tirto.id - As’ad Syamsul Arifin adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo. Di Nahdlatul Ulama, Kiai As'ad terakhir kali menjabat Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sampai ia wafat di usia 93 pada 4 Agustus 1990, tepat hari ini 29 tahun lalu.
Kiai As'ad dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 3 November 2016 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016. Butuh puluhan tahun hingga Kiai As'ad resmi ditetapkan sebagai pahlawan.
Dua hari setelah Kiai As'ad meninggal, Rais Aam PBNU K.H. Ahmad Siddiq pernah mengusulkan agar Kiai As'ad dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tapi usulan tersebut tidak ditindaklanjuti, apalagi saat itu NU di bawah kepemimpinan Gus Dur mengambil sikap oposisi terhadap rezim Soeharto. Baru pada 2014 usulan tersebut digodok lagi dan dua tahun kemudian Presiden Jokowi mengabulkannya.
“Kami, para santri beliau, ikut senang dan bangga dengan penganugerahan ini,” ujar Abdul Moqsith Ghazali, salah seorang santri Kiai As’ad, seperti dikutip NU Online.
As'ad Syamsul Arifin lahir di Makkah, Arab Saudi pada 1897. Ia adalah salah satu orang yang berjasa di balik berdirinya Nahdlatul Ulama. Saat itu Kiai As'ad, yang masih menjadi santri K.H. Kholil Bangkalan, diperintahkan gurunya untuk menyampaikan pesan kepada K.H. Hasyim Asy'ari. Pesan tersebut berupa tongkat yang disertai ayat-ayat Alquran. Dalam tradisi santri, pesan macam itu merupakan isyarah (perlambang), yang maknanya dianggap lebih kuat dibanding pesan eksplisit.
Setelah menerima tongkat itu, Kiai Hasyim akhirnya semakin membulatkan tekad untuk mendirikan organisasi bagi kalangan Islam tradisionalis. Dari situlah lahir Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926.
Pak Kiai & Preman Penjaga Sandal
Uniknya, putra Raden Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan K.H. Syamsul Arifin ini tidak hanya menguasai ilmu agama, tapi juga bela diri. Penguasaannya pada tradisi silat lokal membuatnya disegani, bahkan oleh para jawara kampung di daerah Situbondo.
Meski begitu, Kiai As’ad sama sekali tidak pernah menggunakan keunggulan ilmu bela dirinya untuk dakwah. Bahkan kemampuannya yang sudah di atas rata-rata ini jarang sekali dikeluarkan untuk menggertak para preman di sekitar pesantrennya. Reputasi Kiai As’ad sebagai jawara saja sudah membikin ciut nyali para preman.
Sebagai kiai, As’ad tidak menggunakan cara berdakwah yang lazim. Misalnya dalam urusan pencurian sandal di masjid. Hilangnya sandal jamaah adalah hal yang umum terjadi. Dalam dunia pesantren ada istilah untuk membahasakannya, yakni ghosob: “meminjam” barang milik orang lain, tapi tidak minta izin si empunya barang.
Jika mau jujur, istilah ghosob dalam dunia pesantren merupakan bahasa penghalusan saja, karena sebenarnya yang terjadi adalah pencurian barang. Akan tetapi, karena barang yang dicuri adalah barang-barang remeh yang diyakini suatu waktu akan kembali lagi, kehilangan itu biasanya tidak terlalu dipersoalkan. Tentu, jika seseorang mengalaminya berkali-kali, biasanya ia akan merasa kesal.
Kehilangan sandal akan semakin massif di waktu salat Jumat. Sebab, yang berjamaah tidak hanya para santri yang ada dalam pesantren, tapi juga warga sekitar. Jumlah sandal yang ada di luar pelataran serambi masjid akan berjubel banyaknya—tentu dengan beragam merek dan model yang lebih bagus dari sekadar sandal jepit atau bakiak yang digunakan santri.
Jika sudah begini, kadang yang terjadi adalah pencurian sandal betulan yang tidak dipakai hanya sebagai alas kaki pulang ke rumah, tapi benar-benar dicuri tanpa ada niat untuk mengembalikan. Untuk itulah, pada suatu Jumat, Kiai As’ad mendatangi salah satu dedengkot preman guna mengatasi hal itu.
“Sandal jamaah di masjid ini sering hilang kalau salat Jumat. Saya bisa minta tolong untuk mengamankannya agar tidak hilang?” pinta Kiai As’ad seperti yang diriwayatkan ulang secara detail oleh cucunya, H. Ikrom Hasan, kepada NU Online.
Dedengkot preman yang diajak berbicara justru senang ketika Kiai As’ad berkunjung dan sama sekali tidak takut karena ilmu bela dirinya. Di dalam lingkungan di sekitar pesantren, kiai memang biasanya menjadi sosok yang sangat dihormati sekaligus disegani. Bahkan, melawannya dianggap bisa membikin kualat.
Itu juga yang membuat si preman merasa tidak keberatan dengan permintaan Kiai As’ad. “Gampang itu, Kiai. Paling yang mencuri ya masih anak buah saya. Biar saya yang jaga,” tanggap si preman bangga, karena dipercaya dan merasa berguna bagi masyarakat.
Pada akhirnya, pembicaraan itu diakhiri dengan kesepakatan. Si preman tidak apa-apa tidak ikut salat Jumat—toh dia juga tidak pernah salat sebelumnya—tetapi ia akan menjaga setiap pasang sandal yang ada di luar pelataran masjid sepanjang salat Jumat berlangsung. Terutama saat salat Jumat sudah berakhir.
Waktu salat Jumat pun tiba. Si preman datang dan berjaga-jaga di dekat masjid. Benar saja, sejak kehadiran dedengkot preman ini, tidak ada sandal yang hilang. Barangkali jamaah yang ingin “menukar” sandal jeleknya dan memilih sandal yang lebih bagus merasa jeri ketika melihat ada dedengkot preman di daerah tersebut terus mengawasi jamaah yang keluar dari masjid.
Penjagaan ini pun terus berlanjut sampai pada salat Jumat keempat, atau sudah masuk satu bulan. Lama-lama, si preman merasa ada yang aneh. Sebagai sosok yang punya pengaruh dan ditakuti banyak orang di kampungnya, si preman merasa menjaga sandal adalah pekerjaan yang hina untuk level sekelas dirinya.
Untuk itu, si preman menghadap ke Kiai As’ad karena ingin protes. “Masa saya harus jaga sandal tukang becak, penjual kacang goreng, dan orang-orang remeh gini?” gugatnya. “Justru harusnya orang-orang ini yang jaga sandal saya, bukan malah sebaliknya."
Dengan gestur seperti orang bingung, Kiai As’ad malah balik bertanya, “Kalau sampeyan ikut salat Jumat, terus siapa yang harus jaga sandal?”
Si preman bingung. Betul juga, pikirnya. Sampai akhirnya si preman punya ide. “Tenang, Kiai. Saya punya banyak anak buah. Biar mereka yang menjaga, saya biar salat,” katanya sambil bangga karena sandalnya bakalan jadi sandal yang dijaga. Tanpa pikir panjang, Kiai As’ad pun setuju.
Proses yang sama pun berlanjut secara berkesinambungan. Si preman mengajak salah satu anak buahnya, dan memintanya untuk menjaga sandal. Sampai beberapa salat Jumat, si anak buah ini jadi jengkel. “Masa preman suruh jaga sandal preman,” gugat si anak buah yang juga ingin sandalnya ikut dijaga.
Si dedengkot preman kemudian meminta si anak buah untuk mencari temannya dulu sebelum memutuskan untuk ikutan salat Jumat. Sampai akhirnya berangsur-angsur, preman di sekitar lingkungan pesantren jadi ikut-ikutan salat Jumat hanya karena alasan sepele: ingin sandalnya dijaga orang lain.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 Mei 2017 dengan judul "Kisah Kiai As'ad Situbondo dan Para Preman Penjaga Sandal". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan