tirto.id - "Dari mana [dasar] pendapat orang-orang itu? Saya itu kadang pusing juga lihatnya. Dia pikir kami ini apa?"
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, yang biasanya tenang, meninggikan suaranya kala mengomentari anggapan miring soal operasi tangkap tangan (OTT) di kantornya, Kuningan Jakarta, Rabu (4/9/2019) dini hari.
Peraih gelar Ph.D hukum lingkungan hidup internasional dari Universitas Sydney Australia ini menilai penindakan yang konsisten merupakan cara paling ampuh memberantas korupsi. Dia berkaca pada Independent Commission Against Corruption (ICAC)--sejenis KPK di Hong Kong--yang 70 persen kekuatannya berada di bidang penindakan.
"Apakah mereka bersih? Ya one of the cleanest," tegas Laode.
Dalam Corruption Perceptions Index 2018, Transparency International menyebut Hong Kong berada di posisi 14 negara paling bersih dari korupsi, salah satunya karena keberadaan ICAC. Mereka memperoleh skor 76 dari maksimal 100.
Sementara Indonesia ada di posisi 89 dari total 180 negara, dengan skor hanya 38.
Laode memang tidak menjelaskan siapa "orang-orang" sinis yang dia maksud. Tapi dalam beberapa pekan terakhir, memang cukup banyak orang yang mengkritik cara KPK yang tampak menitikberatkan aspek penindakan--termasuk OTT.
Tidak terkecuali Presiden RI Joko Widodo.
Dalam forum pemimpin redaksi di Istana Kepresidenan, Selasa (3/9/2019) kemarin, Jokowi menilai alih-alih sekadar menangkap koruptor, KPK semestinya membangun dan mengawasi sistem antikorupsi secara simultan bersama pemerintah.
"Ke depan kinerja KPK jangan diukur dari berapa banyak yang ditahan," kata Jokowi. "Bangun sistem," tambahnya.
Hal serupa pernah dia utarakan dalam pidato kenegaraan di DPR RI, 16 Agustus lalu.
"Penegakan hukum yang keras harus didukung," kata Jokowi. "Tapi keberhasilan bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum bisa dicegah; berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan."
Kritik serupa dilontarkan salah satu calon pimpinan KPK Sigit Danang Joyo. Dalam tes wawancara pekan lalu, dia menilai OTT yang dilakukan KPK hanya seperti "parade".
Kepala Sub Direktorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu menilai semestinya pencegahanlah yang didahulukan. Penindakan pun tidak boleh masuk pada wilayah-wilayah 'politis', katanya.
Capim lain bernama Johanis Tanak, berasal dari Kejaksaan, bahkan bilang OTT bertentangan dengan hukum.
"Kalau direncanakan untuk ditangkap, itu bukan lagi 'tangkap tangan'. Ini dua kata yang bertentangan," kata Tanak di hadapan Panitia Seleksi Capim KPK saat tes wawancara dan uji publik di Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Kritik-kritik itu tampaknya dianggap angin lalu oleh KPK. Buktinya, Senin (2/9/2019) hingga Selasa (3/9/2019), penyidik KPK menggelar OTT di tiga tempat sekaligus.
KPK mencokok Bupati Muara Enim Ahmad Yani dalam kasus dugaan penerimaan suap proyek pembangunan jalan, Senin. Dalam operasi itu, petugas menyita barang bukti 35 ribu dolar AS yang diduga merupakan bagian dari fee dari pengusaha.
Dari hasil pemeriksaan awal, KPK menemukan Bupati Ahmad Yani sudah menerima Rp13,4 miliar sebelum ditangkap. Uang itu merupakan fee dari sejumlah proyek di Muara Enim.
Pada hari yang sama, KPK juga membongkar dugaan suap 345 ribu dolar Singapura dari pemilik PT Fajar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi ke Direktur PT Perkebunan Nusantara III Dolly Pulungan. Diduga kickback (timbal balik) itu diberikan terkait kontrak distribusi gula antara PTPN III dan PT FMP.
KPK juga menangkap Bupati Kabupaten Bengkayang Suryatman Gidot dan empat orang lain, Selasa. Petugas mengamankan uang ratusan juta rupiah, diduga terkait proyek.
Lebih Sering Pencegahan
Jika Laode mengatakan OTT diperlukan karena KPK "tidak bisa membiarkan kejahatan terjadi," Wakil Ketua KPK lain, Basaria Panjaitan, mengatakan instansinya sebetulnya lebih sering melakukan pencegahan.
Sejauh ini KPK sudah menggelar 15 operasi senyap. Rekor OTT KPK terjadi tahun lalu. Saat itu mereka menangkap tangan 29 orang dari beragam partai; dari bermacam-macam jabatan.
Masalahnya memang pencegahan itu tidak begitu disorot media, kontras dengan OTT. Media, misalnya, tidak atau minimal kurang menyorot KPK saat mereka mengerahkan tim ke daerah-daerah guna bertemu kepala daerah dan pejabat lain.
Di sana mereka mendorong proses promosi dan mutasi yang bebas dari suap.
Saban ke daerah, KPK juga mendorong proses pengadaan secara elektronik sehingga transparan dan mendorong Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) agar lebih aktif mengawasi.
Basaria pun mengaku sering memperingatkan kepala daerah agar tidak melakukan korupsi lantaran sudah ada laporan masyarakat.
"Tapi kalau sudah diulangi, dilakukan hal yang sama, kira-kira bagaimana? Apa kami biarkan? Mengubah sesuatu itu tidak semudah membalik tangan," kata Basaria.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino