tirto.id - Seorang prajurit Jepang, Shimura Kikujiro, tiba-tiba menghilang pada 7 Juli 1937. Jepang kemudian meminta izin bahkan mendesak otoritas Cina untuk memasuki Wanping (sekarang daerah di Beijing) untuk melakukan pencarian. Cina menolaknya. Tensi naik dengan cepat dan tembak-tembakan tak terhindarkan. Ratusan orang meninggal dalam peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Insiden Jembatan Marco Polo ini.
Insiden ini sekaligus mengawali Perang Cina-Jepang Kedua (1937-1945).
Berbagai sumber mengatakan Kikujiro kehilangan arah dan tidak bisa kembali ke pangkalan militer setelah menunaikan hajat usai latihan malam. Andai saja pada masa itu ada toilet umum, mungkin jalannya sejarah akan lain.
Masalah ketersediaan toilet bukan hanya ada di masa lampau. Saat ini toilet masih menjadi fasilitas yang belum bisa dipenuhi secara layak; belum tersedia merata di tempat umum. Ini bahkan terjadi di negara besar seperti Amerika Serikat.
Perusahaan multinasional penyedia kopi Starbucks tahu betul persoalan ini.
Pada April 2018, polisi Philadelphia mendapat panggilan darurat dari sebuah gerai Starbucks. Karyawan bermaksud mengusir dua laki-laki yang hendak menggunakan toilet mereka tanpa melakukan pembelian. Karyawan menegaskan bahwa toilet hanya diperuntukkan bagi pembeli.
Polisi mencoba menegur sebanyak tiga kali, tapi mereka bergeming. Akhirnya polisi membawa paksa mereka ke kantor polisi dengan tangan diborgol.
Menurut orang-orang, keduanya tidak melakukan apa pun sehingga tidak layak diperlakukan seperti kriminal. Persepsi publik kian negatif karena mereka keturunan Afrika-Amerika. Tindakan polisi dianggap diskriminatif dan rasis. Komisioner polisi Richard Ross bersikeras membela anggotanya dan menganggap mereka hanya “melakukan yang harus mereka lakukan.”
Dua orang itu dibebaskan sekitar delapan jam setelah panggilan 911 tersebut.
Krisis Toilet
Starbucks langsung mengambil kebijakan baru setelah kejadian ini ramai diperbincangkan di internet. Starbucks mengakui bahwa meskipun karyawannya yang keliru, tapi perusahaan adalah pihak yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut
Pada Mei 2018, Direktur Eksekutif Howard Schultz mengatakan bahwa Starbucks mengizinkan toilet mereka digunakan siapa pun--pembeli atau bukan. Schultz ingin dengan kebijakan baru ini siapa pun akan merasa dihargai.
“Kami tidak mau menjadi toilet publik, tapi kami akan membuat keputusan yang benar 100% dalam situasi apa pun dan memperbolehkan orang menggunakan toilet,” kata Schultz dilansir NPR.
Empat tahun kemudian, Juni 2022, Schultz menyampaikan rencana yang berbeda. Dia mempertimbangkan untuk menutup kembali akses publik ke toilet Starbucks.
“Kami harus memperkuat toko-toko kami dan menyediakan keamanan bagi karyawan kami,” ucap Schultz. “Kami tidak yakin bisa terus mempersilakan orang-orang memakai toilet kami.” Menurut dia bahkan karyawan terganggu kesehatan mentalnya karena banyak sekali pengguna toilet.
Keputusan ini juga bisa dipahami jika dilihat dari dampaknya terhadap pengunjung. Penelitian Umit G. Gurun dari Universitas Texas Dallas bersama Jordan Nickerson dan David H. Solomon dari Boston College menemukan pengunjung selama Januari 2017 sampai Oktober 2018 menurun 6,8% daripada toko kopi lain di sekitarnya. Penelitian mencakup hampir 10.800 gerai Starbucks di AS.
Penurunan ini, menurut penelitian berjudul The Perils of Private Provision of Public Goods(2019) sangat besar dan signifikan.
Studi juga menemukan pengunjung Starbucks menghabiskan waktu 4,2% lebih cepat daripada di toko kopi saingan. Menurut penelitian Gurun, dkk. hal ini karena lalu-lalang di Starbucks lebih banyak sehingga membuat tidak nyaman.
Penelitian yang sama menunjukkan bahwa lalu lintas pengunjung berkurang hampir dua kali lipat jika Starbucks berlokasi dekat dengan tempat penampungan orang-orang tanpa tempat tinggal (homeless). Hal ini mengindikasikan bahwa Starbucks lebih sering menjadi tempat nongkrong atau singgah orang-orang tersebut daripada pengunjung yang benar-benar ingin membeli kopi.
“Konsekuensi dari kebijakan Starbucks menunjukkan bahwa perusahaan justru akan mengalami kerugian karena banyaknya kelompok yang tidak mau mengeluarkan uang, dalam kasus ini karena kemiskinan,” catat Umit, dkk. Meski kerugian secara finansial ini tertampik dengan data penjualan yang terus mengalami peningkatan, tetapi tohStarbucks pada akhirnya mengkaji ulang keputusan membuka akses publik untuk toilet mereka.
“Hasil penelitian kami juga menunjukkan bahwa penyediaan toilet seharusnya menjadi urusan pemerintah, bukan bergantung pada keberadaan pihak swasta.”
Apa yang terjadi di Starbucks AS hanya mungkin karena toilet umum memang tidak tersedia merata. Pemerintah belum tampak serius menangani ini. Mengutip Bloomberg, suatu ketika pemerintah pernah berencana membuat proyek toilet umum, tapi akhirnya membatalkannya karena takut terkena tindakan vandal, padahal biaya pembuatan dan pemeliharaannya mahal.
Masalah ini kemudian membuat pihak swasta seperti menjadi pahlawan, tak terkecuali Starbucks saat membuka lebar pintu toiletnya untuk semua orang. Tempat-tempat seperti pom bensin dan pusat perbelanjaan lain juga menawarkan toilet yang nyaman, terutama buat perempuan.
Dua puluh tahun lalu, ketika didesak untuk membuat lebih banyak toilet umum, Wali Kota New York Michael Bloomberg malah menyuruh orang-orang pakai toiletnya Starbucks. “Ada cukup banyak Starbucks yang membiarkan kalian menggunakan toiletnya,” katanya, mengutip Newsweek.
Namun tindakan masyarakat sendiri mengkhawatirkan. Salah satu penelitian menunjukkan 58% manajer toko menemukan orang memakai obat-obatan terlarang di toilet mereka. Toilet juga menjadi tempat aksi-aksi seksual dan perusakan, yang alhasil membuat toilet kotor atau tidak higienis. Ini membuat swasta mengeluarkan biaya lebih untuk pemeliharaan. Belum lagi menanggung pajak pembangunan toilet di dalam mal tersebut.
Jika di AS saja masalah sesepele ini belum tertangani, tidak heran hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Jajak pendapat Kompas tahun 2016 lalu menyebut 28 persen orang menganggap pasar adalah tempat yang kurang toilet, 27 persen menyebut taman, dan terminal-stasiun sebanyak 23 persen. Orang-orang juga lebih percaya bahwa toilet di pusat perbelanjaan terkadang lebih bersih daripada toilet umum yang ada di pasar atau tempat wisata milik pemerintah.
Beruntungnya banyak swasta di sini yang bisa menyediakan toilet bersih dan tidak (atau setidaknya belum) mengalami masalah seperti Starbucks di AS (apa Anda juga termasuk orang yang pernah masuk ke minimarket hanya untuk buang air besar atau kecil tanpa membeli apa pun?).
Tapi bukan berarti masalah toilet bersih selesai seutuhnya. Dan, sekali lagi, toilet publik seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan swasta.
Editor: Rio Apinino