tirto.id - Di Kanada, ada pemandangan tidak biasa di mana banyak mahasiswa asal Arab Saudi berkumpul di halaman Masjid Ummah pada Sabtu (11/8) sore kemarin. Mereka membawa berbagai barang dan menjualnya ke publik. Beberapa bahkan ada yang menjual mobil.
"Sayang sekali, mereka harus pergi dengan pemberitahuan singkat, mereka harus berhenti dari pekerjaan mereka, studi mereka, beberapa dari mereka sedang studi PhD. Bayangkan, dampak krisis itu bagi mereka," kata Nahed Mohammad, yang baru saja membeli sebuah mobil dari para mahasiswa, dilansir dari CBC News.
Tindakan mahasiswa Arab Saudi di Kanada ini dilakukan karena mereka akan pergi meninggalkan negeri tersebut tanpa tahu kapan bisa kembali lagi. Ini terjadi setelah perselisihan diplomatik yang panas antara Ottawa dan Riyadh.
Ada sekitar 8.300 siswa Saudi yang mengenyam pendidikan di Kanada. Di Provinsi Nova Scodia, 835 mahasiswa Saudi terdaftar di berbagai lembaga sekolah pasca-sarjana. Mereka terpaksa harus angkat koper lebih dini sebelum diwisuda.
Mohammad turut prihatin atas apa yang menimpa para mahasiswa Saudi tersebut. Dia membeli sebuah mobil Nissan dari seorang mahasiswa hanya seharga 1.500 dolar. Ada pula warga lokal yang datang dan menjual beberapa mainan mewah, dan keuntungannya diberikan semua ke para mahasiswa Saudi yang hendak meninggalkan Kanada dengan terpaksa.
"Hati kami untuk mereka, dan kami berharap mereka melakukan yang lebih baik di masa mendatang. Tapi kami melakukan yang terbaik di sini untuk membantu," tutur Mohammad prihatin.
Itu adalah peristiwa penjualan kedua di halamam masjid. Sebelumnya, seusai sholat Jumat mereka juga menggelar aksi yang sama. Para mahasiswa ini diberitahu untuk hengkang dari Kanada pada awal September nanti.
Ada lagi cerita dari Omar, bukan nama sebenarnya, yang rumit. Ia bersama istri dan anak-anaknya harus minggat dari Kanada karena permohonan suaka mereka ditolak.
Pasalnya, Omar dinilai oleh Pengadilan Federal menyalahi aturan karena sempat mengabaikan izin suaka, kembali ke Saudi dan membawa istri beserta anak-anak mereka ke Kanada. Omar beralasan ia harus pulang ke Saudi karena istrinya ditangkap otoritas setempat dan sempat ditahan tiga hari. Dalam pengajuan izin kedua bersama keluarga inilah Omar ditolak.
Masalahnya adalah, Omar dan keluarga mendapat putusan tersebut di saat hubungan Kanada dan Saudi memanas. Ditambah, mereka adalah keluarga Muslim Syiah, yang selama ini mendapat perlakuan buruk di Saudi. "Saya benar-benar takut, karena pada awalnya saya punya harapan dan kini rusak," ujar istri Omar.
Kasus Omar sampai menarik perhatian Komite Hak Asasi Manusia HAM PBB. Mereka meminta agar Kanada tidak mendeportasi keluarga Omar. Sedangkan salah satu pengacara Omar, Anne Castagner mengatakan keputusan deportasi tidak masuk akal lantaran apa yang diserukan Kanada ke Saudi mengenai hak asasi manusia.
Dari Kicauan Berujung Tegang
Ribut-ribut Kanada dan Saudi dimulai dari sebuah kicauan di akun Twitter. Pada 2 Agustus lalu, Menteri Luar Negeri Kanada, Chrystia Freeland mengunggah seruan agar Saudi membebaskan dua pegiat HAM, Raif Badawi dan Samar Badawi yang ditahan, di akun Twitter miliknya.
Besoknya, giliran Departemen Luar Negeri Kanada menyerang Saudi dengan berkicau di Twitter mendesak Saudi untuk dengan segera membebaskan Raif, Samar dan pegiat lainnya yang masih ditahan. Pernyataan tersebut belum menimbulkan riak di Riyadh. Baru ketika unggahan akun Twitter Kedubes Kanada untuk Saudi menterjemahkan desakan tersebut ke dalam bahasa Arab, Kerajaan Arab Saudi langsung berang.
Beberapa jam setelah kicauan akun Kedubes Kanada, Saudi langsung mengeluarkan daftar serangan embargo. Mengusir Dubes Kanada dan menarik Dubes Saudi, membekukan perdagangan baru, menangguhkan penerbangan, menarik ribuan mahasiswa, melarang warganya mendapat perawatan medis di Kanada, dan lainnya.
Kanada cukup ramah dengan para aktivis pegiat HAM Saudi. Dilansir dari Business Insider, sejak Mei lalu, 15 aktivis termasuk pendukung hak wanita ditangkap oleh pemerintah Saudi. Amnesty International menyebut, media-media pemerintah Saudi biasanya mencap para aktivis sebagai pengkhianat dan menuduh mereka bekerja untuk agen asing.
Di antaranya termasuk Samar Badawi, perempuan yang memenangkan penghargaan karena kegigihannya menentang undang-undang perwalian laki-laki yang ketat di negaranya. Saudara Samar lainnya juga vokal menyuarakan kesetaraan dan HAM di Saudi. Beberapa dari mereka, seperti Raif Badawi sekeluarga mendapat suaka dan kewarganegaraan Kanada pada 2017 lalu.
Sembilan dari sekian banyak aktivis yang ditahan di Saudi bahkan akan diadili di pengadilan pidana khusus yang biasanya menangani kasus terorisme, menurut laporan media lokal.
Banyak dari aktivis pria dan wanita yang ditahan ini adalah mereka yang melawan aturan mengemudi bagi wanita dalam beberapa dekade terakhir. Larangan tersebut memang akhirnya dicabut pada Juni lalu, tapi para aktivisnya tetap mendekam di penjara. Bahkan ada kecenderungan pemerintah lebih keras menindak para aktivis.
Seorang aktivis yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan kepada Wall Street Journal pada Mei lalu bahwa mereka dilarang untuk berbicara kepada media, bahkan untuk memuji pencabutan pelarangan mengendarai mobil sekalipun.
“Kami diberi tahu:‘ Jangan bicara. Kami tidak ingin Anda memberi komentar positif atau negatif. Jangan lakukan itu, jangan berikan wawancara," kata aktivis perempuan tersebut.
Kanada Berdiri Sendiri
Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada sejak naik ke tampuk kekuasaan pada 2015 menawarkan arah kepemimpinan yang kontras dengan para pemimpin nasionalisme populis macam Donald Trump dan sejenisnya. J.J. McCullough dalam esai opininya di The Washington Post menyebut, kontrasnya Trudeau terletak pada kebijakannya mendukung imigran, multikulturalisme, empati terhadap Muslim. Ia juga menentang partisipasi Kanada dalam serangan udara menggempur ISIS di Irak dan Suriah.
Saat Fidel Castro, pemimpin Kuba meninggal dunia, Trudeau mengirimkan ucapan duka. Ia juga baru saja mengunjungi Cina pada April, dan India pada Februari lalu. Beberapa langkah kebijakan Trudeau yang tidak populis selain tidak selalu berbuah manis, tetapi juga memunculkan pro dan kontra.
Kini, ketika Kanada dengan vokal mendesak Saudi terkait penahanan aktivis HAM, mereka berdiri sendiri. Tidak ada negara mendukung langkah Kanada. AS, sekutu terdekat Kanada justru memilih untuk tidak ikut campur dalam krisis diplomatik Saudi - Kanada.
"Kedua belah pihak harus menyelesaikannya secara diplomatis bersama-sama. Kami tidak dapat melakukannya untuk mereka," ujar Heather Nauert, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, diwartakan The Guardian.
Sama dengan AS, Inggris memilih bungkam. Negara seperti Rusia, Mesir, Palestina, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA) justru mendukung Saudi. Beberapa dari mereka seperti Bahrain, UEA dan Palestina menyatakan Kanada tidak pantas mengurusi masalah internal negara lain.
Thomas Juneau, profesor di University of Ottawa berpendapat, perlakuan Inggris dan negara-negara Eropa yang memilih abstain dalam krisis diplomatik mungkin karena Kanada juga tidak aktif mendukung saat Saudi bersitegang dengan negara-negara Eropa.
Sementara itu, dukungan atas isu hak-hak perempuan di Saudi datang dari beberapa media dengan menerbitkan editorial. The Guardian dan The New York Times mendesak Eropa dan AS untuk berdiri bersama Kanada. Disusul The Washington Post yang menerbitkan editorial mereka dalam bahasa Arab.
Meski sejauh ini masih berjuang sendiri, Trudeau tetap bersikukuh untuk terus menekan Saudi terkait masalah HAM.
"Kami akan, pada saat yang sama, terus berbicara dengan jelas dan tegas mengenai isu-isu hak asasi manusia di rumah dan di luar negeri di mana pun kami melihat kebutuhan." ujarnya.
Editor: Windu Jusuf