Menuju konten utama

Narasi Ketua Pansel dan Capim Tolak OTT adalah Cara Lumpuhkan KPK

Dua capim KPK dari Kejaksaan menyoroti OTT karena dianggap cuma menutupi kelemahan KPK. Pada saat bersamaan, banyak jaksa yang ditangkap lewat OTT.

Narasi Ketua Pansel dan Capim Tolak OTT adalah Cara Lumpuhkan KPK
Seorang pria merantai dirinya saat melakukan aksi di depan gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/7/2018). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Operasi tangkap tangan selalu menjadi bahasan tiap kali seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi digelar. Keberadaan operasi yang identik dengan KPK kerap jadi polemik dan tak terkecuali saat seleksi capim tahun 2019 ini.

Jasman Panjaitan adalah salah satu capim KPK yang menilai sinis OTT. Bagi bekas jaksa ini, OTT digelar buat buat menutupi kelemahan KPK.

"Saya melihat KPK sekarang hanya menonjolkan OTT [Operasi Tangkap Tangan]. Itu menutupi kelemahan mereka," ucap Jasman di hadapan panitia seleksi capim KPK saat tes wawancara dan uji publik di Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).

Bekas jaksa yang pernah menyidangkan kasus Bom Bali ini mengkritik OTT lantaran jumlah uang yang dikembalikan dari operasi itu hanya sedikit. Dia pun berencana membuat biro khusus yang menangani pengembalian aset jika terpilih jadi pimpinan lembaga antirasuah.

"Jadi jangan mengandalkan OTT," kata Jasman.

Tak hanya Jasman, capim lain bernama Johanis Tanak punya pandangan negatif terhadap OTT. Tanak merupakan capim dari unsur kejaksaan seperti Jasman. Menurut dia, OTT yang dilakukan komisi antirasuah bertentangan dengan hukum.

"Kalau direncanakan untuk ditangkap, itu bukan lagi 'tangkap tangan'. Ini dua kata yang bertentangan," kata Tanak juga di hadapan panitia seleksi capim KPK saat tes wawancara dan uji publik di Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu kemarin.

Ia lantas menawarkan alternatif jika terpilih sebagai pimpinan KPK, yakni: memanggil para pihak jika KPK sudah menyadap dan menemukan dugaan rencana transaksi.

"Ini kita cegah supaya uang negara tidak keluar," kata Tanak.

Lewat pemanggilan itu, Tanak menyebut, para pihak akan diklarifikasi apa benar akan melakukan transaksi. Jika benar, mereka akan diminta membuat surat pernyataan yang menyatakan ia tidak akan melakukan korupsi.

Dalam surat itu pun akan dinyatakan jika ia ketahuan melakukan korupsi di masa depan, maka ia akan divonis dengan hukuman terberat yang ada di UU Tipikor.

"Pernyataan itu dia pegang dan disampaikan kepada seluruh lembaga penegak hukum termasuk Mahkamah Agung. Karena ketika dia lakukan itu maka MA akan melihat dan kita akan serahkan," ujarnya.

Bermula dari Pidato Jokowi

Apa yang diutarakan Jasman dan Tanak sebenarnya bukan hal baru. Arah pikiran soal KPK ke depan yang lebih kuat dari sisi pencegahan sebenarnya sudah dikatakan Joko Widodo.

Dalam pidato kenegaraan di Kompleks Parlemen pada 16 Agustus 2019, Jokowi dengan lantang berkata ukuran penegakan hukum dan HAM harus diubah, termasuk dalam soal pemberantasan korupsi.

"Penegakan hukum yang keras harus didukung. Penegakan HAM yang tegas harus diapresiasi. Tetapi keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan," ucap Jokowi kala itu.

Pernyataan Jokowi ini direspons Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih. Yenti berkata sepakat dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus yang dipenjarakan, melainkan dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.

Menurut Yenti, pandangan Presiden tersebut memang sudah menjadi pemikiran pansel selama ini.

"Kami sejalan dengan pandangan Presiden. Bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi itu bukan OTT (operasi tangkap tangan) yang banyak. Justru semakin banyak OTT, kita gagal dalam pencegahan korupsinya," kata Yenti, Sabtu (17/8/2019).

Pandangan Tak Berdasar

Capim dan pansel boleh saja punya pandangan demikian. Namun bagi mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, pandangan-pandangan tersebut terasa aneh. Menurut Bambang, kedua orang yang berasal dari unsur kejaksaan itu hanya sedang bermimpi karena bicara tanpa dasar.

"Para pemimpi ini tidak layak jadi pimpinan KPK, karena dia di KPK harus mengekseskusi semua kasus jadi tidak bermimpi-mimpi. Jadi lupakan dia, jangan dipilih," ujar Bambang di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.

Bambang mempertanyakan apa alasan mereka meragukan OTT, padahal sebagian besar kasus yang ditangani KPK selalu berawal dari OTT. Selain itu, semua kasus itu juga telah dibuktikan di pengadilan sampai berkekuatan hukum tetap.

"Coba capim itu buktikan kalau OTT itu salah, padahal seluruh kasus yang OTT itu dilakukan oleh KPK sudah berhasil dibuktikan di pengadilan dan dinyatakan inkracht," tandas Bambang.

Pernyataan Bambang bukan isapan jempol belaka. Mengutip Laporan Akhir Tahun KPK 2018, sepanjang tahun terjadi 30 operasi tangkap tangan dan KPK berhasil mentersangkakan 121 orang dari operasi senyap itu. Operasi ini adalah yang paling banyak dilakukan KPK sepanjang sejarah. KPK juga berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp500 miliar sepanjang 2018.

Uniknya, penegak hukum dari unsur kejaksaan adalah salah satu yang banyak ditangkap KPK lewat OTT. Dari catatan Tirto, 11 jaksa ditangkap lewat operasi tangkap tangan dari 2008 hingga 2019. Bahkan, 8 jaksa ditangkap KPK pada era kepemimpinan Agus Rahardjo.

Sementara itu, Abdul Fickar Hadjar, pengajar Hukum Pidana di Universitas Trisakti, membantah pendapat Johanis Tanak yang menyebut OTT bertentangan dengan hukum.

Fickar mendasarkan argumennya kepada pada Pasal 1 Angka 19 KUHAP (PDF) yang menerangkan definisi tertangkap tangan dan berbunyi: "Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu."

Menurut Fickar, ada 4 keadaan yang membuat suatu penangkapan bisa disebut tertangkap tangan. Pertama, tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana; kedua, tertangkapnya seseorang segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan.

Selanjutnya, tertangkapnya seseorang sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; dan Keempat, apabila sesaat kemudian, pada orang yang melakukan tindak pidana, ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana itu.

"KUHAP juga memberi cakupan kepada pelaku. Tidak hanya materiele dader (pelaku materiil), tetapi juga pelaku peserta lainnya-apakah itu orang yang menyuruh lakukan, turut serta melakukan, atau orang yang menganjurkan-bahkan terhadap pembantuan," kata Fickar kepada reporter Tirto, Kamis (29/8/2019).

Sebelum OTT, kata Fickar, petugas KPK pasti sudah memiliki bukti permulaan, misalnya hasil sadapan. Operasi tangkap tangan adalah upaya untuk mengkonkretkan hasil penyelidikan itu. Karenanya Fickar menilai pernyataan yang menentang operasi tangkap tangan adalah satu alarm merah calon pimpinan KPK itu hendak memperlemah KPK dari dalam.

Baca juga artikel terkait CAPIM KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih