tirto.id - Carlo Garganese, jurnalis Goal, pernah mengutip ucapan Sami Khedira, salah satu bintang Juventus. Ia bilang “sepakbola adalah tentang emosi.” Garganese lalu membenturkan perkataan Khedira dengan kemunculan teknologi VAR atau video assistant referee yang jadi perbincangan pada hajatan Piala Dunia Rusia lalu. Teknologi VAR “membuat pemain bola yang mencetak gol was-was. Apakah ia bisa merayakan kerja kerasnya itu atau tidak.”
Pada Piala Dunia 2018 yang baru saja usai, kekhawatiran Garganese ini terbukti. Dalam laga Jerman vs Korea Selatan yang dilaksanakan di Stadion Kazan Arena, Kim Young-gwon, sukses melesakkan bola ke gawang Jerman yang dikawal Manuel Neur. Sayangnya, para pemain Jerman memprotes gol itu. Mereka beranggapan Kim telah berada dalam posisi off-side. Selebrasi Korea Selatan lantas tertunda. Wasit, dalam waktu sekitar 5 menit, memeriksa protes Jerman dengan mendatangi layar VAR di tepi lapangan. Akhirnya wasit mengesahkan gol tersebut karena tak melihat ada kesalahan. Selebrasi Korea Selatan yang tertunda, kembali berlanjut.
Menurut Garganese drama seperti yang ditunjukkan Jerman melawan Korea Selatan ialah “kematian sepakbola.” Penggunaan teknologi terkini pada dunia sepakbola tak terelakkan. Di Piala Dunia 2018 yang telah berlangsung di Rusia misalnya. Selain penggunaan VAR, semua pertandingannya telah dilengkapi teknologi Goal Line Technology (GLT). GLT mulai diimplementasikan dalam bentuk ujicoba pada 2012, dengan memanfaatkan enam hingga delapan kamera berkekuatan 500 FPS (frame per second) yang secara simultan menjaga garis gawang. GLT dikembangkan Hawk-Eye Innovation, perusahaan di bawah kendali Sony.
Selain VAR dan GLT, ada pula Adidas yang memasukkan teknologi chip NFC pada bola sepak resmi Piala Dunia Telstar 18. Sam Brown, jurnalis Goal lainnya, mengatakan teknologi yang masuk ke sepakbola “memungkinkan pertandingan menjadi lebih tinggi kualitasnya.”
Teknologi Mengubah Masa Depan Sepakbola?
Soal sepakbola dan teknologi terdapat dua perspektif: bagi pemain sepakbola dan bagi para penonton atau penggemarnya. HTC, perusahaan teknologi asal Taiwan, bersama Futurizon, pada 2014 merilis prediksi berjudul “The Future of Football.” Dalam prediksi itu, ditulis beberapa teknologi yang kemungkinan akan diterapkan di dunia sepakbola dalam beberapa tahun mendatang. Salah satu teknologi yang diprediksi hadir ialah aplikasi yang memungkinkan penonton langsung mendukung idolanya di lapangan saat pertandingan berlangsung.
Tak berselang lama, Manchester United dan Google, mewujudkan nyata prediksi itu. Memanfaatkan platform Google+, media sosial ala Google, para penggemar di seluruh dunia bisa live mendukung tim kesayangan. Aksi penggemar mendukung via Google+, langsung ditayangkan di papan iklan yang berada di pinggir lapangan stadion Old Trafford.
Pertandingan MU melawan Liverpool, yang dilaksanakan pada 16 Maret 2014, merupakan yang pertama mengimplementasikan teknologi tersebut. Tercatat, ada 15 hingga 20 pendukung yang secara langsung dapat muncul di papan iklan Old Trafford. Teknologi ini, mirip seperti seorang pengguna Skype yang melakukan video call. Bedanya, wajah pengguna ditampilkan di papan iklan.
Selain teknologi itu, HTC memprediksikan pada 2018 ini akan dirilis player card (kartu koleksi pemain) edisi cerdas. Menurut HTC, player card edisi cerdas itu tak hanya menghadirkan data seperti yang tercetak kartu. Dengan menggunakan smartphone, penggemar bisa memperoleh data pemain berkala, termasuk kegiatan apa yang sedang dilakukan. Player card lebih mirip “life feed” seperti yang dimiliki Facebook, tapi terbatas pada pemain yang namanya tercetak di player card.
