tirto.id - Penggunaan Video Assistant Referee (VAR) di liga domestik dunia internasional bukanlah hal baru. Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat, misalnya, sudah menggunakan teknologi ini. Piala dunia 2018 di Rusia juga mulai memakai teknologi yang sama. Bahkan kemenangan Perancis atas Australia tidak terlepas dari bantuan VAR.
Mungkinkah VAR juga diterapkan di Liga Indonesia?
Salah satu pengamat sepakbola, Defary Glenniza Tiffandiputra atau kerap disapa Dex Glenniza, mengatakan penerapan VAR di kancah sepak bola Indonesia merupakan hal yang bagus. Akan tetapi, halangan terbesar kemungkinan adalah biaya pemasangan VAR, termasuk sumber daya manusia yang mengoperasikannya.
Dex mengatakan, Indonesia tak perlu menunggu negara-negara Eropa untuk menggunakan VAR di liga domestik mereka. Baginya, penggunaan VAR adalah perkembangan teknologi yang tak bisa dihindari. Sekarang saja, katanya, federasi sepak bola dunia atau FIFA sedang mencoba untuk menerapkan teknologi VAR di kompetisi yang mereka kuasai.
“Kalau kita bilang selama ini ‘Wasit goblok’ karena sering salah mengambil keputusan, ya mengatasinya adalah dengan penggunaan VAR. Kalau saya menilai, dengan VAR, ada yang bilang enggak ada drama dalam sepak bola, menurut saya pasti masih ada,” katanya kepada Tirto.
Namun, ujar Dex, akan muncul efek domino akibat penggunaan VAR, yakni menurunnya jumlah wasit dalam satu pertandingan. Standar penggunaan wasit di sebuah pertandingan adalah tiga orang. Terkadang, wasit digunakan di belakang gawang untuk memperketat pengawasan. Dengan teknologi VAR, bukan tidak mungkin hanya ada satu wasit utama di lapangan.
“Nanti, kalau kita terus mengikuti teknologi, pasti akan terjadi hal seperti itu,” katanya.
Sebenarnya penggunaan teknologi demi memajukan sistem pertandingan sudah dilakukan secara bertahap. Dahulu, katanya, sistem goal line technology pun menjadi perdebatan. Andai tidak ada sistem ini, Perancis dalam Piala Dunia 2018 ini bisa jadi tidak menang dalam pertandingan pertama karena tendangan Paul Pogba yang tipis di belakang garis gol boleh jadi tak terlihat oleh wasit.
Pada Liga Indonesia yang berlangsung minggu lalu, misalnya, wasit Fariq Hitaba yang memimpin pertandingan antara Persija Jakarta melawan PS TNI melakukan keputusan yang kontroversial. Fariq menganulir gol penalti oleh PS TNI setelah melihat rekaman pertandingan bahwa pelanggaran di kotak terlarang itu tidak terjadi.
Anggota Komite Wasit Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Purwanto mengatakan apa yang dilakukan Fariq bukan hal yang berani. Selain karena mendapat tekanan dari pemain Persija, dalam aturan penyelenggaraan Liga Indonesia, tidak ada keputusan untuk penggunaan VAR dalam pertandingan. Oleh sebab itu, pengaturan wasit untuk melihat rekaman video juga tidak diatur.
Meski begitu, Purwanto mendukung penggunaan VAR dalam Liga Indonesia. Ia menegaskan, tidak ada halangan bagi wasit Indonesia, tetapi tentu PSSI harus mau menyetujui penggunaan teknologi ini pada musim kompetisi 2019.
“Jadi sebelum kompetisi digelar. Kalau mau pakai VAR itu bisa,” kata Purwanto kepada Tirto.
Purwanto tidak khawatir soal ada ancaman teknologi pada tugas wasit di Indonesia. Menurutnya, VAR hanya bertugas untuk membantu wasit dan tidak digunakan atau dilihat setiap saat. Lagi pula, Purwanto menegaskan aturan penggunaan wasit sudah jelas tertera dalam hukum penyelenggaraan pertandingan.
“Kalau wasit sudah yakin, ngapain lihat VAR?” ujar Purwanto.
Ia menambahkan, “Kita belajar profesional. Kita enggak usah takut terancam (atas penggunaan VAR). VAR itu hanya membantu kinerja para wasit, bukan pengurangan.” Meski begitu, menurutnya, penggunaan VAR belum terlalu diperlukan di Indonesia.
Indonesia memang tertinggal dalam pengawasan pertandingan. Untuk goal line technology saja, Indonesia belum mau atau bisa menggunakan. Padahal keuntungannya adalah tidak ada lagi keputusan kontroversial ataupun main akal pemain (diving) dalam sepakbola.
“Ini membutuhkan dana sangat besar, alatnya bagaimana? Saya buat contohnya, sekarang penggunaan dua wasit di belakang gawang saja belum bisa,” kata Purwanto, pesimistis. “Kan tergantung federasi [negara] masing-masing. Indonesia belum pakai juga enggak masalah.”
Pesimistis Menggunakan VAR
Direktur Bagian Olahraga ANTV, Reva Deddy Utama, pesimistis atas realisasi penggunaan VAR di Liga Indonesia. Dari sudut pandang penyiaran, Deddy menganggap teknologi dan infrastruktur di Indonesia tidak memadai.
“Pakai VAR itu diperlukan sekurangnya 20 kamera dalam satu pertandingan. Stadion di Indonesia memasang 8 kamera saja sudah sulit. VAR juga menuntut kamerawan dengan kemampuan yang bagus. Kamerawan kita belum bisa mengoperasikan kamera secara detail seperti di World Cup sekarang,” katanya.
Deddy menegaskan, meski Tim VAR berasal dari panitia pertandingan, tetapi gambar yang dipantau mereka dari tim produksi yang juga untuk televisi. Otomatis, untuk satu pertandingan, penyiaran harus mengeluarkan biaya lebih besar lagi.
Untuk penggunaan VAR, Deddy juga menyarankan tak semua keputusan wasit harus dilihat melalui VAR. Ia menegaskan, hal itu bisa menghilangkan drama dari sepakbola. Seharusnya pengawasan VAR hanya pada offside dan goal line.
“Sebab selain teknis bermain, sepakbola perlu taktik, yang terkadang di lapangan diterjemahkan sebagai trik,” tuturnya.
Hal yang sama dipaparkan Kepala Staf Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto. Ia menyatakan penggunaan VAR masih terlalu terburu-buru di Liga Indonesia. Selain aturannya yang masih belum jelas, tidak semua negara Eropa yang infrastruktur sepakbolanya bagus menggunakan teknologi tersebut.
“Kalau negara paling maju sepakbolanya saja semua belum menggunakan, rasa-rasanya jauhlah kalau Indonesia sudah menggunakan lebih dulu,” katanya.
Sejauh ini, Iwan berkata PSSI belum membahas tentang penggunaan VAR pada Liga Indonesia. Ia mengatakan tanggung jawab itu ada pada pihak operator pertandingan atau PT Liga Indonesia Baru. Namun, biaya yang dikeluarkan PT LIB tentu tidak sedikit. Selain harus menambah kamera, wasit-wasit juga harus mempunyai perlengkapan seperti headset.
“Artinya, tidak mungkin dalam waktu singkat digunakan,” katanya.
Masalah terbesar yang dikatakan oleh Iwan adalah hilangnya aspek drama dalam sepakbola. Bila penggunaan VAR itu digunakan, ia khawatir teknologi akan semakin mengambil alih. Ia berpendapat, bukan tidak mungkin nantinya pemain juga akan mengenakan headset dan “tidak ada lagi pelatih yang berteriak-teriak di pinggir lapangan.”
“Kontra yang saya maksud itu jadi hilang. Keanggunan dalam sepakbola itu jadi hilang. Sepakbola sebenarnya itu menjadi menarik karena dipimpin oleh wasit yang manusia. Itu salah satu sisi menariknya sepakbola sehingga ada emosi, ada kontroversi,” katanya.
“Kalau semua serba teknologi, lebih baik kita main PlayStation saja,” kata Iwan.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz