tirto.id - Seleksi calon pimpinan (capim) KPK sudah masuk pada tahap keempat, yaitu proses profile assessment. Meski seleksi menyisakan 40 orang dari 396 pendaftar, nyatanya tidak semua capim memiliki kapabilitas yang memenuhi standar sebagian masyarakat dan aktivis antikorupsi.
Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Irjen Pol Dharma Pongrekun menjadi salah satu yang terpantau radar.
Saat ditemui di Gedung Lemhannas, Jakarta, pada Kamis (8/8/2019), Dharma menyatakan pandangannya terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Salah satu pernyataan dia yang paling disorot adalah LHKPN konsep ateis.
“Salahnya di mana? [tidak lapor LHKPN] tidak relevansi dengan filosofi hukum Tuhan. Yang buat LHKPN awalnya dari mana? KPK. Kenapa? Karena konsepnya konsep yang ateis,” kata Dharma.
Awalnya jenderal polisi bintang dua ini mengaitkan antara agama dengan LHKPN dan seleksi capim KPK. Menurut dia, kekhawatiran dan tudingan dari orang-orang, yang dianggap Dharma hanya berdasar rasa suka-tidak suka adalah ciri orang tidak ber-Tuhan dan Pancasilais.
“Orang yang sering menuding menurut saya pribadi tidak Pancasilais. Ia bukan orang yang ikhlas. Orang yang ikhlas itu orang yang ber-Tuhan dan Pancasila,” kata dia.
Meski demikian, Dharma sebenarnya termasuk salah satu pejabat publik yang patuh melaporkan LHKPN. Dia mendaftarkan harta kekayaannya pada Desember 2018 dengan total harta lebih dari Rp9 miliar.
Namun, pernyataan Dharma yang tak suka dengan konsep pemaksaan LHKPN menuai kritik dari aktivis antikorupsi.
Dinilai Tak Memahami Kerangka Hukum
Salah satu anggota Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Bivitri Susanti terkekeh ketika diminta tanggapan soal pernyataan Dharma tersebut. Menurut dia, pernyataan Dharma sangat aneh.
“Pernyataan yang menunjukkan dia tidak memahami kerangka hukum dan hal-hal yang sifatnya legal-formal dan konstitusional,” kata dosen hukum tata negara ini kepada reporter Tirto. “Intinya dia enggak paham hukum.”
Padahal Dharma berasal dari institusi penegak hukum. Tidak hanya itu, Dharma juga menerima rekomendasi dan restu dari Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk menjadi salah satu pimpinan KPK periode 2019-2024.
Menurut Bivitri, apabila ada capim KPK yang tidak setuju dengan LHKPN, tentu saja diperbolehkan. Namun, kata Bivitri, sebaiknya kritikan itu disampaikan dengan dasar hukum lain yang seimbang.
Karena itu, Bivitri sangsi terhadap kapabilitas Dharma bila lolos seleksi capim KPK. Sebab, kata dia, salah satu syarat pimpinan komisi antirasuah adalah memahami hukum yang rumit. Bivitri pun menyarankan pansel KPK agar Dharma tak lagi dipertahankan sebagai capim.
“Dia tidak layak lah menjadi pimpinan KPK,” kata Bivitri menegaskan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko menyatakan pansel KPK perlu melakukan evaluasi agar tahapan seleksi ke depan bisa lebih baik.
Saat ini, pansel tengah melakukan profile assessment dan akan mengadakan uji publik di tahap berikutnya. “Pernyataan [Dharma] seperti itu di media harusnya akan menjadi bahan penilaian oleh pansel,” kata Dadang.
Hendardi, anggota pansel KPK, tak bisa membela capim yang telah dipilihnya sendiri. Meski tidak mengharuskan LHKPN harus disetor sekarang, tapi bagi pimpinan KPK, kata dia, pelaporan LHKPN adalah hal wajib.
Pelaporan LHKPN adalah perkara undang-undang dan bukan agama semata. “Ketentuannya begitu [LHKPN wajib]” kata Hendardi.
Namun demikian, Hendardi tidak bisa memastikan apakah Dharma akan gugur dalam tahapan sekarang atau berikutnya.
Hendardi menilai, omongan Dharma tidak penting. Sebab, kata dia, yang harus diperhatikan adalah apakah calon itu patuh lapor LHKPN atau tidak.
“Buat saya enggak penting lah itu,” ucap Hendardi. “Ini, kan, kami sedang mencari tahu. [Tapi kalau kami tahu pemikiran dia seperti ini] ya belum tentu.”
Dharma sebenarnya telah mencoba mengklarifikasi pernyataannya tersebut. Hanya saja, dia tidak mengklarifikasi apa maksud ateis yang dia maksud.
“Harusnya konfirmasi dulu,” kata Dharma kepada reporter Tirto, Kamis (8/8/2019). “Yang saya maksud gratifikasi. Kamu ngambilnya ateisnya gitu loh.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz