal jalannya pemerintahan provinsi Jateng selama lima tahun terakhir, pesan kalimat pertama yang muncul dari kedua kandidat saling bertolak belakang.
Ganjar Pranowo, petahana gubernur Jateng, memuji kinerja pemerintahannya. Menurut alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut, pemerintahan di Jateng berjalan pada jalur yang benar.
Kata Ganjar, "Empat tahun perjalanan pemerintahan di Jawa Tengah, nampak-nampaknya, kita coba ukur dari berbagai sisi sudah dalam trek yang benar."
Sedangkan Sudirman Said mengatakan tanpa tedeng aling-aling bahwa Jateng mengalami kemunduran saat Ganjar menjabat gubernur.
"PAD kita naik hanya 58 persen. Itu jauh di bawah era pak Bibit (gubernur Jateng sebelumnya) yang bisa (mencapai) 122 persen. Kemiskinan tinggi, 12,23 persen. Itu artinya gagal menurunkan sesuai yang dijanjikan," ujar Sudirman.
Data Maning, Data Maning, Son
Selama debat berlangsung, Ganjar-Yasin memang lebih banyak memaparkan data capaian dan program yang telah berhasil dilaksanakan selama Ganjar menjabat gubernur Jateng.
Misalnya, pada sesi keempat, Ganjar menyatakan bahwa salah satu peraturan gubernur (pergub) yang diterbitkannya membuat upah buruh di Jateng tidak menjadi yang terendah di Indonesia. Ganjar juga mengklaim bahwa negosiasinya dengan pemerintah pusat berhasil membuat larangan nelayan menggunakan cantrang urung diterapkan di Jateng.
"Cantrang yang meminta pertama kali provinsi agar ditunda adalah Jawa Tengah. Dan kemudian, kami sampaikan kepada Bu Menteri, kami diskusikan dengan pak Presiden bahwa tidak mungkin (cantrang dilarang) jika belum ada penggantinya," kata Ganjar.
Namun demikian, Ganjar dan Yasin yang senantiasa menunjukkan menguasai data, juga kerap luput dalam menyampaikan data.
Pada sesi debat antarcalon wakil gubernur (cawagub), Taj Yasin mengatakan angka kemiskinan di Jateng lebih baik daripada nasional. Padahal, data mutakhir Badan Pusat Statistika (BPS) menyebutkan persentase penduduk miskin di Jateng pada semester II-2017 sebesar 12,23 persen, lebih tinggi dari angka nasional sebesar 10,12 persen. Pada kurun waktu yang sama, garis kemiskinan di Jateng sebesar Rp337.657 per kapita/bulan, sedangkan di Indonesia sebesar Rp 370.910 kapita/bulan.
Pada sesi lain, Ganjar menyatakan, "Tahukah kira-kira bapak ibu bahwa penurunan angka kemiskinan kita dibanding provinsi tetangga jauh lebih baik?"
Untuk menjawab pertanyaan retorik itu, para pemirsa hanya perlu membuka laman BPS untuk bisa menjawab, "Tidak pak Ganjar." Data BPS menyatakan antara semester I ke II 2017 penurunan jumlah penduduk miskin di Jateng sebesar 5,69 persen. Pada kurun waktu yang sama, penurunan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat (Jabar) sebesar 9,45 persen. Jadi, penurunan jumlah penduduk miskin di Jateng tidak lebih baik daripada tetangganya sendiri, Jabar.
Sesi pertama dan kedua debat putaran kedua Pilgub Jateng 2018 dilewati kedua kandidat dengan situasi yang adem ayem saja.
Baru pada sesi ketiga, tensi perdebatan mulai naik. Kini, kalimat-kalimat yang dilontarkan Sudirman mulai menyiratkan bahwa Ganjar-Yasin terlalu terpaku kepada data "statistika" dan "ekonomi makro" sehingga tidak menyentuh secara langsung yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Kalimat yang digunakan Sudirman pun khas. Dia mengucapkan kata "Ini bukan" yang diikuti ihwal yang dikritiknya, dilanjutkan kata "ini adalah (atau tanpa adalah)" diikuti ihwal yang menjadi keprihatinannya.
"Ini bukan statisik, satu orang meninggal itu kemanusiaan. Satu orang sakit itu kemanusiaan. Jangan melihat hanya persentase dari seluruh warga Jawa Tengah. Pemimpin yang hanya memperhatikan statistik makro itu pemimpin yang tidak adil dan mengabaikan rasa kemanusiaan," ujar Sudirman menanggapi video yang diputar panitia. Video tersebut memperlihatkan perempuan lanjut usia yang tinggal rumah kayu, menyuapi seorang anak yang tampak lumpuh.
Apakah kritik seperti ini efektif?
Belum tentu, karena Sudirman-Ida mau tidak mau juga mesti menggunakan data "statistika" dan "ekonomi makro" saat debat atau kampanye. Dengan data itu, Sudirman-Ida bisa membangun landasan programnya sekaligus mengkritik klaim keberhasilan Ganjar. Ucapan Ida saat sesi debat cawagub adalah salah satu contohnya.
"Saya mengambil data dari BPS. Pertumbuhan ekonomi pada era pak Bibit (gubernur Jateng sebelumnya) lebih tinggi dibandingkan dengan era pak Ganjar. (Pada) 2008-2012 pertumbuhan 5,8 persen. Sedangkan 2014-2017, ternyata pertumbuhan kita 5,3 persen. Kami menargetkan 6 persen," ujar Ida.
Argumen Ganjar mengenai penggunaan data terasa lebih masuk akal. Menurutnya, data makro ekonomi tidak pernah absen dalam perhitungan perencanaan nasional, termasuk daerah.
"Saya akan sulit memahami bagaimana merencanakan sesuatu tanpa ekonomi makro dan angka statistik. Saya tidak mau mengambil angka-angka itu dari dukun," ujar Ganjar.
Toh, pada akhirnya, Sudirman tidak mengelak bahwa dia percaya terhadap penggunaan data. Secara khusus Sudirman menekankan pentingnya kesinambungan pikiran dan hati agar bisa dengan sungguh-sungguh terlibat dalam masyarakat.
"Bukan kami tidak percaya angka-angka makro. Itu mesti kita gunakan, kan, kita punya otak," kata Sudirman.
Peluru Hampa
Sayangnya, tidak hanya sekali itu saja kritikan dan serangan Sudirman tumpul dan berbalik menusuk dirinya. Pada sesi debat antar cagub, Sudirman menyebut Ganjar sebagai "petahana rasa penantang, seolah-olah belum bekerja" sebelum bertanya soal yang dilakukan Ganjar untuk buruh, petani, dan nelayan.
Hasilnya, Ganjar menjawab dengan mencecar hal-hal yang dia lakukan untuk buruh, petani, dan nelayan selama menjabat gubernur Jateng. Bukankah ini bentuk promosi gratis yang disodorkan Sudirman untuk Ganjar?
Sudirman pun berusaha betul untuk mengangkat isu korupsi KTP-elektronik yang turut menyeret Ganjar sebagai saksi di persidangan. Pada debat putaran pertama, Sudirman bermain subtil. Ia menanyakan hal itu dalam ranah mengonfirmasi sejauh mana pemprov Jateng menangani pembuatan dan distribusi KTP-elektronik.
Sedangkan pada debat putaran kedua, Sudirman bermain terbuka dengan langsung menghujam ke inti relasi Ganjar dengan korupsi KTP-elektronik. "Korupsi itu merepotkan. Mas Ganjar bolak-balik ke KPK untuk bersaksi," ujar Sudirman.
Namun, Ganjar lagi-lagi lihai. Pertama, dia membentengi diri menggunakan Ida yang sesama pernah menjadi anggota Komisi II DPR RI. Kata Ganjar, "Semua yang di komisi II DPR bisa bersaksi. Mbak Ida pernah di Komisi II bareng saya. Benarkah semua di Komisi II menerima? Mbak Ida juga bisa menjadi saksi untuk kita semuanya."
Kedua, Ganjar mengajak pemirsa membandingkan banyaknya pejabat pemprov Jateng dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) - Sudirman menjabat menteri ESDM pada 2014-2016 - yang ditangkap KPK.
"Lima tahun kita berjalan, alhamdulillah pejabat provinsi tidak ada yang dicokok KPK. Mari kita bandingkan dengan yang pernah dipimpin orang lain. Saya takut menepuk air di dulang, muncrat ke muka sendiri," ujar Ganjar.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti