Menuju konten utama

Lika-liku Cinta di Pesantren

Benarkah santri tidak bisa menemukan pujaan hatinya di pesantren karena persoalan jarak dan aturan yang ketat? Kenyataannya, santri ada yang menjalin hubungan khusus sampai akhirnya resmi jadi pasangan suami istri.

Lika-liku Cinta di Pesantren
Pernikahan massal yang digelar oleh Ikatan Alumni dan Santri Sidogiri (IASS) dalam rangka menyemarakkan Hari Santri Nasional. ANTARA FOTO/Moch Asim.

tirto.id - Ia seorang hafizah. Penghafal 30 juz Alquran. Sudah mulai menghafal Alquran sejak mentas dari SMA pada 2006 dan dinyatakan sebagai seorang hafizah setelah enam bulan memutuskan menikah dengan lelaki yang dicintainya.

Pernikahan sang hafizah ini terjadi pada 22 April 2011 di Pesantren Nurul Chusna, Wonosobo, Jawa Tengah. Tidak ada undangan yang tersebar atas namanya; Siti Muslikhah, dan nama suaminya; Fuad Muchozin. Saat itu usia Muslikhah baru 24 tahun dan Fuad, suaminya, satu tahun lebih muda.

Acara berlangsung sangat sederhana, tapi terasa khidmat dan sakral. Sekalipun yang datang hanya keluarga dekat, pernikahan tetap istimewa. Ini karena pengasuh pesantren tempat Muslikhah belajar jadi sosok yang menikahkan keduanya. Bagi seorang santriwati, ini jelas sebuah kehormatan besar.

“Ya, ingin mengurangi maksiat saja. Biar ngajiku ndak kacau. Biar pacarannya halalan toyyiban,” kenang Muslikhah saat ditanya apa alasannya memutuskan untuk menikah muda.

Saat itu, sang suami sudah bekerja sebagai teknisi PLN di Semarang, Jawa Tengah. Hampir setiap seminggu sekali Fuad akan berkunjung ke Wonosobo untuk sekadar bertemu atau ngobrol dengan orang yang diakuinya bukan pacar, “Bukan pacar itu, tapi calon istri,” katanya.

Kadang Muslikhah sampai tidak enak hati karena dikunjungi oleh teman laki-lakinya di pesantren. “Pernah dulu, suamiku dari Semarang ke Wonosobo cuma buat ngasih kado ulang tahun terus balik lagi,” kata perempuan yang kini berusia 29 tahun, “kan kasihan,” tambahnya.

Sampai pada akhirnya atas kesepakatan kedua keluarga, Muslikhah dan Fuad sama-sama sowan ke kiai untuk dinikahkan di pesantren tersebut. Padahal Muslikhah belum selesai mengkhatamkan hafalannya. Agar mendapat restu, keduanya berjanji, setelah menikah Muslikhah tetap akan melanjutkan ngajinya selama setengah tahun sampai sah dinyatakan sebagai hafizah. Sebuah syarat agar keduanya bisa benar-benar hidup bersama layaknya suami istri.

Infografik Menjalin Cinta di Pesantren

Di pesantren, intensitas pertemuan dengan lawan jenis memang sangat minim, tapi itu tidak berarti bahwa seorang santri tidak bisa kenal dengan santriwati atau sebaliknya. Di Pesantren Darussalam Gontor, Jawa Timur misalnya. Lokasi santri dengan santriwati terpisah jarak lebih dari 100 km.

“Syarat atau wasiat dari Kiai Imam Zarkasyi (Pendiri Pondok Gontor), salah satunya adalah jarak antara pondok putra dengan pondok putri harus 100 km atau lebih,” jelas Munir Abdillah yang merupakan alumni Gontor angkatan 2007.

Inilah yang menjadi sebab kenapa Pondok Putra Gontor berada di Ponorogo sedangkan Pondok Putri Gontor ada di Ngawi, Jawa Timur. Wasiat ini memang untuk menanggulangi kisah asmara antara santriwan dan santriwati. Meski bagaimanapun, dalam usia remaja, seketat apapun peraturan maupun jarak, cukup banyak santri yang pada akhirnya tetap memiliki hubungan khusus.

Penasaran bagaimana seorang santriwan bisa kenal dengan santriwati dalam dunia pesantren, saya sempat bertanya kepada Muslikhah bagaimana bisa kenal dengan sang suami?

“Kenal waktu dulu masih satu pesantren di Solo,” ujar perempuan yang kini tinggal di Rembang. Saat masih sekolah dari SMP sampai SMA keduanya satu almamater. “Ya, udah jalan begitu saja. Tahu-tahu dekat. Ndak ada itu proses tembak-tembakan.”

Fuad dan Muslikhah menjalin hubungan khusus ini dengan hati-hati sejak 2005. Pertemuan hanya bisa dilakukan pada jam sekolah, sebab ketika sudah kembali ke pondok, akses keduanya terpisah. Agar komunikasi tetap terjalin, biasanya Muslikhah akan memberikan sebuah buku yang akan jadi bagian dari rahasia mereka berdua. Di buku itulah komunikasi yang sebenarnya terjadi.

Situasi ini tentu berbeda dengan yang terjadi antara santriwan dan santriwati Gontor. Faktor terpisah oleh jarak yang jauh, para santriwan dan santriwati tidak pernah bertemu, hubungan khusus hampir mustahil bisa terjalin. Namun, bukan berarti cerita cinta tidak pernah ada. Rialatin Kunti misalnya, ibu satu anak ini pada akhirnya dipertemukan dengan suami yang sama-sama santri Gontor satu angkatan.

Keduanya dipertemukan oleh program pengabdian Gontor selama satu tahun. “Ketemu di Kendari, Sulawesi Selatan, masa tugas setelah lulus (Madrasah) Aliyah,” tutur perempuan berusia 28 tahun ini.

Gontor memang memiliki program yang mewajibkan santrinya untuk dikirim ke pesantren-pesantren terpencil. Seperti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampus umum, para santri diwajibkan mengembangkan pesantren yang menjadi lokasi tujuan. Di sanalah Kunti bertemu dengan Muhammad Puji, teman santri yang kemudian menikahinya pada 2015.

Berbeda dengan Nurul Arifah Putri, santri Pondok Pesantren Al-Asy’ariah, Wonosobo ini mengakui, bahwa seketat apapun peraturan, perasaan suka kepada lawan jenis memang sulit diredakan. Bahkan sekalipun itu terpisahkan oleh tembok pesantren. Sama seperti Muslikhah, sekalipun Nurul terpisah dalam komplek yang berbeda, ia masih bisa bertemu dengan santri yang dicintainya, Ardi Bramafiadhe, saat jam istirahat sekolah.

Di Pesantren Al-Asy’ariah, karena lokasi sekolah cukup jauh dari gedung pondok, pertemuan bisa lebih bebas. Bahkan kadang keduanya sering janjian keluar menuju ke taman kota untuk sekadar bertemu dan ngobrol. Aktivitas yang mungkin terkesan biasa saja ini bisa sangat terasa istimewa bagi seorang santri. Begitu lulus pada 2006, dua tahun kemudian Nurul dan Ardi akhirnya menikah.

Hubungan khusus antar santri ini bukannya tidak pernah diketahui oleh para pengurus pondok atau bahkan dari pihak pengasuh pesantren. Terkadang, para pengurus masih mentolerir untuk batas-batas tertentu. “Ya itu lumrah saja. Namanya juga remaja,” ujar Gus Ali Hifni, cucu dari Pendiri Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta. “Yang salah itu kadang caranya,” tambahnya.

Jika ketahuan janjian di luar pondok, hukuman yang menanti tidak main-main. “Digundul di halaman pesantren depan masjid, dikalungin tulisan ; ‘saya pacaran’. Itu buat yang cowok. Kalau santriwati bisa disuruh nyuci semua baju kotor satu pondok putri,” ujar Sayyidah Asiyah, santri Pesantren Darul Qudus Salam, Salatiga, Jawa Tengah.

Hal yang sudah dianggap melampaui batas di sini salah satunya adalah sengaja janjian di luar lingkungan pesantren. Pada batas maksimum, hukuman bisa sampai dipanggil orang tua yang bersangkutan sampai dikeluarkan secara tidak hormat.

Asiyah sendiri pun tidak menampik, bahwa perasaan suka adalah fitrah dari para santri. Perempuan berusia 29 tahun ini mengakui, bahwa suaminya sendiri adalah sosok yang dikenalnya saat dulu masih nyantri dan pernah memiliki hubungan khusus sebelum akhirnya menikah. Sang suami itu kemudian menulis catatan yang sedang Anda baca saat ini.

Baca juga artikel terkait PESANTREN atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Suhendra