Bagi pesepakbola, HTC punya prediksi khusus. Salah satunya ialah "mata burung". Menurut HTC, pemain dan pelatih dapat melihat lapangan tempat bertanding lebih luas dan presisi, yang memungkinkan memahami lawan dengan jauh lebih baik.
Hingga hari ini, penggunaan teknologi pada pemain sepakbola masih terbatas. Sebagaimana dilaporkan Wired, salah satu teknologi yang kini sedang populer digunakan ialah penggunaan wearable device yang dapat mengambil data-data pemain bola. Salah satu yang memanfaatkannya ialah Real Madrid.
“Menggunakan perangkat GPS, kami dapat menerima data tentang jarak tempuh pemain di lapangan, akselerasi, deselerasi, selama pertandingan berlangsung,” kata Carlos Alberto Cruz, pelatih fisik Real Madrid.
Data-data tersebut digunakan untuk mengevaluasi, meningkatkan, atau memberikan pelatihan khusus pada pemain sepakbola.
Berandai-andai
Teknologi terus melesat makin maju dengan segala inovasi terbaru. Ada beberapa teknologi futuristik yang sangat mungkin diterapkan oleh dunia sepakbola. Teknologi itu ialah “mata serangga” alias compound eye dan kaki palsu khusus.
Mata serangga atau compound eye punya banyak kelebihan dibandingkan mata manusia. Mengutip laman University of Minnesota, mata serangga memungkinkan melihat ke segala arah, baik depan, samping, atas, bawah, serta belakang. Mata serangga hanya terkendala oleh tubuh si pemiliknya sendiri. Selain itu, publikasi tersebut juga menyebut bahwa mata serangga memiliki kemampuan dual-vision, yang memungkinkan pemilik mata melihat di saat gelap atau terang.
Mata serangga memang nampak rumit. Namun, dalam paper berjudul “Biologically Inspired Artificial Compound Eyes” yang disusun oleh Ki-Hun Jeong, peneliti dari Korea Advanced Institute of Science and Technology, ada upaya pengembangan mata palsu dengan kemampuan mata serangga bernama “artificial ommatidium.” Artificial ommatidium dibentuk menggunakan lensa mikro polimer, yang mampu menangkap gelombang cahaya sejajar dengan sudut yang kecil.
Teknologi ini cocok bagi pemain sepakbola, khususnya penjaga gawang. Dalam babak adu penalti misalnya, penjaga gawang akan mampu melihat bola dan penendangnya di banyak sudut. Namun, perlu diingat, teknologi ini masih dikembangkan, belum tahap implementasi.
Selain mata serangga, teknologi lainnya yang bisa digunakan pemain sepakbola ialah kaki palsu. Oscar Pistorius, yang menggunakan kaki palsu “Cheetah” telah membuktikannya. Dalam penelitian yang dilakukan Peter Weyand, peneliti dari Southern Methodist University, kaki palsu yang digunakan Pistorius mampu membuatnya melesat sejauh 400 meter hanya dalam tempo 10 detik.
“Oscar menggerakkan kakinya lebih cepat dibandingkan siapapun dalam sejarah olahraga juga sains,” kata Weyand. “Dia mengayunkan kakinya 15 persen lebih cepat,” katanya.
Namun, kaki palsu seperti yang dipakai Pistorius digunakan pada mereka yang telah kehilangan kaki asli. Perlu upaya khusus untuk mentransfer kemampuan kaki palsu “Cheetah” ke pemain sepakbola yang masih memiliki kaki asli lengkap.
Dunia sepakbola terus berubah, khususnya oleh teknologi yang memungkinkan melahirkan perubahan-perubahan baru pada olahraga permainan paling populer sejagat ini. Mantan presiden FIFA Sepp Blatter, pernah berujar: “sepakbola ialah tentang manusia.”
Kehadiran teknologi yang berlebihan telah merenggut sisi manusia dari sepakbola. Blatter, pada 2012 lalu berkata: “selama saya masih menjabat presiden FIFA, saya janji tidak ada teknologi tersebut yang akan masuk ke dunia bola.” Sayang, ucapan Blatter itu cuma omongan belaka. Ia harus mundur akibat skandal korupsi di tubuh badan tertinggi dunia bola itu.
Sepakbola, perlahan, telah kehilangan sisi manusia, seperti keterbatasan panca indera, yang dahulu menjadi bumbu dan drama yang menyuguhkan emosi pemain dan penontonnya.
Editor: Suhendra